Penggunaan Istilah OPM Membuat Rancu Penyelesaian Konflik Papua

Satgas Pamtas Statis RI-PNG Yonif 111/KB dengan masyarakat suku Pedalaman Perbatasan Papua Selatan, Sabtu (13/4). (Foto: akun X @Puspen_TNI).

Jakarta (Suara Kalbar)- TNI telah menggunakan kembali istilah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ini sebagai pengganti sebutan kelompok separatis teroris (KST).

Peneliti Jaringan Damai Papua Adriana Elisabeth memperingatkan bahwa istilah OPM akan membuat rancu penyelesaian konflik di Papua. Apalagi, kata Adriana, aparat lain masih menggunakan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

“Karena dalam pemahaman saya, Organisasi Papua Merdeka itu ada tiga organ penting di situ, yang menurut saya pendekatannya tidak bisa sama,” jelas Adriana kepada VOA Indonesia, Minggu (14/4/2024).

Adriana menjelaskan tiga organ penting OPM tersebut adalah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang berjuang dengan diplomasi dan politik luar negeri, organisasi politik Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang berjuang tanpa kekerasan, dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (disingkat TPNPB) yang bergerak dengan pendekatan militer.

Adriana menduga penyebutan OPM oleh TNI hanya menunjuk pada TPNPB atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) seperti istilah yang digunakan Kepolisian Indonesia. Dengan demikian, penyelesaian konflik di Papua akan berjalan parsial yakni hanya dengan pendekatan militer seperti selama ini.
Selain itu, perbedaan istilah OPM dengan KKB akan menyulitkan koordinasi antaraparat keamanan dan para pemangku kepentingan terkait. Sebab, masing-masing pihak akan memiliki pemahaman yang berbeda dalam melihat konflik di Papua.

“OPM itu bukan hanya sayap militer, bukan hanya TPNPB, ada kelompok lain yang harus dipikirkan pendekatannya seperti apa,” tambah Adriana.

Ia juga mengusulkan pemerintah agar melakukan pendekatan resolusi konflik untuk Papua. Sebab, resolusi pembangunan yang dilakukan pemerintah terbukti tidak mampu menyelesaikan konflik. Selain itu, menurutnya, resolusi tersebut harus melibatkan semua pihak, termasuk perwakilan dari sayap militer yang bisa diajak berdialog dalam mencari solusi.

“Yang pertama yang harus dirancang adalah bagaimana memulihkan kondisi-kondisi yang buruk, dari aspek keamanan, politik, ekonomi dan sebagainya,” jelasnya.

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya mendorong Komnas HAM dan pemerintah proaktif mendorong dialog dengan semua pihak untuk mencari solusi konflik Papua secara bersama, termasuk mengupayakan perlindungan fisik dan hak asasi warga sipil. Sebab, kata Dimas, konflik di Papua selama ini merugikan warga sipil mulai dari kekerasan fisik, penyiksaan, teror, hingga pengusiran warga adat.

“Perlu ada upaya mendorong lahirnya pertemuan yang diinisiasi Komnas HAM dan dijembatani semua stakeholder terkait, Kementerian Pertahanan, Presiden juga harus tanggung jawab supaya rantai kekerasan di Papua tidak terus terjadi,” jelas Dimas kepada VOA, Minggu (14/4/2024).

Dimas juga memperingatkan TNI dan kelompok bersenjata di Papua agar mematuhi Hukum Humaniter Internasional, terkait penggunaan kembali OPM. Ini untuk membatasi dampak kemanusiaan akibat konflik bersenjata, antara lain jaminan perlindungan manusiawi terhadap individu yang tidak terlibat konflik bersenjata dan perlindungan tempat atau fasilitas umum, serta pemberian akses bagi organisasi bantuan kemanusiaan.

TNI Sebut KKB Menjadi OPM

TNI kembali menggunakan istilah OPM untuk menggantikan sebutan kelompok separatis teroris (KST) atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Kendati demikian, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto tidak menjelaskan secara gamblang perubahan istilah ini akan mengubah operasi di Papua menjadi operasi tempur.

Kendati demikian, ia mengatakan, TNI akan tetap melakukan pembinaan teritorial di Papua meskipun ada perubahan nomenklatur menjadi OPM.

“Kita punya metode sendiri untuk penyelesaian masalah, senjata ya lawan senjata, tapi kita tetap kedepankan teritorial untuk membantu percepatan pembangunan, membantu masjid, tentara kita di sana ngajar, dan berikan pelayanan kesehatan,” ujar Panglima TNI di Jakarta, Rabu (10/4/2024).

Dalam keterangannya, Panglima TNI menyamakan OPM dengan TPNPB yang berjuang dengan mengangkat senjata.

Pada kesempatan lain, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro melalui keterangan tertulis (14/4/2024) menghormati kewenangan pemerintah dalam merespons situasi di Papua, di antaranya perubahan penyebutan KKB menjadi OPM. Namun, ia mengatakan bahwa Komnas HAM akan mengkaji rujukan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam perubahan terminologi tersebut.

Namun Komnas HAM kembali menekankan standar perlindungan HAM, baik dalam situasi konflik maupun nonkonflik, bahwa semua pihak, baik aparatur sipil, aparat keamanan, maupun kelompok sipil bersenjata, harus menjamin keselamatan warga sipil,” ujar Atnike melalui keterangan tertulis Minggu (14/4/2024).

Komnas HAM juga mendorong pemerintah, termasuk TNI dan Polri, untuk menggunakan pendekatan yang terukur dalam menghadapi konflik dan kekerasan di Papua. Ini penting, menurut Komnas HAM, untuk menjamin keselamatan dan perlindungan HAM warga sipil maupun aparat TNI dan Polri yang bertugas di lapangan.

Komnas HAM mencatat setidaknya terdapat 12 peristiwa kekerasan yang terjadi di Papua dalam kurun waktu Maret-April 2024. Empat warga sipil dan lima anggota TNI-Polri mengalami luka, delapan orang meninggal (lima anggota TNI-Polri dan tiga warga sipil). Ketiga warga sipil tersebut terdiri dari satu dewasa dan dua anak-anak. Selain itu, dua perempuan menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).

Masih menurut catatan Komnas HAM, peristiwa yang terjadi pada Maret 2024 antara lain kontak tembak antara aparat gabungan TNI-Polri dan Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya (1/3); penembakan dua prajurit TNI yang diduga dilakukan oleh KSB di Kulirik,

Puncak Jaya (17/3/2024); Penembakan satu anggota Satgas Kostrad Yonif Raider 323/BP yang diduga dilakukan KSB di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak (22/3/2024); serta penembakan yang diduga dilakukan oleh KSB terhadap dua anggota Polri saat berjaga di helipad di Kabupaten Paniai (20/3/2024).

Sedangkan pada April 2024 tercatat dua perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh sekelompok orang di Distrik Nabire, Kabupaten Nabire (5/4/2024). Selain itu, penyerangan terhadap warga sipil juga terjadi, antara lain pembunuhan Kepala Kampung Modusit yang diduga dilakukan KSB di Distrik Serambakon, Kabupaten Pegunungan Bintang (8/4/2024); penembakan dua warga sipil yang diduga dilakukan KSB di kios jembatan Yessey Mersey, Kampung Kago, Distrik Ilaga (9/4/2024); serta kontak tembak antara TNI-POLRI dan KSB di Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah (8/4/2024).

“Komnas HAM mendesak pengusutan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua secara transparan oleh Aparat Penegak Hukum, serta penegakan hukum secara akuntabel terhadap pihak-pihak yang terlibat demi tegaknya supremasi hukum,” kata Atnike.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS