SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Daerah Mempawah Kisah Pilu 56 Tahun Lalu di Mempawah, Jembatan Kuala Roboh, Telan Enam Jiwa saat Robo’-Robo’

Kisah Pilu 56 Tahun Lalu di Mempawah, Jembatan Kuala Roboh, Telan Enam Jiwa saat Robo’-Robo’

Jembatan Kuala Mempawah yang ambruk pada Rabu, 12 April 1966 dan menelan enam korban jiwa pada Perayaaan Robo’-Robo’. SUARAKALBAR.CO.ID/Foto. Distra

Mempawah (Suara Kalbar) – Pada Rabu, 12 April 1966, ada tragedi yang tak terlupakan bagi masyarakat Mempawah, Kalimantan Barat.

Pada hari itu, tepatnya 56 tahun yang lalu, sebuah peristiwa memilukan terjadi, saat lebih dari seribu masyarakat Mempawah tengah mengikuti rangkaian kegiatan ritual Robo’-Robo’.

Robo’-Robo’ yang telah menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia merupakan tradisi ritual untuk memperingati kedatangan Raja Mempawah, Opu Daeng Manambon, di muara kuala Sungai Mempawah.

Sementara pada tahun ini, Puncak Peringatan Robo’-Robo’ jatuh pada Rabu, 21 September 2022.

Adalah Sugiharso, purnawirawan Polri, yang kini berusia 77 tahun, mengaku tak bisa melupakan rentetan kejadian memilukan, saat Jembatan Kuala (dulu Jembatan Wihelmina), tiba-tiba roboh dan menelan enam korban jiwa.

“Saat itu, banyak warga berada di atas jembatan untuk menyaksikan berbagai kegiatan memeriahkan Robo’-Robo’, yakni lomba sampan dan pertandingan voli,” ujar Sugiharso, Sabtu (10/9/2022), mengenang insiden itu.

Pada kurun waktu tersebut, Sugiharso baru saja lulus sebagai anggota kepolisian RI, kemudian bertugas di Komando Resort Pontianak (sekarang Polres Mempawah).

Pada Rabu, 12 April 1966, ia yang sedang lepas piket, bersama seorang rekannya bernama Suyatim, sejak pagi turut menyaksikan ragam hiburan dan permainan di arena Robo’-Robo’ di Kuala Mempawah dan Pasir Wan Salim.

Sekitar pukul 11.00 siang, Sugiharso mengajak Suyatim untuk segera pulang ke asrama polisi, karena pukul 14.00, mereka harus piket di kantor.

“Nah, saat itu kami menunggu bus Bahagia untuk pulang. Kalau saya tak salah, Bus Bahagia 15, dari arah Pontianak menuju Singkawang. Kami menunggu di pohon beringin dekat jembatan. Setelah bus datang, kami naik bus dengan cara bergantungan,” jelasnya.

Diceritakan, bus malang berbodi kayu itu berisi penuh penumpang. Di atas kap bus penuh dengan tumpukan beras yang diperkirakan 2 ton.

Ketika bus berjalan dan masuk jembatan, masih tidak terjadi apa-apa.

Bus berjalan pelan karena ada mobil lain di depan, dan banyak warga di sisi jembatan untuk menyaksikan lomba sampan.

“Nah, ketika bus berada di tengah jembatan itu lah, terdengar bunyi berderak. Jembatan tiba-tiba ambruk,” katanya.

Suasana saat itu benar-benar mengerikan. Jerit para penumpang dan warga terdengar hebat begitu jembatan terlihat patah di bagian tengah.

Sugiharso yang tengah bergantungan di bus, ikut panik.

“Saat jatuh, bus miring ke kiri, lalu oleng ke kanan lagi. Semua penumpang sudah berteriak ketakutan. Kemudian, bus mundur ke bawah dan langsung tercebur ke Sungai Mempawah,” jelas Sugiharso lagi.

Sugiharso merasa ajalnya sudah dekat kala itu. Namun ia tetap berjuang untuk menyelamatkan diri.

“Saya melompat ke sungai, kemudian berenang ke arah bagian jembatan yang masih tergantung di air. Sempat gagal, lalu saya mencoba lagi bertahan di air. Akhirnya, saya bisa menggapai sisi batang jembatan,” paparnya.

Karena perjuangan menyelamatkan hidupnya itu, Sugiharso menderita luka parah di tangan kanan dan masih berbekas hingga sekarang.

Sementara temannya, Suyatim juga berhasil menyelamatkan diri, lantaran berpegangan pada sisi jembatan yang lain.

“Namun beberapa waktu kemudian, hati saya langsung pilu saat mendapat kabar ada enam orang, baik di dalam bus maupun warga yang berada di jembatan, telah dinyatakan hilang tenggelam,” ungkapnya.

Bahkan ada sepasang pengantin baru yang sedang menonton lomba sampan di jembatan, juga dilaporkan turut jatuh tenggelam.

Setelah dilakukan pencarian, sore hingga esok harinya, jasad keenam korban berhasil ditemukan warga.

Karena itu, setiap peringatan Robo’-Robo’, Sugiharso yang telah purnabakti selaku Anggota Polri, tidak bisa melupakan kejadian tersebut.

“Semoga masyarakat Mempawah selalu diberikan perlindungan oleh Allah SWT agar kejadian serupa tidak terulang lagi,” ujarnya.

Sugiharso, salah seorang saksi mata dan juga korban dari ambruknya Jembatan Kuala.

Kondisi Jembatan Memprihatinkan

Salah seorang saksi mata lainnya adalah Bakri Hasan, 72 tahun, tokoh masyarakat Kelurahan Pasir Wan Salim, Kecamatan Mempawah Timur.

Saat tragedi memilukan itu terjadi, mantan Anggota DPRD Mempawah yang akrab disapa Cikri ini, berusia 13 tahun dan duduk di bangku SMP.

Cikri mengaku turut tak bisa melupakan tragedi memilukan tersebut.

Saat itu, dia juga berada di sana dan menjadi saksi bagaimana jembatan itu roboh dan menelan korban jiwa enam orang.

“Iya benar, ada enam warga yang meninggal dunia. Cuma saya tidak ingat lagi berapa orang penumpang bus, dan berapa orang warga di sini yang menjadi korban,” papar dia.

Cikri menuturkan, sebelum tragedi terjadi, kondisi Jembatan Kuala Mempawah (Wihelmina) memang sudah memprihatinkan.

Sebab sebelumnya, jembatan itu diledakkan pasukan Sekutu untuk menghentikan pergerakan tentara Dai Nippon Jepang yang coba masuk ke Mempawah.

Paska-kemerdekaan, jembatan itu diperbaiki oleh pemerintah dengan dana seadanya.

“Saat itu situasi negara masih serba prihatin, jadi pemerintah tidak punya biaya untuk memperbaiki jembatan dengan kondisi layak,” jelasnya.

Jembatan Kuala, tambah Cikri, memang tidak memiliki pondasi penyangga di tengah, sehingga rawan ambruk apabila ada muatan berlebihan.

“Nah karena pondasi penyangga tidak ada, maka saat banyak warga berdiri di jembatan untuk menyaksikan lomba sampan, mobil dan bus yang lewat menjadi tersendat dan beban pun bertambah,” katanya.

Sebelum roboh, seingat Cikri, ada tiga mobil yang lewat, dua diantaranya adalah bus antar kota.

“Mungkin karena dua bus terhenti di tengah, jembatan tidak mampu menahan beban begitu besar. Apalagi warga juga banyak berdiri di sekitarnya. Dalam hitungan menit, sekitar pukul 11 lewat, jembatan pun ambruk,” ujarnya.

Ada enam warga yang dilaporkan meninggal dunia, dan jasad para korban akhirnya berhasil ditemukan setelah dilakukan pencarian.

Bakri Hasan, salah seorang saksi mata robohnya Jembatan Kuala.

Usai ambruknya Jembatan Kuala, arus transportasi pun terputus total.

Seminggu kemudian, pemerintah bersama masyarakat memutuskan membangun jembatan apung darurat menggunakan drum-drum yang dilapisi kayu.

“Penyeberangan darurat itu dibangun sekitar 300 meter dari jembatan yang ambruk. Mobil atau bus yang lewat akan ditarik menggunakan tali seling,” ujarnya.

Hingga akhirnya, pemerintah memutuskan membangun kembali Jembatan Kuala yang masih berfungsi hingga sekarang.

“Sementara untuk waktu pembangunan jembatan yang sekarang masih berfungsi ini, saya lupa tahunnya, tapi cukup lama juga rentang waktunya dari peristiwa ambruknya Jembatan Kuala (Wihelmina),” jelasnya.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan