Belanja Barang Bekas Dinilai Bantu Permasalahan Lingkungan, Menparekraf: Tapi Tidak Boleh Impor

ILUSTRASI - Koleksi Trafficrooms (Facebook/trafficrooms).

Suara Kalbar– Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, turut menyoroti fenomena thrifting atau kegiatan membeli barang bekas yang kini sangat diminati para anak muda. Dari fenomena itu banyak muncul para pelaku ekonomi kreatif lokal yang menggeluti bisnis thrifting. Menurut Sandiaga, membeli pakaian bekas ternyata mampu membantu menyelesaikan permasalahan lingkungan.

“Mereka melihat bahwa brand-brand besar dari luar negeri ini ternyata mengakibatkan ketidakberkelanjutan lingkungan, karena 60 persen dari fesyen itu akan berakhir di landfill (tempat pembuangan akhir.red). Sekarang membeli pakaian bekas pun ternyata membantu menyelesaikan permasalahan lingkungan dan tidak menambah jejak karbon,” katanya dalam The Weekly Brief with Sandi Uno, Senin (16/1).

Kendati kegiatan thrifting dinilai mampu mengatasai permasalahan lingkungan. Namun, Sandiaga menegaskan pelaku ekonomi kreatif lokal tidak boleh melakukan impor barang-barang bekas, termasuk pakaian dan sejenisnya.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno. (Courtesy : Kemenparekraf)
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno. (Courtesy : Kemenparekraf)

“Menteri Perdagangan melarang impor baju bekas dari luar negeri. Berarti ini ada peluang untuk para pelaku ekonomi kreatif lokal. Kita boleh jual barang bekas. Tapi tidak boleh impor barang bekas,” jelasnya.

Dengan demikian, Sandiaga melalui Kemenparekraf mendukung seluruh kegiatan dalam pengembangan potensi para talenta-talenta ekonomi kreatif lokal di Indonesia, termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Terutama brand lokal ini peka terhadap isu lingkungan dan lebih ramah lingkungan. Kita dorong menggunakan pewarna alami. Tenaga kerjanya juga lokal dan masa pakai lebih lama,” tandasnya.

Tren Thrifting Merambah Pasar Modern

Pengamat ekonomi Gunawan Benjamin mengatakan tak bisa dipungkiri lagi tren thrifting telah menjadi fesyen di berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, para penjual pakaian bekas impor tak lagi menjajakan di pasar-pasar tradisional. Namun, telah merambah ke pasar-pasar modern seperti butik.

“Artinya mereka menjual di butik-butik tertentu. Seakan-akan ini memberikan gambaran bahwa itu fesyen sekarang,” katanya kepada VOA.

Salah satu alasan pakaian bekas diminati lantaran banyak merek-merek ternama yang dijual murah. Apalagi pakaian bekas impor menjadi target para pencinta thrifting.

“Ternyata pembeli sangat puas membeli pakaian bekas. Meskipun pakaian bekas. Tapi kekuatan untuk pakaian bekas merek tertentu, khususnya impor, memberi nilai tambah fesyen mereka,” ungkap Benjamin.

Ribuan pakaian disimpan pada sistem konveyor tiga tingkat di fasilitas penyortiran ThredUp di Phoenix, Arizona, AS, 12 Maret 2019. (AP/Matt York, File)
Ribuan pakaian disimpan pada sistem konveyor tiga tingkat di fasilitas penyortiran ThredUp di Phoenix, Arizona, AS, 12 Maret 2019. (AP/Matt York, File)

Gempuran fenomena thrifting pun sejalan dengan menjamurnya para UMKM lokal yang menjual pakaian bekas termasuk barang-barang impor. Namun, di balik itu ada dampak negatif yang menghantui bisnis UMKM di bidang tekstil.

“Di sisi lain ini menjadi masalah karena bisnis UMKM di bidang tekstil juga mendapatkan dampak negatif dari kehadiran pakaian bekas (termasuk) impor,” pungkas Benjamin.

Solusi yang diberikan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tampaknya menjawab kekhawatiran pebisnis UKM karena dukungan akan tetap diberikan untuk menjawab maraknya thrifting, selama barang yang di-thrifting tidak impor.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS