Opini  

Etika Menjadi Faktor Penentu Keberhasilan Suatu Kepemimpinan

Oleh: Sulaiman,S.Sos.,M.Si

Indonesia merupakan Negara yang berjuang dalam melawan korupsi. Pemerintah merupakan salah satu unsur penting dan utama dalam penyelengaraan pelayanan kepada masyarakat. Tercapainya pelayanan yang baik dan efektif itu tergantung pada strategi apa yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan Negara. Jika terjadi penyimpangan etika seperti korupsi, kolusi dan nepotisme terjadi maka kerugian besar akan ditanggung oleh masyarakat negara pada umumnya, mengingat salah satu tujuan membentuk pemerintah adalah untuk meningkat kesejahteraan masyarakat. Lebih penting dari itu bahwa keberadaan satu negara dalam hubungannya dengan negara lain, yaitu pengakuan suatu negara yang merdeka itu di dasarkan atas adanya pemerintahan yang berdaulat (Asfarosya, 2017).

Kemajuan suatu Negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan dalam melaksanakan pembangunan. Keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh factor sumber daya manusia yaitu manusia sebagai actor yang paling dominan. Indonesia merupakan salah satu Negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, jika dibandingkan dengan Negara lain dikawasan Asia bukanlah sebuah Negara yang kaya namun bahkan menjadi Negara yang miskin. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang tidak dikembangkan dengan maksimal. Kualitas ini menyangkut dari pada kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadi korupsi. Kristiawan (2016) menyebutkan bahwa dimana revolusi mental dan pendidikan karakter dapat menjadi suatu pemecahan masalah dalam masalah rapuhnya moral di Indonesia.

Maka dari itu pemerintahan yang bersih dan beretika saat ini menjadi tujuan mendasar bagi kelangsungan hidup suatu negara dalam upaya mewujudkan reformasi birokrasi. Era liberalisasi ekonomi yang ditandai dengan tingkat kompetisi tinggi antar negara menuntut kesiapan sumber daya dan perangkat kelembagaan dan hukum yang mendukung pasar yang sehat. Karena itu pemberantasan korupsi menjadi keharusan jika suatu negara ingin survive dan diperhitungkan dalam politik intenasional. Pembahasan tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya korupsi birokrasi serta dampak-dampak korupsi terhadap Negara dan bagaimana etika dalam berpolitik dan bernegara menjadi sangat penting sebagai cara pencegahan praktek korupsi di Indonesia.

Fenomena yang berkaitan dengan kepemimpinan jabatan publik dapat disaksikan akhir-akhir ini. Masyarakat dikejutkan oleh ditangkapnya tokoh (pemimpin) partai oleh KPK. Partai tersebut tergolong mewakili partai bersih, memiliki kader-kader yang militan dan agamis. Si presiden partai itu pun akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya seiring penahanan dirinya oleh KPK. Di partai lainnya, ketua umumnya ditekan untuk mundur karena diduga terlibat kasus KKN. Tekanan makin keras karena telah mengakibatkan menurunnya hasil survei terhadap partai tersebut. Partai tersebut sekarang sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki imagenya ditengah masyarakat. Kasus lainnya, seorang bupati sedang diproses impeachment karena melakukan proses pernikahan yang tidak sesuai dengan nilai kepatutan dalam masyarakat. Masih ada kasus yang lain, yaitu pernyataan tidak pantas oleh seorang hakim dalam seleksi hakim agung, yang dianggap meresahkan masyarakat berpandangan „lain‟ dalam menganalisis kasus perkosaan. Masih ada lagi, seorang artis cantik anggota DPRD terjaring operasi narkoba saat melakukan dugem, sekalipun ia telah dinyatakan bersih.

Fenomena di atas tentu saja memberikan banyak pertanyaan. Mengapa hal demikian terjadi. Bukankah mereka adalah orang-orang yang terpilih untuk menduduki jabatan publik; yang tentu saja sudah dibekali seperangkat sistem nilai atau prosedur bagaimana menjalankan tugas negara. Pertanyaan ini dapat diperdalam lagi, bagaimanakah sistem nilai atau prosedur, atau yang dapat disebut sebagai nilai etika; bagi para pejabat publik tersebut. Bagimana etika tersebut menjelaskan hubungan pejabat publik dengan anggota timnya, pihak lain (stakeholder), atau masyarakat umum.

Bahasan mengenai etika kepemimpinan pejabat publik memiliki ruang lingkup yang cukup luas. Amundsen and de Andrade (2009) menyatakan bahwa etika kepemimpinan mencakup interaksi dan tanggungjawab pemimpin publik terhadap masyarakat luas, sektor bisnis, pihak asing, atau terhadap internal instansi publik itu sendiri. Hal ini mencakup pula aspek sosial, ekonomi, politik dan hukum pemerintahan. Namun demikian, bahasan etika kepemimpinan dapat disederhanakan. Etika kepemimpinan yang baik dihubungkan dengan good governance, yakni terciptanya tata kelola pemerintahan yang baikdiiringi dengan trust building oleh masyarakat dan sektor bisnis (Effendi, 2005). Kerjasama pemerintah, masyarakat dan swasta merupakan syarat terbentuknya masyarakat madani, serta menjamin kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Tulisan ini mencoba membahas dan mendeskripsikan upaya-upaya mengembangkan etika kepemimpinan bagi pejabat publik dalam rangka mendukung pembangunan nasional.

Etika adalah standar normatif berupa nilai-nilai moral, norma-norma, dan hal-hal yang dianggap baik. Etika berfungsi sebagai panduan/tuntunan dalam bersikap dan berperilaku menuju kehidupan yang lebih baik. Pada dasarnya arti hakiki etika adalah determinasi pedoman untuk menjalankan apa-apa yang benar dan tidak melakukan apa-apa yang tidak benar. Dengan demikian menjalankan suatu kehidupan yang beretika diyakini akan membawa kehidupan pada suatu kondisi yang lebih baik, yang tidak merugikan kehidupan di sekitarnya.

Etika menjadi faktor penentu keberhasilan suatu kepemimpinan. Dalam organisasi, kepemimpinan yang dinilai baik apabila fungsi-fungsi kepemimpinan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip beretika sesuai dengan nilai-nilai yang dianut organisasi. Kepemimpinan beretika akan menciptakan suasana kerja dalam organisasi lebih nyaman, produktivitas lebih tinggi, dan menyelesaikan konflik yang ada di dalam organisasi.

Dalam konteks organisasi publik atau pemerintahan, kepemimpinan yang beretikabersinggungan dengan hal makro yakni ideologi, hirarki kekuasaan, pengendalian dan budaya politik; dan perihal mikro yakni penugasan, hubungan personal, isyu politik dan pengambilan keputusan. Hal tersebut mempengaruhi konstelasi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas dalam rambu-rambu moral untuk kepentingan layanan publik (Amundsen and de Andrade, 2009). Ada lima prinsip kepemimpinan beretika, yakni adil (fairness), terbuka (transparency), tanggungjawab (responsibility), efisiensi (efficiency) and tidak ada kepentingan individu (no conflict of interest).

Perkembangan etika kepemimpinan di Indonesia terus mengalami dinamika. Masyarakat juga sedang mencari model kepemimpinan yang dianggap baik, peduli, maju atau produktif. Pilihan itu dapat ditemukan di instansi pemerintah, swasta atau masyarakat. Sosok pemimpin tertentu diidolakan dan dianggap beretika, yang berbeda dengan pemimpin lain yang tidak beretika. Berikut ini merupakan ciri-ciri kepemimpinan beretika (Freeman and Stewart, 2006). 1. Memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai moral, mampu menjelaskannya dan menjalankan nilai-nilai moral dalam kehidupannya. It is important for leaders to tell a compelling and morally rich story, but ethical leaders must also embody and live the story. 2. Senantiasa fokus kepada keberhasilan organisasi dibanding kepentingan individu. Pemimpin memahami posisinya di dalam organisasi, di hadapan anggota dan stakeholder. Pemimpin mengenali nilai-nilai perihal keberhasilan orang-orang menuju „mimpi‟ keberhasilan organisasi 3. Menemukan orang-orang berintegritas dan mengembangkan kepercayaan kepadanya. Saat ini, yang dipentingkan adalah orang yang berintegritas dan bertanggungjawab, bukan sekedar pintar dan trampil. Mereka inilah yang dapat dipercaya mengembangkan organisasi saat ini dan ke depan. 4. Memelihara, menyatakan dan mengembangkan nilai-nilai positif organisasi kepada masyarakat dan stakeholder. Pemimpin perlu mengambil langkah ini untuk membangun komitmen, kepedulian dan tanggungjawab organisasi kepada masyarakat dan stakeholder. 5. Mengembangkan mekanisme berbeda pendapat. Hal ini sangat diperlukan untuk mengembangkan inovasi, pengembangan kelembagaan atau alternatif solusi organisasi. Pemimpin perlu turun kebawah menemukan permasalah teknis dan alternatif solusi dari lapangan 6. Melihat nilai-nilai positif dari sisi atau pengalaman yang lain. Pemimpin perlu mengambil keputusan sulit (termasuk mengorbankan kepentingannya) demi lahirnya benefit bagi wilayah, stakeholder atau orang lain.

Upaya Mengukur Standar Etika

Upaya mengukur etika berhadapan dengan keberadaan legal formal kelembagaan pada organisasi publik yang mengatur jabatan-jabatan publik. Amundsen and de Andrade (2009) menyatakan bahwa perlu dibangun infrastruktur tentang etika sektor publik, termasuk di dalamnya kepemimpinan. Infrastruktur etika itu terdiri standar etika, regulasi dan struktur kelembagaannya. The combination of ethical standard setting, legal regulation and institutional reform has been called “the ethics infrastructure” or “ethics regime” or “integrity system”.

Bahasan mengenai infrastruktur etika ini dapat membuka diskusi yang panjang. Tulisan ini tidak bermaksud mengupasnya, namun hanya menyinggung beberapa yang dianggap penting sebagai standar etika yang dipahami dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Nilai-nilai ideologi Pancasila adalah sistem moral bangsa Indonesia. Moral Pancasila harus mengisi dan menjiwai setiap penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan daerah; dan memancarkannya ke dalam sendi-sendi kehidupan nasional dan berorientasi keberagaman dan kesejahteraan. Moral pancasila juga mendasari pembinaan aparatur pemerintah dan etika PNS (PP 42 tahun 2004), yang mementingkan keseimbangan etika bernegara, berorganisasi dan bermasyarakat secara inklusif . Sudah barang tentu Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang melandasi perumusan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah (UU 10 Tahun 2004). Kepemimpinan mampu mengharmonisasikan etika bernegara, berorganisasi dan bermasyarakat, sehingga setiap pemimpin mampu berperilaku inklusif mengikuti pola kehidupan masyarakat dalam kegotongroyongan dan kesederhanaan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Upaya sistematik menegakkan etika kepemimpinan pejabat publik telah dilakukan sejak reformasi. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No XI/MPR/1998tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, danNepotisme (KKN), adalah tonggak membangun aparatur yang bersih. Saat itu KKN dirasakan sudah menyesakkan. Di kalangan penyelenggaraan negara, telah terjadi praktek-praktek KKN yang luar biasa, yang melibatkan para pejabat negaradengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendipenyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. Karenanya diperlukan rehabilitasi terhadap seluruh aspek kehidupan nasionalyang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapatdipercaya.Hal ini diperkuat lagi dengan UU 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebenarnya ada ukuran etika non formal yang berkembang di masyarakat. Etika ini hidup secara alamiah dalam kehidupan tradisi masyarakat di berbagai pelosok tanah air. Sekalipun standar etika ini „lemah‟ namun sebenarnya sangat efektif berjalan mendukung kehidupan masyarakat. Kepemimpinan yang tidak mengikuti „etika tradisionil‟ ini bisa meruntuhkan kepemimpinan dan organisasi pemerintahan formal.

Sebagaimana dikatakan Amundsen and de Andrade (2009), etika kepemimpinan berkaitan dengan interaksi dan tanggungjawab pemimpin publik terhadap masyarakat luas, sektor bisnis, luar negeri, atau terhadap instansi publik itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin perlu menjalin hubungan baik dengan siapa saja berdasarkan standar etika tertentu yang dianggap baik, khususnya dalam konteks Indonesia.

Membangun kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional tdk dapat berjalan dalam ruang kosong, tetapi memerlukan suatu sistem5 manajemen nasional (Sismennas) untuk menjalankan mekanisme kepemimpinan dan siklus penyelenggaraan negara. Kepemimpinan nasional diharapkan dapat mengawal Sismennas dan menggerakkan seluruh tatanan6 untuk mengantisipasi globalisasi, perubahan dan mendukung keberlangsungan kehidupan nasional. Kepemimpinan nasional menghadapi dua isyu yang juga menjadi tantangan bisnis global, yakni cross-cultural management dan change management. Menurut CBI (2009), cross-cultural management diperlukan dalam upaya memberikan pemahaman menjembatani hambatan organisasi dan berbagai implikasi budaya. Change management memberikan konsep untuk memahami dinamika dan berbagai manuver dalam budaya organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.

Kepemimpinan super (dalamiptek). Dunia modern saat ini sedang membutuhkan konsep dan praktek kepemimpinan kontemporer. Kepemimpinan ini dicirikan oleh super leader yang mahir dalam penguasaan ilmu pengetahuan, komunikasi IT, hubungan sosial dan kolegial, atau situasional. Kepemimpinan juga disebut serba bisa (serba tahu), pemimpin entrepreneur, atau komunikatif; yang mampu mentransformasikan info dan sumberdaya menjadi benefit untuk organisasi (kenali Marissa Meyer, CEO Yahoo). Pagon et al. (2008) menyatakan kepemimpinan membutuhkan kompetensi, yakni individu (antecendent), kognitif (cognitive), fungsional (fuctional) dan sosial (personal and social). Kompetensi individu merupakan atribut yang melekat kepada diri seseorang pemimpin. Kompetensi individu misalnya pendidikan, memberikan pengaruh yang kuat kepada misalnya kompetensi kognitif. Kompetensi kognitif memberikan landasan penguasaan pengetahuan umum, hukum, teori dan konsep. Kompetensi fungsional merupakan penguasaan ketrampilan untuk problem solving dalam kegiatan sehari-hari. Sementara kompetensi sosial merupakan kebutuhan untuk pembinaan hubungan dengan individu atau sosial. Seluruh kompetensi tersebut harus dipadukan dengan karakter organisasi antara lain visi, misi, value, dan tujuan. Perpaduan kompetensi kepemimpinan dan karakter organisasi akan menghasilkan keberhasilan dalam perubahan (change management).

Kepemimpinan inklusif. Siapa saja atau pemimpin hendaknya tidak membatasi hubungan pertemanan kepada hanya beberapa orang (eksklusif). Bergaulah seluas mungkin, dengan bawahan, atasan, laki-laki atau perempuan, sejawat atau lintas sektoral. Jangan pula mengkultuskan seseorang. Di organisasi budaya/tradisionil, kultus individu terjadi seiring tumbuhnya budaya feodal. Di organisasi pemerintah, kampus atau corporate seyogyanya tidak ada kultus individu. Khususnya kampus, adalah tempat berkembangnya kebebasan budaya akademik dan pemikiran keilmuan. Mengkultuskan rektor, guru besar atau dosen adalah wujud penyimpangan, atau suatu pengkerdilan pemikiran. Kultus berlawanan dengan kodrat berpikir. Menghindari hubungan eksklusif atau kultus bertujuan untuk menggali nilai-nilai kebenaran dan idealisme, serta untuk menempatkan harkat kemanusiaan.

Kepemimpinan kolegial. Lahirnya gagasan pemikiran yang jernih atau idealisme berasal dari kompetensi atau modal keilmuan/ketrampilan. Hubungan atas dasar keilmuan ini menghasilkan produktivitas tinggi dan kemajuan organisasi. Pemimpin atau siapa saja dalam organisasi saling melengkapi dan membantu demi terbangunnya kemajuan. Ada rasa keikhlasan, kepuasan dan kepercayaan menyumbangkan kompetensi untuk organisasi. Mereka ini bukan sekumpulan orang-orang yang menunggu dibayar untuk bekerja. Orang-orang yang transaksional ini senantiasa mengecewakan dan membebani organisasi. Kasus-kasus korupsi adalah diakibatkan oleh orang-orang transaksional. Ada rasa tidak nyaman bekerja dengan orang-orang yang transaksional. Betapa bahayanya bila pemimpin, atasan, atau bos berkarakter transaksional.

Kepemimpinan berdasar kebenaran Illahi. Teladan Rasulullah adalah kepemimpinan terbaik yang mendasari kehidupan manusia. Rasul menunjukkan pedoman hidup (Quran dan hadist), sikap hidup (akhlak) dan jalan hidup (syariat) agar supaya manusia menempati derajad yang tinggi, dan senantiasa memberi manfaat bagi sesamanya. Hubungan antar manusia senantiasa terpelihara sebagai bagian untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Tidak ada lagi hubungan saling mematikan, merugikan atau mengeksploitasi satu sama lain. Sebaliknya tercipta suasana mementingkan/ mendahulukan umat (itsar). Kita dapat meneladani kehidupan para sahabat yang penuh kasih dan sayang, serta bersemangat tinggi ketika berjuang dan berdakwah. Dalam hubungan kemasyarakatan, lingkungan kerja, atau komunikasi sosial, semua orang perlu menciptakan rasa nyaman, saling membutuhkan, dan berpikir positif untuk saling memahami. Hubungan ini biasanya ditandai oleh adanya inisiatif untuk memberi, mengkontribusi dan melayani.

*Penulis adalah Peneliti Kebijakan Publik dan Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya

Penulis: Layli/rEditor: Kundori