Opini  

Frasa Madrasah Hilang dari RUU Sisdiknas, Sekulerisasi Makin Memanas

ilustrasi - Madrasah [int]

Oleh: Fanti Setiawati

LEMBAGA yang berwenang mengurusi pendidikan negeri ini kembali menuai kontroversi. Kisruh ini dimulai sejak beberapa waktu lalu, Pemerintah melalui Kemendikbudristek menggodok satu draf penting, yaitu draf revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas.

Sejumlah pihak menolak revisi RUU ini. Salah satunya karena frasa atau kata madrasah diduga hilang dari draf revisi RUU tersebut hingga minimnya uji publik (liputan6.com, 1/4/2022). Hilangnya frasa itu dianggap sebagai bentuk i’tikad tak baik pemerintah terhadap keberlangsungan Madrasah.

Dilansir dari laman yang sama, menurut Ketua Umum PB Perkumpulan Guru Madrasah Nasional Indonesia (PGMNI), Heri Purnama, RUU Sisdiknas yang beredar di tengah masyarakat ini dapat memicu emosi seluruh komunitas guru-guru madrasah. PGMNI mencatat, ada 1.000.050 guru yang tersebar di hampir 16 juta madrasah di seluruh Indonesia yang akan merasakan dampak RUU ini. Heri menuturkan, dengan tidak mencantumkan kata madrasah dalam RUU Sisdiknas, akan berdampak kepada seluruh steakholdernya. Selain itu, payung hukum yang menjadi landasan kegiatan belajar mengajar di madrasah juga akan hilang. Bahkan Heri menengarai, penghapusan kata madrasah ini sebagai tindakan pemerintah untuk membiaskan makna satuan pendidikan di Indonesia. Padahal, dengan UU Sisdiknas 2003 saja, madrasah kerap dianaktirikan oleh pemerintah.

Testing the Water
Atas kisruh ini, Mendikbudristek telah membantah hal tersebut. Nadiem Makarim menyatakan bahwa pihaknya tak pernah berencana untuk menghapus madrasah atau sistem pendidikan lain dari Sisdiknas. (kompas.com,31/3/2022)

Sedangkan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengemukakan, jika tidak pernah ada rencana penghapusan bentuk-bentuk satuan pendidikan dalam RUU tersebut. Lebih lanjut, ia menegaskan, jika penamaan secara spesifik seperti SD dan MI, SMP dan MTS, atau SMA, SMK, dan MA bakal diperjelas dalam bagian lain. Ia juga mengemukakan, hal tersebut dilakukan agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat undang-undang. Dengan demikian, menurutnya, akan menjadi lebih fleksibel dan dinamis. (kalbar.suara.com, 30/3/2022)

Sementara itu, Dede Yusuf, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menyatakan kemungkinan bahwa draf RUU Sisdiknas yang beredar adalah draf yang masih uji coba. Kemungkinan lain, dikatakan Dede draf itu memang merupakan draf uji coba untuk melihat respons masyarakat. Sebab, saat ini saja polemik terkait hilangnya frasa madrasah di RUU Sisdiknas sudah dibantah oleh Kemendikbud. Menurut Dede, Komisi X menganggap ini semacam testing the water.

Ketika testing the water, mestinya dilakukan naskah akademik yang dilakukan uji publik. (suara.com, 29/3/2022)
Pernyataan senada juga diungkapkan Direktur Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan, Nurcholis Basyari. Ia menilai, dihilangkannya frasa madrasah dalam RUU Sisdiknas sebagai test the water pemerintah terhadap masyarakat.

Nurcholis mengatakan, secara substansi Undang-undang Sisdiknas yang sudah ada sebetulnya tidak perlu diotak-atik terutama dalam mengakomodir madrasah juga aliyah sebagai bagian dari sekolah. Nurcholis menambahkan, saat ini pengelola madrasah juga pondok pesantren tengah memiliki semangat untuk mengintegrasikan sistem pendidikan sesuai dengan amanat sistem pendidikan nasional. (ayobandung.com)

Penghilangan frasa madrasah ini jelas menunjukkan bahwa penguasa memang mengabaikan perasaan Umat Islam. Test the water. Setelah menuai berbagai kritik kini pemerintah buru-buru merevisi RUU tersebut. Seolah ingin menunjukkan bahwa pemerintah telah mengakomodir masukan dari masyarakat. Tidak hanya itu, hal ini juga berpotensi menjadi “operasi senyap” untuk meminggirkan agama dalam kehidupan.

