Suara Kalbar – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Abdullah Azwar Anas, mengatakan anggaran pengentasan kemiskinan sebesar Rp500 triliun pada 2022 yang tersebar di kementerian dan lembaga di Tanah Air tidak efektif. Pasalnya alokasi anggaran ternyata lebih banyak diserap untuk aktivitas rapat dan studi banding para birokrat ketimbang untuk menanggulangi kemiskinan itu sendiri.
“Saya sudah lapor kepada Bapak Presiden, hampir Rp500 triliun anggaran kita untuk anggaran kemiskinan yang tersebar di kementerian dan lembaga. Tetapi ini tidak in line dengan target prioritas Bapak Presiden karena kementerian dan lembaga sibuk dengan urusan masing-masing,” ujar Azwar Anas pada Jumat (27/8) dalam sebuah acara di kementeriannya.
Karena itulah, tegasnya, perubahan harus dilakukan.
“Kalau tidak, ke depan ini akan berulang terus. Programnya kemiskinan, tapi banyak terserap di studi banding kemiskinan, banyak rapat-rapat tentang kemiskinan. Program-program yang terkait dengan studi-studi dan dokumentasi tentang kemiskinan,” tambahnya.
Karena itulah, ke depan Kementerian PAN-RB akan memantau tata kelola program dan bukan sekadar bantuan yang diberikan kementerian dan lembaga. Reformasi birokrasi dilakukan dengan mengintervensi dan memperbaiki aspek tata kelola pengentasan kemiskinan. Caranya adalah dengan melakukan perbaikan pada proses bisnis, data, regulasi, kebijakan, formulasi programn, dan kegiatan itu sendiri. Semua kegiatan pengentasan kemiskinan harus lebih tepat sasaran dengan dukungan teknologi informasi.
Pengentasan Kemiskinan Komitmen Moral
Menanggapi pernyataan Azwar Anas, dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr. Hempri Suyatna menilai, ketidakefektifan program-program pengentasan kemiskinan, sebenarnya sudah dimulai dari birokrat sendiri.
“Itu, saya kira bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan. Artinya, bahwa kemiskinan itu masih dipandang sebagai sebuah proyek. Kemiskinan itu masih dipandang sebagai sebuah komoditi,” ujarnya kepada VOA, Minggu (29/1).
“Akhirnya, justru elite pemerintah lupa, bahwa pengentasan kemiskinan adalah merupakan sebuah komitmen moral dalam membantu masyarakat,” tambah dia.
Hempri, mengutip pernyataan Menteri PAN-RB, mengatakan dari sisi praktik anggaran sebenarnya perubahan bisa dilakukan. Jika selama ini rapat-rapat terkait kemiskinan diselenggarakan di hotel berbintang, maka bisa saja praktik itu dipindah ke tengah masyarakat. Rapat terkait upaya pengentasan kemiskinan, digelar di desa dengan melibatkan masyarakat itu sendiri.
Pola semacam itu, paling tidak bisa mengalihkan anggaran rapat dan studi banding, agar langsung mengalir ke masyarakat desa dan sekaligus berdampak pada upaya pemberdayaan. Langkah kecil itu juga akan berdampak langsung pada program pengentasan kemiskinan. Pembenahan kecil itu bisa dijalankan, jika memang rapat mengenai kemiskinan masih perlu dilakukan.
Namun, Hempri mendorong perubahan yang lebih mendasar, yang dia sebut sebagai perubahan paradigma pengentasan kemiskinan dan perubahan paradigma pemberdayaan.
“Karena selama ini, banyak program-program berlabel pemberdayaan, tapi ternyata kalau kita lihat sisi substansinya, tidak mencerminkan sebagai sebuah program pemberdayaan,” ujarnya.
Dasar perubahannya adalah memindah pola pikir, dari pengentasan kemiskinan sebagai sebuah proyek, menjadi bagian dari komitmen moral
“Sehingga, filosofi program pengentasan kemiskinan, akan mengarah pada substansi program. Pemberdayaan bukan semata-matanya label. Program-program yang dikembangkan masyarakat sendiri, berorientasi pada kemandirian dan pengembangan kapasitas masyarakat miskin,” tegasnya.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS