SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Nasional Dosen Muda Indonesia di New York Ajari Anak-anak Nelayan di Pulau Kei Bahasa Inggris

Dosen Muda Indonesia di New York Ajari Anak-anak Nelayan di Pulau Kei Bahasa Inggris

Seluruh partisipan Kei Besar bersama tim dosen dari AS, Angelina Vanessa, dan Pastor Patrisius Jeujanan (foto: dok. Marshella Lie). SUARA KALBAR.CO.ID/HO.VoA Indonesia.

Jakarta (Suara Kalbar)- Seorang dosen muda Indonesia di New York mengajak dua koleganya untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak nelayan di Pulau Kei Besar, Maluku, belum lama ini. Cita-citanya sederhana: agar anak-anak itu dapat memberdayakan diri dalam memaksimalkan potensi pariwisata pulau mereka.

Potensi wisata Kepulauan Kei, salah satu gugusan pulau terluar Maluku, sangat menjanjikan, ungkap Marshella Lie, diaspora Indonesia yang berprofesi sebagai seorang ahli bahasa dan dosen di City University of New York (CUNY).

“Tetapi karena kurangnya sumber daya manusia yang ada di sana, mereka itu tidak bisa mengekspos pulau mereka,” ujar Marshella, yang merupakan direktur Program Bahasa Indonesia di universitas itu.

Itulah yang mendorongnya untuk terbang ke Desa Bombay, Pulau Kei Besar, untuk mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak nelayan di sana. Proyek pribadinya itu ia namakan English Camp. Tujuannya, membantu memberdayakan warga lokal untuk dapat meningkatkan pariwisata di kampung halaman mereka.

“Salah satu dari anak-anak aja bilang, ‘Nanti kalau misalnya saya udah besar, ya paling kita jual aja pariwisata ini ke orang asing’. Padahal kan sayang sekali, mereka itu punya potensi untuk mendapatkan income (penghasilan), bisa menjadi tuan rumah gitu bagi pulau mereka sendiri,” tambahnya dilansir VoA Indonesia.

Ia juga mempelajari bahwa anak-anak di Kei Besar sudah dihadapkan pada dua pilihan sejak masih duduk di sekolah dasar: melanjutkan sekolah menengah pertama atau bekerja sebagai penambang di Papua untuk membawa penghasilan ke pulau asal mereka, meski belum cukup usia.

Dalam menjalankan English Camp-nya, Marshella tidak sendirian. Ia mengajak dua dosen asal Amerika Serikat, Cynthia Wiseman dan Linda Pelc, untuk ikut serta dalam program itu. Mereka disambut hangat oleh warga Kei Besar—dengan tarian dan doa dalam bahasa lokal—setelah menempuh perjalanan panjang dari Amerika Serikat menuju Jakarta, lalu terbang ke Ambon dan Langgur, untuk kemudian naik kapal menuju Desa Bombay.

Cynthia Wiseman, salah satu dosen AS yang diajak Marshella mengajar di sana, menuturkan, “Saya terinspirasi untuk kembali lagi tahun depan untuk bekerja sama dengan anak-anak dan para guru. Kami berharap program ini akan terus berlanjut tahun depan.”

Meski dinamai English Camp, materi yang diajarkan ketiga dosen itu bukan sekadar bahasa Inggris, tapi juga pembinaan kepribadian, seperti menanamkan rasa percaya diri pada anak-anak, penyuluhan terkait pentingnya sekolah, hingga materi yang memacu kreativitas, seperti menyanyi, membuat lirik lagu dan membuat kerajinan tangan.

Dalam menjalankan English Camp-nya, Marshella tidak sendirian. Ia mengajak dua dosen asal Amerika Serikat, Cynthia Wiseman dan Linda Pelc, untuk ikut serta dalam program itu. Mereka disambut hangat oleh warga Kei Besar—dengan tarian dan doa dalam bahasa lokal—setelah menempuh perjalanan panjang dari Amerika Serikat menuju Jakarta, lalu terbang ke Ambon dan Langgur, untuk kemudian naik kapal menuju Desa Bombay.

Cynthia Wiseman, salah satu dosen AS yang diajak Marshella mengajar di sana, menuturkan, “Saya terinspirasi untuk kembali lagi tahun depan untuk bekerja sama dengan anak-anak dan para guru. Kami berharap program ini akan terus berlanjut tahun depan.”

Meski dinamai English Camp, materi yang diajarkan ketiga dosen itu bukan sekadar bahasa Inggris, tapi juga pembinaan kepribadian, seperti menanamkan rasa percaya diri pada anak-anak, penyuluhan terkait pentingnya sekolah, hingga materi yang memacu kreativitas, seperti menyanyi, membuat lirik lagu dan membuat kerajinan tangan.

Marshella pertama kali terhubung dengan warga Desa Bombay melalui Angelina Vanessa, pendiri lembaga swadaya Revociety, yang berfokus di bidang kesehatan. Ia sering mengunjungi Kei Besar sejak tahun 2014 untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warga.

Menurutnya, kegiatan langka seperti English Camp bisa memberikan dampak positif bagi generasi muda di Kei Besar, alih-alih terjerumus ke dalam perilaku seks bebas, mengingat tingginya angka anak-anak pengidap HIV di sana.

“Dengan pengalaman sepuluh tahun di pulau ini, (timbul) kecintaan saya—bahwa masyarakat ini harus ditolong, tapi saya tidak bisa sekadar dari kesehatannya doang, karena background saya dokter umum. Tapi saya sangat sadar bahwa pendidikan itu justru harus juga jadi pilar utama. Karena kalau misalnya saya maunya cuma nolong di bagian kuratifnya, mereka enggak mengubah pola hidup mindset itu, ya percuma,” paparnya.

Vanessa juga berkolaborasi dengan seorang pastor bernama Patrisius Jeujanan, pendiri pusat belajar Santa Brigitta, yang didirikan untuk memfasilitasi anak-anak Kei Besar dengan kegiatan positif, seperti kelas bahasa Inggris, kelas musik, dan penyuluhan kesehatan.

Pastor Patrisius mengapresiasi perhatian yang diberikan Marshella dan timnya terhadap para anak nelayan di Pulau Kei Besar, yang menurutnya memiliki potensi besar untuk membesarkan wilayah mereka sendiri.

Harapannya sederhana, agar anak-anak tersebut memiliki keberanian berbicara, sehingga dapat menjadi modal untuk mempromosikan kekayaan daerah mereka.

“Anak-anak datang dari berbagai tempat. Mereka kamping di sini, tinggal di sini, dari pagi sampai malam kegiatan, dan sungguh luar biasa kegiatan penuh suka cita, kegembiraan. Mereka diterima sebagai satu keluarga, we are family, dan di sanalah kita bersama-sama, bermain bersama, berbahasa Inggris bersama, dengar musik sama-sama, mereka juga bermain ukulele, pianika, mereka menggambar. Itu adalah bagian yang paling penting,”katanya.

Marshella pun berharap program itu bisa menjadi kegiatan yang berkesinambungan, di mana pemerintah dapat berperan lebih dalam memberdayakan masyarakat lokal Kei Besar.

Ia sempat berupaya meminta dukungan ke direktorat kebudayaan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) New York, namun hingga English Camp digelar Agustus lalu, ia tidak memperoleh respons dari pihak kementerian.

VOA telah menghubungi Kemendikbudristek untuk meminta tanggapan atas proposal tersebut, tapi hingga berita ini terbit, belum mendapatkan jawaban.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan