Entikong (Suara Kalbar) – Matahari sore itu mulai bergeser, Nurhaliza, 27 tahun, dan beberapa kawan relawannya bersiap-siap kembali ke rumah mereka masing-masing.
Masa tugas mereka telah selesai, dan akan dilanjutkan di hari berikutnya, sesuai dengan jadwal yang telah mereka terima dari Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Entikong.
Liza, begitu sapaan akrabnya, adalah salah satu warga Entikong yang menjalani tugas kemanusiaan menjadi relawan Covid-19 sejak awal Januari 2021. Terhitung sudah kali kedua kalinya ia menjadi relawan, sebelumnya pertengahan tahun 2020 lalu.
“Dari awal Mei tahun 2020 saya menjadi relawan Covid-19 di KKP Entikong bertugas melakukan pemeriksaan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tiba dari Sarawak.” ungkap Nurhaliza, Sabtu (28/8/2021).
Ia bercerita, sebenarnya pilihan menjadi relawan Covid-19 yang ia jalani sekarang ini bukanlah impiannya. Sebab, ia ingin menjadi tenaga kesehatan seutuhnya setelah menyelesaikan masa studinya dua tahun silam.
Setelah lulus, Nurhaliza mengurus berkas lamaran pekerjaan dan mendaftarkan diri ke beberapa instansi kesehatan baik tingkat dinas maupun puskesmas tingkat kecamatan. Namun, berkas-berkas yang ia masukan tak kunjung mendapatkan jawaban.
“Setelah lulus saya coba daftar jadi tenaga kesehatan, misalnya di dinas kesehatan atau Puskesmas kecamatan,” kata Nurhaliza.
Keterlibatannya menjadi seorang relawan covid-19 di KKP Entikong dan bertugas di Pos Lintas Batas Negara (PLBN), bermula ketika ada kerabatnya menyampaikan bahwa KKP Entikong membuka lowongan untuk tenaga perawat, analis kesehatan sebagai relawan Covid-19.
“Karena latar pendidikan saya juga diploma kesehatan, jadi saya tertarik melibatkan diri menjadi relawan pada saat itu, dan sampai sekarang ini saya jalankan,” ujarnya.
Namun Nurhaliza mengetahui, menjadi relawan Covid-19 banyak tantangan yang akan dihadapi. Potensi terbesar ialah, dirinya akan ikut terpapar juga dan akan ikut berdampak pada keluarga, serta kerabatnya.
Bukan hanya itu saja, Nurhaliza dan rekannya satu profesi mesti menggunakan alat pelindung diri yakni baju Hazmat.
Dapat dibayangkan bagaimana panasnya menggunakan pakaian tersebut, ketika menjalankan tugasnya melakukan tes swab /PCR di pintu kedatangan Pos Lintas Batas Negara perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
“Suka duka jadi relawan Covid-19 di perbatasan itu banyak, mungkin saya ceritakan dari duka dulu ya,” ucap Nurhaliza di PLBN Entikong.
Sambil berkemas sore itu, Nurhaliza menyampaikan ketika menjalankan tugas, dirinya pernah di omeli oleh PMI yang tidak terima dengan hasil tes swab yang dilakukan. Sebab hasilnya positif dan PMI tersebut merasa dirinya sehat-sehat saja.
Setelah diberikan penjelasan, akhirnya PMI itu bersedia untuk menjalani isolasi di mess KKP yang telah ditentukan pemerintah RI bagi Pekerja Migran Indonesia yang tiba dari Sarawak.
“Saya jelaskan kepada PMI tersebut, salah satu syarat masuk ke Indonesia selama pademi Covid-19 mesti menjalani tes swab/PCR,” ucapnya.
Setelah itu, wajib menjalani karantina selama lima hari bagi yang tidak terkonfirmasi positif.
“Sedangkan yang terkonfirmasi harus menjalani isolasi di Mess KKP selama 10 hari hingga pulih dan hasil tes swabnya negative,” ucap Nurhaliza.
Selain mendapatkan komplain dari PMI, relawan Covid-19 ini juga menjadi tempat bagi PMI mengeluarkan keluhan kenapa karantina lama, kapan mereka harus selesai menjalani karantina dan sebagainya.
“Jika tidak sabar, tentu adu argumen bakal terjadi sengit, namun kami sabar menghadapi puluhan PMI yang menjalani karantina di Entikong,” tutur dia.
Nurhaliza melanjutkan, suka dan duka menjadi relawan Covid-19 ini seakan ak ada habisnya. Sukanya, ia bisa mendapatkan rekan dan keluarga baru di tempat bekerja.
Diungkapkan Nurhaliza, saat menjalankan tugas ada satu kejadian yang sampai saat ini tidak bisa dilupakan, dimana dirinya bersama tiga rekan sesama relawan membantu PMI melahirkan di tempat karantina.
“Prosesnya berjalan lancar, namun kami juga merasa was-was karena sebelumnya tidak pernah membantu proses melahirkan. Ibu dan bayi selamat langsung kami rujuk ke puskesmas terdekat untuk menjalani perawatan,” ucap Nurhaliza.
Dia juga membeberkan, awalnya ikut menjadi relawan Covid-19 ini, semata-mata hanya untuk mencari kerja, karena memang sulit mendapatkan pekerjaan dan diperburuk oleh keadaan.
Namun lambat laun, sikap awalnya berubah. Ia mulai sadar, menjadi seorang relawan Covid-19 bukan hanya bekerja dan mendapatkan insentif yang dibayarkan setiap bulan, tapi lebih dari itu, ia menyadari menjadi relawan Covid-19 adalah bekerja untuk orang banyak dan untuk kemanusiaan.
Penulis : Agus Alfian – Entikong
Editor : Dian Sastra