Bencana Keserakahan Manusia
Oleh: Annisa, S.ST., M.Eng
Di penghujung tahun 2025 ini terjadi bencana banjir, longsor hingga puting beliung yang menerpa berbagai daerah di Indonesia. Setidaknya terdapat 20 puluh orang dinyatakan hilang akibat tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (mediaindonesia.com, 15/11/2025). Kemudian diperkirakan ada 27 warga masih tertimbun tanah longsor di Desa Pandanarum, Banjarnegara, Jawa Tengah, setelah sebelumnya TIM SAR telah mengevakuasi 34 orang warga di area longsoran (cnnindonesia.com, 17/11/2025). Di pulau Sulawesi tepatnya di provinsi Sulawesi Tengah yakni di tiga kabupaten Tolitoli, Morowali Utara, dan Buol terjadi puting beliung, banjir bahkan abrasi pantai (cnnindonesia.com, 23/11/2025). Dari semua bencana tersebut, bencana yang terjadi di pulau Sumatera menjadi yang terparah yang terjadi di akhir tahun ini. Total korban jiwa dari tiga provinsi yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh ada 303 orang dengan korban jiwa terbanyak sementara berasal dari Sumatera Utara (cnnindonesia.com, 30/11/2025). Bahkan terdapat 10 kecamatan di Aceh Tamiang yang masih terisolir sebagaimana yang dituturkan oleh Bupati Aceh Tamiang yang membenarkan baru 2 kecamatan saja yang mampu dijangkau (cnnindonesia.com, 30/11/2025).
BNPB maupun BPBD mengalami kendala dalam proses evakuasi korban akibat kerusakan infrastruktur seperti yang terjadi di Aceh Tenggara yang mana empat unit jembatan terputus, tiga unit tanggul terdampak, dan tiga akses jalan terputus (bnpb.go.id, 28/11/2025). Ditambah kondisi cuaca juga memperlambat proses evekuasi.
Ketika terjadi bencana alam seringkali kesalahan paling mudah dilemparkan kepada alam yang menurunkan hujan. Padahal terdapat kekeliruan tata kelola ruang hidup dan lingkungan yang telah merusak keseimbangan alam yang Allah ciptakan. Keserakahan manusia yang merusak hutan tampak jelas dengan keberadaan gelondongan kayu yang terbawa arus banjir bandang dari sungai batang Toru, Sumatera Utara. Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Bambang Hero Saharjo menyebutkan fungsi hutan sebagai penyerap air tak lagi berjalan. Karena, tajuk pohon, lapisan tumbuhan bawah, dan penutup tanah sudah hilang. Air hujan akan langsung menghantam permukaan tanah tanpa adanya tutupan pada lahan. Kemudian hujan deras menggerus lapisan tanah, mencuci leaching atau pencucian hara. Hal inilah yang kemudian menimbulkan banjir besar dan longsor. Beliau menambahkan penebangan dan pengrusakan hutan ini sudah bertahun-tahun terjadi, namun baru terbongkar dengan adanya hujan ekstrem akhir-akhir ini (rm.id, 1/12/2025).
Namun dengan kondisi bencana yang telah meluluh lantakan tiga provinsi di pulau Sumatera ini, belum ada upaya pemerintah untuk meningkatkan statusnya menjadi bencana nasional. Kepala BPNB beralasan salah satu alasan penetapan bencana berstatus bencana nasional apabila skala korban sudah melebih ambang (tempo.co,1/12/2025). Padahal para korban ini adalah manusia yang teramat berharga nyawanya, belum lagi ditambah kerusakan infrastruktur yang jumlahnya sangat besar.
Sejumlah pihak sudah mendorong pemerintah untuk meningkatkan level status bencana nasional agar mitigasi bencana berlangsung lebih cepat. Mengingat korban jiwa yang terus bertambah dan beberapa daerah yang masih terisolir. Sehingga di tengah bencana ini, yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya bantuan logistik tetapi dibutuhkan bantuan dana, alat berat, jumlah personel penyelamat yang memadai, pembangunan jalan alternatif untuk membuka jalur transportasi yang putus akibat bencana, juga kebijakan publik untuk melarang alih fungsi hutan menjadi perkebunan
Status darurat bencana nasional juga akan memberikan legitimasi politik kepada presiden untuk melakukan audit lingkungan, moratorium izin, hingga penegakan hukum terhadap figur-figur yang ditengarai menjadi perusak kawasan hingga muncul bencana hidrometeorologi ini. Sehingga tindakan preventif sekaligus kuratif bisa dilakukan oleh negara secara komprphensif. Karena sumber masalah bencana sebenarnya bukan pada alam, tetapi pada aturan/kebijakan manusia yang serakah membabat hutan. Mirisnya pembabatan hutan ini mengantonggi izin legal dari negara.
Islam memandang bencana dengan 2 dimensi yakni ruhiyah dan siyasiyah. Islam memaknai bencana sebagai tanda kekuasaan Allah dan lemahnya manusia sebagai makhluk-Nya, inilah dimensi ruhiyah dari bencana. Sedangkan dimensi siyasah Islam mengatur tata kelola dan mitigasi bencana berdasarkan wahyu. Allah memperingatkan manusia dalam Al-qur’an surat Ar-rum ayat 41 bahwa kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia dan manusia merasakan akibat perbuatannya itu agar mereka bertaubat. Sehingga membuat kerusakan terhadap alam dan lingkungan merupakan perbuatan dosa dalam pendangan islam.
Islam juga memandang pemerintah atau pemimpin sebagai ra’in yang mengatur urusan umat dengan Islam. Maka penguasa dalam Islam tidak akan memberikan izin eksploitasi hutan kepada swasta karena kepemilikan hutan masuk kedalam kepemilikan umum dan penguasa menetapkan keharaman merusak hutan sebagai penyangga kehidupan manusia. Pemimpin di dalam sistem Islam akan membuat berbagai kebijakan seputar penataan lingkungan dan pemetaan lahan. Ada lahan-lahan khusus yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sehingga tidak boleh dialihfungsikan menjadi permukiman, pertanian, infrastruktur, apalagi pariwisata. Kawasan konservasi ini berperan sebagai penyangga ekosistem.
Untuk kawasan yang rawan bencana, ini harus diatur menurut manajemen kebencanaan, mulai dari edukasi kebencanaan, pembangunan infrastruktur yang memadai seperti bangunan antigempa, serta sistem peringatan dini dan penanganan bencana yang sistemis dan terpadu.
*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalbar
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





