Opini  

Pendidikan Politik, Pemilu dan Pemilih Cerdas Menghasilkan Pemimpin Berkualitas

Oleh: Sulaiman,S.Sos.,M.Si

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu pilar demokrasi pasca runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, pemilu merupakan bentuk salah satu hal yang membuktikan bahwa rakyat itu berdaulat. Suara rakyat adalah suara Tuhan, itu adalah jargon dari pemilu di era reformasi. Rakyat mempunyai peran penting dalam pemilihan umum karena dengan suara rakyat bisa menghasilkan pemerintahan yang bersih selama proses pelaksanaan pemilihan umum dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL), sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat, guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis, juga mendapat legitimasi yang kuat dan amanah.

Pelaksanaan Pemilu pada Tahun 2019 merupakan pemilu serentak pertama di Indonesia yang memilih kepala negara amayang meliputi: pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat 1, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat 2, Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Dalam peraturan tersebut mengatur tentang tata cara sosialisasi pemilu. Sosialisasi Pemilu adalah proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program Penyelenggaraan Pemilu. Informasi Pemilu adalah informasi mengenai sistem, tata cara teknis, dan hasil Penyelenggaraan Pemilu. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2018 merupakan peraturan yang menjalankan amanat Pasal 450 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pemilihan Presiden/Wakil dan para wakil rakyat dalam event Pemilihan Umum (Pemilu) di tahun 2019, merupakan salah satu perwujudan kedaulatan rakyat Indonesia sebagai negara yang menggunakan sistem demokrasi konstitusional. Setiap peserta dan partisipan Pemilu, berkewajiban untuk membangun kultur dan tatanan sistem demokrasi Pemilu yang mencerdaskan dan berkeadilan pada 14 Februari 2024 mendatang. Prinsip Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL) hanya akan menjadi dokumen hukum belaka jika tidak disertai pengetahuan pendidikan politik yang memadai seperti, (a) arti penting/implikasi Pemilu bagi keberlangsungan tata kelola pemerintahan dan negara; (b) pentingnya memahami jejak rekam para calon Presiden/Wakil dan calon anggota legislatif/wakil rakyat, dan (c) track record/perilaku partai politik kontestan yang menunjukkan keberpihakkan kepada rakyat. Batasan usia pemilih pemula dan isu hoax, negative campaign, atau money politics juga penting menjadi bagian dari materi pendidikan politik. Para partisipan/mitra ini terindetifikasi selaku kelompok pemilih pemilu atau yang sudah memiliki hak pilih namun masih terkategori massa mengembang (floating mass) yang rentan pengaruh praktek money politics dan ajakan Golput/tidak memilih. Pada dasarnya, mereka (mitra/partisipan) mempunyai animo partisipasi yang tinggi dalam pemilu 14 Februari 2024 mendatang, namun tingkat kesadaran dan pengetahuannya yang masih rendah/minim terkait hukum pemilu yang baik. Pendidikan politik yang mencerdaskan dapat menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab serta tidak mudah terjebak dalam praktik money politics atau golongan putih/Golput yang enggan menggunakan hak pilihnya karena alasan-alasan yang subjektif dan pragmatis.

Pembangunan demokrasi di Indonesia pasca reformasi sudah mencapai taraf konsolidasi. Penyelenggaraan pemilihan umum yang sukses dilenggarakan sejak tahun 1999, hingga tahun 2019 telah menempatkan Indonesia sebagai Negara demokrasi terbesar yang sering menjadi rujukan bagi Negara-negara lainnya. Kesuksesan tersebut menjadi perhatian dan diapresiasi dunia bukan semata-mata karena Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dengan mayoritas muslim dan memiliki heterogenitas dari segi agama, suku dan bahasa, tapi juga karena kerumitan pemilunya. Mulai tahun 2004 Indonesia sudah mampu melaksanakan Pemilu Prsesiden secara langsung dengan damai disamping pemilu DPR, DPD dan DPRD. Bahkan pada mulai tahun 2005, Indonesia juga sudah mampu melaksanakan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) secara langsung. Meskipun ada juga pihak yang menilai bahwa kesuksesan keseluruhan pemilu yang diselenggarakan masih bersifat procedural karena belum menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan memenuhi harapan rakyat, namun penyelenggaraan pemilu secara damai tanpa ada konflik yang cukup berarti merupakan indikator bahwa masyarakat Indonesia sudah cukup dewasa.

Demikianpun pada pemilu 2019 sudah terselenggara secara jurdil, berintegritas, bermartabat dan dipercaya public walaupun ada pro dan kontra itu menjadi hal yang biasa dalam dunia demokrasi. Pemilu yang digelar pada tanggal 17 April 2019 lalu, merupakan pemilu pertama sepanjang sejarah Indonesia yang pelaksanaanya dilaksanakan secara serentak/berbarengan waktunya antara pemilu legislative dan pemilu presiden. Dengan jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT sebanyak 192. 828. 520 dan jumlah TPS sebanyak 809.500. Dilihat dari jumlah dapil, terdapat sebanyak 80 dapil untuk pemilu DPR RI, 34 dapil untuk pemilu DPD, 272 untuk dapil DPRD Provinsi, dan 2.206 dapil untuk DPRD, sehingga total terdapat 2.592 dapil. Dari angka-angka tersebut, bisa dibanyangkan kerumitan pemilu yang akan datang. Ditengah kerumitan tersebut, kita tetap berharap bahwa pemilu dapat berjalan dengan aman dan damai serta menghasilkan pemimpin yang memenuhi harapan rakyat, sehingga proses penyelenggaraan pemilu dapat tercapai secara substansial bukan sekedar procedural.

Terdapat tiga factor yang berperan penting untuk mencapai kesuksesan pemilu secara substansial. Ketiga factor tersebut adalah pertama, produk pengaturannya dalam bentuk UU dan peraturan KPU. Kedua, proses penyelenggaraannya yang terdiri atas penyelenggaranya, pesertanya (partai politik, caleg dan pasangan calon), ketersediaan anggarannya, serta pemilihnya yang rasional dan cerdas dalam menentukan pilihannya. Sedangkan faktor ketiga adalah penegakan hukum.

Mengingat pemilih menjadi salah satu faktor penentu, maka perhatian terhadap pendidikan pemilih menjadi suatu hal yang penting. Hal ini diperlukan untuk memastikan bagaimana pemilih tidak terbujuk rayu oleh pembelian suara (vote buying) melalui politik uang, atau memilih berdasarkan emosional semata atau berdasarkan kepentingan pragmatis jangka pendek lainnya. Tidak terkecuali bagi pemilih perempuan.

Berdasarkan data DPT yang dirilis oleh Komisi pemilihan umum dalam rapat pleno terbuka tanggal 15 Desember 2018, terdapat 96.557.044 pemilih perempuan dan 96.271.476 pemilih laki-laki. Dengan demikian jumlah pemilih perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini merupakan tantangan tersendiri untuk memberikan kesadaran pada pemilih agar dapat menggunakan hak pilihnya dengan cerdas.

Pemilu merupakan indikator atau tolak ukur dalam sebuah negara demokrasi. Sarana kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk hak pilih warga negara suatu pemilihan umum yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL) guna memilih pemimpin yang akan meneruskan dan meningkatkan estafet kepemimpinan sebelumnya dengan tujuan melanjutkan, meningkatkan, mengurusi penyelenggaraan pemerintahan dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Pemilihan umum ini harus mampu menjamin prinsip keterwakilan akuntabilitas dan legitimasi. Maka dari itu diperlukan peranan dari pemilih untuk cerdas dalam memilih pemimpin. Pemilih memiliki peranan besar terhadap kepemimpinan Indonesia di pemilu Tahun 2024 mendatang. Jika salah pilih pemimpin dapat mengakibatkan kehancuran bagi bangsa dan negara.

Idealnya sebuah pemilu bukan hanya diikuti oleh banyaknya pemilih namun kualitas pemilih dalam memilih pemimpin merupakan sarana dalam mewujudkan pilihan-pilihan pemimpin politik yang kompeten dan berintegritas. Dengan kata lain, pemilu bukan hanya menghasilkan tingkat partisipan yang tinggi, tetapi juga menghasilkan partisipan yang berkualitas. Untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas diperlukan partisipan yang berkualitas juga, salah satunya adalah partisipan yang cerdas, melek, serta kritis secara politik sehingga referensinya bersifat rasional. Selain memiliki pengetahuan dan kesadaran electoral (kepemiluan), pemilih rasional (cerdas dan kritis) bebas dari intimidasi, memiliki daya tahan terhadap serangan atau bujukan transaksional yang tidak sehat dan melanggar aturan seperti halnya politik uang, pemilih akan menyadari bahwa satu suara sangat berarti, pemilih yang cerdas akan memilih pasangan calon yang akan ia pilih dalam pemilu berdasarkan kinerja dan prestasinya bukan berdasarkan naluri, kekeluargaan, dan janji manis belaka.

Selain itu, pemilih cerdas akan memilih sumber berita yang berkredibel (sumber berita yang dapat dipercaya dan bukan hoax) dalam memilih pasangan calon yang akan ia pilih dalam pemilu dengan mencari tahu visi, misi, dan juga program kerja yang akan diusung oleh pasangan calon. Namun, dibalik pemilih yang rasional ada juga namanya pemilih irasional atau pemilih yang buta politik yang tidak memberikan kontribusi terhadap jalannya pemilu yang tidak berkualitas, pemilu yang diwarnai oleh transaksional seperti halnya money politic, dan mobilisasi sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin politik yang tidak berintegritas dan tidak berkompeten.

Para pemilih irasional masih jauh dari kata cerdas dan kritis yang secara umum segmennya terjadi pada warga masyarakat yang terdaftar dan akan menggunakan hak pilihnya dalam suatu pemilu. Dalam rangka meningkatkan dan daya kritis pemilih pemula dalam menggunakan hak suaranya diperlukan edukasi politik kepada masyarakat mengenai menjadi pemilih cerdas dalam pemilu.

Pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mecapai hal itu maka pemilihan umum perlu diselenggarakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya dan dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas diperlukannya pertisipasi masyarakat atau pemilih yang mampu mendalami pengetahuan mengenai memilih pemimpin politik berdasarkan kinerja, prestasi, dan kompetensi keahlian yang berdaya guna dan berhasil guna dalam memimpin rakyatnya. Maka dari itu untuk menghasilkan pemilih yang cerdas diperlukannya bimbingan dari pihak yang mampu dibidang itu seperti halnya KPU, Bawaslu, Akademisi, dan Masyarakat yang perduli terhadap perpolitikan di Indonesia.

Dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas diperlukan pemilih yang cerdas sehingga menghasilkan pemimpin yang berkompeten dan berintegritas. Jika para pemilih tidak cerdas dalam memilih pemimpin politik, maka para pemilih harus siap menanggung resiko yaitu memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki sifat mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan rakyat, membiarkan pemimpin yang memiliki perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) muncul sebagai pemenang. Oleh sebab itu, untuk mencegah dimunculkannya pemimpin berperilaku seperti itu diperlukannya pemahaman politik mendalam melalui sosialisasi dengan tujuan memberikan kesadaran kepada para peserta sosialisasi untuk mengenal betapa pentingnya menjadi pemilih cerdas pada pemilu 2024 mendatang.

*Penulis adalah Peneliti Kebijakan Publik dan Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya