Opini  

Mengkomunikasikan Kesetaraan Melalui Event Paragames

Marroli J. Indarto

Oleh: Marroli J. Indarto

“Tiada lagi yang mampu menghalangi. Aku takkan berhenti melangkah. ‘cause i’m moving on” ujar penyanyi Andien saat menyanyikan lagu Moving On di atas panggung penutupan perhelatan ASEAN Paragames (APG) XI tahun 2022. Di Stadion Manahan Solo, para penyandang disabilitas dan seluruh tamu undangan yang hadir melebur menjadi satu. Setara, sama dalam kedudukan.Sesuai dengan tema APG 2022 “Striving for Equality”, menggapai kesetaraan untuk semua.

Kota Solo ditunjuk sebagai tuan rumah karena laik dan ramah dengan penyandang disabilitas. Keseriusan dan komitmen adalah kunci mengingat acara internasional ini diikuti oleh 1.907 orang, terdiri dari 1.248 atlet dan 659 ofisial dari 11 negara ASEAN, dan mempertandingkan 14 cabang olahraga dengan 457 nomor pertandingan yang memperebutkan 1.260 medali baik emas, perak, dan perunggu.

Jika dibanding dengan perhelatan yang sama pada 2011 lalu, ada beberapa perubahan signifikan terhadap sarana dan pra-sarana para peserta APG 2022, seperti renovasi tribun penonton dan VIP, Jogging track, lapangan GOR, kantor, toilet difable, pemasangan scoring board, lighting, dan tribun.

Begitu pula dengan publisitas acara. Media menaruh perhatian besar pada event ini. Seluruh cabang olahraga yang dilombakan dalam APG 2022 telah terekam di jejak pemberitaan banyak media massa.

Situasi Penyandang disabilitas di Indonesia

Ada yang istimewa pada kompetisi olahraga para atlet difabel se-ASEAN yang berlangsung sejak tanggal 30 Juli 2022 tersebut. Semangat atlet tanah air telah mengantarkan Indonesia menjadi juara umum dengan raihan 175 medali emas, 144 medali perak, serta 106 medali perunggu.

Ini menjadi kebanggaan tersendiri, ditengah kondisi penyandang disabilitas yang masih kurang menguntungkan baik pada aspek pendidikan, pekerjaan, kesejahteraan, teknologi, serta inklusi keuangan.

Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional 2020 menyebutkan bahwa 29,61 persen penyandang disabilitas adalah lulusan pendidikan dasar. Bahkan 27,74 persen tidak tamat pendidikan dasar. Sementara, kajian Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (2015) mengungkapkan 71,4 persen penduduk penyandang disabilitas adalah pekerja informal. Salah satu faktor penyebabnya, kurangnya akses ke pasar tenaga kerja.

Pemerintah terus memberikan perhatian serius. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy penyandang difabel harus diberikan ruang-ruang dan perlakuan yang setara dengan mereka yang non-difabel. Menurutnya, perlakuan setara perlu dilakukan supaya penyandang disabilitas dapat mengeksplorasi dan mengekspresikan kemampuannya.

Indonesia juga tercatat menjadi bagian dari 160 negara yang meratifikasi konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas atau The United Nations Convention on the rights and persons with Disabilities (CRPD). Regulasi dituangkan melalui Undang-Undang No 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Selain itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas berikut turunannya. Langkah lain pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya afirmasi kepada penyandang disabilitas.

Empati Adalah Kunci Berkomunikasi

Mengkomunikasikan kesetaraan bagi penyandang disabilitas adalah implementasi model sosial disabilitas, yaitu penyandang disabilitas dipandang tidak semata terkait medis atau kesehatan yang cenderung individual, tapi lebih konteks sosial (Oliver, 1983, 2013).

Sebelumnya, penanganan disabilitas lebih fokus pada program-program untuk penyandang disabilitas semata (e.g. Whiters, 2016). Dalam konteks medis, penyandang disabilitas dipandang sebagai pihak yang perlu melakukan perubahan pada dirinya, beradaptasi dengan keadaan, serta tidak ada gagasan tentang perlunya melakukan perubahan pada masyarakat (The Open University, 2006).

Berbeda dengan pandangan medis, disabilitas dengan model sosial memandang bahwa hambatan sistemik, sikap negatif dan eksklusif oleh masyarakat merupakan faktor kunci penentu, siapa yang menyandang disabilitas dan siapa yang tidak menyandang disabilitas dalam masyarakat.

Dunia cenderung memilih jalan model sosial disabilitas, mereka fokus bagaimana mendapatkan hak yang baik dan menegakan martabat semua orang dalam masyarakat (Office of disability Issues, 2003). Untuk itu, sudah menjadi kewajiban bagi semua pihak agar mampu berkomunikasi dengan disabilitas secara baik dan tepat.

Kita menyadari masih banyak ditemui citra yang kurang tepat bagaimana berkomunikasi dengan penyandang disabilitas. Dalam beberapa kasus, Penyandang disabilitas juga mengalami perlakuan kurang adil dan bersahabat saat mencari kerja, dan terkesan dipersepsi abnormal yang berakibat pada rendahnya penerimaan kerja.

Badan Pusat Statistik menyatakan pada tahun 2021 persentase pekerja laki-laki dengan disabilitas tercatat 5,09 persen, sementara perempuan tercatat 5,81 persen.

Citra negatif bisa juga didapatkan dari tatapan mata, perasaan yang tidak aman dari penyandang disabilitas. Citra negatif itulah yang menyebabkan mereka merasakan hal yang berbeda dari respons sekecil apapun dari masyarakat umum.

Masyarakat non difabel diharapkan dapat lebih memahami dan mengerti. Misal, ketika kita berkomunikasi dengan people with stutter (PWS) atau gagap perlu empati karena kekuranglancaran dalam berkomunikasi. Begitupun dengan penyadang disabilitas autistik, kita harus detail dan lugas karena mereka akan kesulitas dengan bahasa ambigu atau sindiran.

Kita juga dituntut lebih empati dengan penyandang disabilitas down syndrome, mereka memiliki suasana hati yang cepat berubah-berubah. Pada halnya berbicara dengan penyandang tuna rungu, memutus kontak atau pembicaraan dengan mereka dianggap tidak sopan.

Lalu bagaimana agar kita dapat berkomunikasi secara proporsional dengan penyandang disabilitas. Pertama, Kuncinya harus dibiasakan sejak kecil. Orang tua perlu mengajari anak untuk menghargai dan menerima agar membantu proses tumbuh kembang seseorang dengan disabilitas.

Kedua, kita dapat berperan dalam mengafirmasi potensi positif yang mereka miliki. Hal ini khususnya ditujukan pada penyandang disabilitas yang sudah dalam tahap menerima keadaan.

Ketiga, orang tua jangan terlalu protektif. Berikan keleluasaan pada anak dengan disabilitas. Hal ini penting agar mereka tidak menjauh dan mempunyai identitas tersendiri, misal pada dunia maya. Terakhir, hindari sifat egois dan selalu menuntut karena akan menyebabkan kurangnya menghargai orang dengan disabilitas. ***

*Penulis adalah Pranata Humas Madya Kementerian Komunikasi dan Informatika

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Penulis: Tim LiputanEditor: Redaksi