Tidak Memenuhi Azas Penyusunan RUU

Kisruh RUU Sisdiknas juga ditengarai tidak terpenuhinya azas penyusunan RUU. Sebagaimana yang diungkapkan Anggota DPR RI dari fraksi PAN Zainuddin Maliki. Menurutnya, dalam menormakan sebuah pasal dalam undang-undang harus memenuhi azas lex stricta dan juga lex certa. Azas lex stricta dalam menyusun undang-undang mengharuskan pasal ditulis secara jelas dan dapat dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas sehingga menimbulkan analogi dan atau multi makna. Azas lex certa juga harus terpenuhi sehingga dalam menormakan aturan ke dalam pasal undang-undang harus mengedepankan pentingnya kepastian. Zainudin mengungkapkan, dua hal tersebut sama pentingnya dengan nilai-nilai keadilan atau kemanfaatan dalam sebuah aturan agar pasal undang-undang tidak menimbulkan multitafsir. (kompas.com, 31/3/2022)

Jika azas penyusunan RUU saja sudah terabaikan,patut dipertanyakan urgensitas penyusunan RUU ini. Sehingga pemerintah begitu bersemangat menggelindingkan bola panas RUU ini sehingga menuai polemik di tengah masyarakat.

Alasan Fleksibilitas, Indikasi RUU Bisa Ditarik Ulur Sesuai Kepentingan

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo, mengungkapkan sedari awal tidak ada keinginan ataupun rencana untuk menghapus sekolah atau madrasah atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional. Sekolah maupun madrasah secara substansi tetap menjadi bagian dari jalur-jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh dari revisi RUU Sisdiknas.

Penamaan secara spesifik seperti SD dan MI, SMP dan MTS, atau SMA, SMK, dan MA akan dijelaskan dalam bagian penjelasan. Hal ini dilakukan agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat UU, sehingga lebih fleksibel dan dinamis.

Alasan “fleksibel dan dinamis” ini sangat berpotensi ditarik ulur sesuai kepentingan. Meletakkan frasa madrasah hanya pada poin penjelasan, menyebabkan suatu frasa madrasah saat akan sangat mudah untuk dihapuskan. Sebab hanya terletak pada bagian penjelasan.

Dikotomi Sekolah & Madrasah: Bentuk Sekularisasi Pendidikan

Buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara mengungkapkan realita peran intelektual muslim. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa keuletan ulama, kiai, para santri, dan generasi muda Islam sebagai kelompok intelektual pada zamannya mampu memberikan bimbingan dan kepemimpinan terhadap masyarakat yang sedang tertindas. Sehingga muncul anggapan penghapusan “madrasah” adalah bentuk pengkhianatan pada sejarah negeri ini.

Sinyal sekularisasi dalam sistem pendidikan negeri ini semakin memanas. Terbukti dengan masifnya dikotomi sekolah umum dan madrasah. Sejarah mencatat, kemerosotan pendidikan dan pengajaran Islam pernah terjadi saat arus pengembangan sekolah umum dilakukan seluas-luasnya dengan pembangunan fasilitas yang masif. Lulusan sekolah umum pun seolah lebih mendapat tempat di lembaga pemerintahan ketimbang sekolah agama.

Kondisi tersebut kian memperparah inferioritas sekolah-sekolah agama. Belum lagi kerangka pikir sekuler yang memengaruhi pola sistem pendidikan berbasis agama. Akhirnya, keluaran sekolah agama mengalami krisis identitas, bahkan mengalami kebingungan saat hendak mengaplikasikan ilmunya di tengah masyarakat. Dampak lanjutannya, lembaga pendidikan berbasis agama kian sepi peminat.

Apalagi dalam Pasal 32 Draf RUU Sisdiknas tertulis, “Pendidikan Keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan pelajar untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi landasan untuk menjadi ahli ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan ajaran agama.” Seakan-akan ilmu agama itu terpisah dari ilmu dunia.

Walhasil, masalah turunan pun berpotensi terjadi, yaitu kesenjangan mutu pendidikan & klasterisasi bangsa. Seperti yang dingkapkan ketua PGMNI sebelumnya, kondisi ini terlihat timpang dengan sekolah-sekolah SD hingga SMA. Satuan pendidikan tersebut memiliki fasilitas yang memadai dalam mendukung proses belajar mengajar. Padahal anggaran pendidikan dalam APBN yang dikelola Kemendikburistek, jumlahnya mencapai sekitar Rp 500-600 triliun. Dari jumlah itu, madrasah hanya mendapatkan Rp 14 triliun. Menururt Heri, penghapusan kata madrasah ini dikhawatirkan menjadi langkah awal pemerintah untuk memberangus keberadaan sekolah tersebut.

Sistem Pendidikan Terbaik

Seharusnya, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian yang mampu menyatukan pemikiran dan tingkah lakunya. Dengan sendirinya, generasi akan mampu menyatukan pemahaman agama dengan ilmu-ilmu umum. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan yang dianut oleh begara yang menerapkan sistem Islam.

Dikotomi pendidikan agama dan umum sejatinya lahir dari sistem sekuler yang memisahkan agama dari pendidikan. Hal tersebut kontras dengan sistem pendidikan Islam yang mencetak sosok intelektual yang menguasai ilmu agama, juga kapabel dalam ilmu umum. Luaran sistem pendidikan Islam menjadi SDM unggul yang mendedikasikan ilmunya untuk kemajuan peradaban. Di saat yang sama, mereka memahami bahwa sebanyak apa pun ilmu yang mereka miliki, Allah akan meminta pertanggungjawaban atas ilmu tersebut.

Sistem pendidikan Islam terbukti mampu menyelaraskan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dengan target membangun peradaban cemerlang. Sebuah peradaban yang menyejahterakan sekaligus memelihara nilai-nilai luhur kehidupan.

Belasan abad, umat Islam menjadi prototipe umat terbaik. Menjadi pelopor kemajuan hakiki yang menebar rahmat ke seluruh alam. Kerahmatannya tidak hanya dirasakan oleh entitas umat Islam, tetapi juga oleh umat nonmuslim, bahkan seluruh semesta alam. Dunia tak dapat menafikan hal ini. Keberkahan terus melingkupi kehidupan sebagaimana hujan dari langit yang membawa kebaikan.

Sistem pendidikan Islam tegak di atas pilar akidah yang kukuh. Yakni keimanan kepada Allah, Rabb Pencipta Alam. Asas inilah yang mengarahkan visi dan misi pendidikan sebagai jalan mewujudkan misi penciptaan manusia. Yakni menjadikan manusia sebagai sebaik-baik hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi.

Pendidikan Islam bukan hanya tampak pada nama atau penyebutan nomenklatur, tetapi tampak pada seluruh aktivitas yang dilakukannya. Kurikulum, metode pembelajaran, sarana prasarana, kualifikasi guru atau pendidik, dukungan kelembagaan dan perundang-undangan, sokongan pendanaan, semuanya selaras untuk mendukung tujuan hakiki pendidikan Islam. Wajar jika pendidikan mampu menjadi pilar peradaban.

Negara berparadigma Islam akan menerapkan seluruh aturan Islam secara kafah. Mulai dari sistem politik Islam, ekonomi dan moneter Islam, pergaulan Islam, informasi dan perihal media massa Islam, hukum dan sanksi Islam, hankam, dan sebagainya. Penerapan aturan yang komprehensif inilah yang juga akan mendukung tercapainya tujuan hakiki pendidikan.

Tidak heran jika saat sistem Islam ditegakkan, peradaban Islam demikian cemerlang. Pada masa itu, lahir profil-profil generasi terbaik dan bertakwa yang bukan hanya mumpuni dalam satu dua bidang ilmu pengetahuan, tetapi memiliki multi kepakaran. Kontribusi mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga peradaban manusia, diakui oleh kawan maupun lawan hingga pada masa sekarang.
Wallahu’alam bi shawab.

*Penulis adalah Anggota Komunitas Tinta Peradaban Ketapang

Penulis: RilisEditor: Redaksi