Pakar Tegaskan Revisi UU Perburuk Kinerja KPK
Jakarta (Suara Kalbar)- Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) M. Nur Ramadhan dalam sebuah diskusi bertema Kinerja KPK Periode 2019-2024, menjelaskan Indonesia pada tahun 2023 memperoleh skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 34 semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dilansir dari VoA Indonesia bahwa IPK yang stagnan tersebut, ungkapnya, menandakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih pada tahap mengkhawatirkan.
Menurut Nur, revisi Undang-undang (UU) KPK pada 2019 telah mengakibatkan status pimpinan bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut; hancurnya independensi karena peralihan status pegawai KPK; ketidakjelasan posisi dan kewenangan Dewan Pengawas KPK; munculnya kontroversi pengaturan batas usia minimum pencalonan pimpinan KPK, dan terciptanya problematika kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Semua itu, kata Nur, dapak buruk terhadap revisi lembaga antirasuah itu.
Nur terutama menyoroti kewenangan KPK untuk menerbitkan SP3.”Karena dengan bisanya KPK menerbitkan SP3 maka ada celah di sana bahwa suatu kasus korupsi bisa dihentikan sebelum masuk ke dalam proses persidangan. Sampai hari ini menurut pengamatan kami dan kami melihat beberapa literatur, KPK sudah mengeluarkan delapan SP3,” katanya.
Padahal, kata Nur, Mahkamah Konstitusi melalui dua putusannya pada 2003 dan 2006 telah mengingatkan agar KPK tidak diberi kewenangan untuk menerbitkan SP3 karena dua alasan, yakni untuk mengingatkan KPK untuk lebih berhati-hati dalam mengembangkan kasus dan memberikan kepastian hukum kepada tersangka mengingat adanya putusan pengadilan.
SP3 yang diterbitkan KPK, menurut Nur, beberapa di antaranya karena alasan tersangka yang sakit keras atau tersangka sudah meninggal. Namun, katanya, ada juga SP3 yang dikeluarkan KPK karena tidak cukup bukti dalam proses pengembangan kasus.
KPK pertama kali mengeluarkan SP3 pada 1 April 2021 kepada Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sejak 2 Oktober 2019, karena diduga sudah merugikan negara Rp 4,58 triliun.
Nur menerangkan, langkah menempatkan KPK dalam rumpun eksekutif merupakan upaya yang tidak hanya selektif tapi juga represif. Praktik ini bila berlanjut bisa berujung pada penyingkiran sejumlah pegawai KPK yang dinilai kritis dan memiliki rekam jejak mengesankan dalam pemberantasan korupsi. Walhasil, ujarnya, situasi ini dapat berkontribusi pada merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga itu.
Nur juga menyoroti kenaikan batas usia minimum calon pimpinan KPK. Menurutnya, tidak ada hubungan antara batas usia minimum yang dinaikkan dengan kemajuan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Masih menurut Nur, ketidakjelasan posisi dan kewenangan Dewan Pengawas KPK membuat lembaga ini tidak bertaji. Ia menilai, Dewan Pengawas KPK bahkan banyak mengeluarkan putusan yang mengecewakan terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan dan pegawai KPK.
Sementara, peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya menyoroti pengubahan dan penambahan kedeputian di KPK dari empat menjadi lima yang menyebabkan inefisiensi dalam birokrasi dan peningkatan kebutuhan anggaran. Perubahan ini dilakukan di era kepemimpinan Firli Bahuri, ujarnya.
“Kalau pimpinan KPK punya komitmen untuk memperbaiki dan menyelesaikan persoalan , seharusnya mereka lebih banyak mengedepankan perekrutan penyelidik dan penyidik independen,” ujarnya.
Diky menambahkan eksistensi penyelidik dan penyidik independen tersebut penting untuk menghilangkan ketergantungan pimpinan KPK terhadap penyelidik dan penyidik dari instansi lain.
Diky juga menyoroti konflik bekerpanjangan antara pimpinan KPK dengan Dewan Pengawas KPK. Dia mencontohkan adanya silang pendapat antara pimpinan KPK dengan Dewan pengawas dalam perkara dugaan suap dalam pergantian antar waktu anggota DPR periode 2019-2024.
Terkait kinerja sektor penindakan, Diky melihat terjadi penurunan selama pimpinan KPK periode 2019-2024. Dia menyebutkan indikatornya adalah minimnya KPK menjerat politisi dalam kasus dugaan rasuah, minimnya perlindungan dari pimpinan ketika ada pegawai KPK terancam, dan terjerembabnya KPK dalam pusaran konflik kepentingan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata meminta masyarakat tidak terlalu berharap kepada lembaganya di tengah situasi seperti saat ini. Alex menyampaikan terima kasih kepada semua pihak termasuk aktivis anti korupsi yang terus mendukung dan mengoreksi KPK.
“Tetapi kalau kalian bapak/ibu berharap terlalu tinggi kepada KPK dengan kondisi seperti sekarang akan kecewa,” ujar Alexander.
Alex juga menyatakan bahwa kunci pemberantasan korupsi agar berhasil ada di tangan presiden. Penegakan hukum terhadap perilaku korupsi dan tindakan lainnya itu sangat bergantung pada keinginan politik kepala negara.
Alasannya ,kata Alex, presidenlah sosok yang bisa mengendalikan dan mengolaborasikan semua instrumen kekuasaan untuk memberantas korupsi. Untuk itu, dia berharap agar presiden mendatang berkomitmen memberantas korupsi.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS