Intoleransi Meledak, Suara Kita Harus Lebih Keras
Oleh: Polikarpus Roland Alfa Diapriel Ranmalae
Belum genap satu bulan, Indonesia kembali dibanjiri oleh kabar-kabar kelam: rumah ibadah dirusak, pembangunan gereja ditolak, umat yang hendak berdoa justru disambut kekerasan. Dalam waktu kurang dari 30 hari, empat kasus intoleransi mencuat ke permukaan.
Pertama, perusakan rumah ret-ret Katolik di Sukabumi, Jawa Barat. Kedua, penolakan pembangunan gereja di Cilodong, Depok. Ketiga, penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah Katolik di Desa Kapur, Kalimantan Barat, daerah saya sendiri. Dan yang terakhir, paling menyayat hati, adalah perusakan rumah doa umat Kristen di Padang Sarai, Kota Padang, Sumatera Barat, yang disertai pemukulan terhadap dua anak kecil oleh massa yang mengusir mereka.
Pertanyaannya: di mana negara? di mana kemanusiaan?
Kita sedang menyaksikan bagaimana ruang-ruang ibadah yang seharusnya menjadi tempat paling tenang dan suci, justru dirusak oleh kebencian yang membabi buta. Kita sedang melihat bagaimana sebagian orang merasa punya hak untuk menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh beribadah. Dan yang lebih menyakitkan: semua itu terjadi berulang kali, tanpa penyelesaian yang benar-benar adil.
Sebagai anak bangsa yang lahir dan besar di Kalimantan Barat, saya merasa terhina. Bukan hanya karena kejadian intoleransi itu terjadi di tanah kelahiran saya, tetapi karena nilai-nilai yang saya yakini sejak kecil—toleransi, gotong royong, saling menghormati—mulai dilumat oleh fanatisme buta dan ketidakpedulian.
Kita semua tahu bahwa Indonesia tidak pernah dibangun oleh satu agama. Indonesia tidak pernah dilahirkan oleh satu keyakinan. Kita ini satu bangsa karena kita bersedia hidup bersama dalam perbedaan.
Maka setiap kali ada yang merusak rumah ibadah, setiap kali ada yang melarang pembangunan gereja, setiap kali ada anak kecil yang dipukul hanya karena ia sedang berdoa—itu bukan hanya pengkhianatan terhadap sesama manusia, tapi juga pengkhianatan terhadap bangsa ini sendiri.
Yang lebih menyakitkan lagi, suara negara begitu lemah.
Kementerian Agama yang seharusnya berdiri paling depan dalam melindungi kebebasan beragama justru terlihat diam, pasif, dan tidak berani bersikap tegas terhadap pelaku intoleransi.
Program “Moderasi Beragama” yang sering dijadikan slogan hanya menggema di seminar dan papan nama kementerian. Tapi di lapangan? Yang terjadi adalah pembiaran. Dan ketika rumah ibadah umat minoritas dihancurkan, yang muncul hanyalah pernyataan normatif tanpa ketegasan.
MOSI TIDAK PERCAYA!
Maka dengan ini, saya menyatakan mosi tidak percaya terhadap Menteri Agama Republik Indonesia.
Saya menilai beliau telah gagal menjalankan tugas konstitusional untuk menjamin kebebasan beragama, gagal hadir sebagai pelindung bagi kelompok minoritas, dan gagal memberikan rasa aman bagi warga negara yang ingin menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.
Dalam konteks bertubi-tubinya kasus intoleransi akhir-akhir ini, diamnya Menteri Agama adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi, Pancasila, dan semangat kebangsaan itu sendiri.
Kita tidak sedang menuntut hal besar—kita hanya meminta negara tidak diam ketika warganya dihina karena keyakinannya.
Kita hanya menuntut negara berdiri adil di hadapan semua umat beragama.
Dan ketika itu gagal dilakukan, maka sudah sewajarnya kita menyatakan: kami tidak lagi percaya.
Hari ini, Indonesia sedang ditantang:
Apakah kita masih bangsa yang hidup dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika?
Atau justru perlahan berubah menjadi bangsa yang takut kepada perbedaan?
Saya percaya, suara kita hari ini harus lebih keras.
Karena bila kita memilih diam, maka jangan kaget kalau suatu saat, rumah ibadah yang ditolak itu adalah milik kita sendiri.
Dan ketika kita meminta keadilan, tak ada lagi yang sudi mendengarkan.
Lawan intoleransi. Suarakan keadilan.
Indonesia adalah milik semua, bukan milik segelintir yang mengaku paling suci.
*Penulis adalah Aktivis dan Tokoh Kalimantan Barat
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





