SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Hari Asyura 10 Muharram: Antara Sejarah, Spirit Keteladanan, dan Renungan Umat

Hari Asyura 10 Muharram: Antara Sejarah, Spirit Keteladanan, dan Renungan Umat

Fakhurrazi Al Kadrie

Oleh: Fakhurrazi Al Kadrie S.HI, MP.d

Tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriah dikenal oleh umat Islam sebagai Hari Asyura, sebuah momentum yang tak hanya berisi ritual, tetapi juga memuat lapisan sejarah, makna spiritual, dan renungan moral yang sangat dalam. Ia berdiri sebagai simpul dari berbagai peristiwa penting, menyatukan kisah nabi-nabi, perjuangan para syuhada, hingga simbol keadilan dan cinta ilahi yang abadi.

Hari Asyura telah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk turut melakukannya. Beliau menegaskan bahwa hari tersebut adalah hari ketika Nabi Musa ‘alaihis-salam dan kaumnya diselamatkan oleh Allah dari kejaran Fir’aun. Puasa pada hari itu adalah bentuk syukur atas kemenangan kebenaran atas kebatilan. Maka Asyura bukan sekadar milik satu mazhab atau kelompok, tetapi warisan nubuwah yang universal.

Dalam sejarah Islam, 10 Muharram juga menjadi saksi tragedi memilukan: kesyahidan cucu Rasulullah SAW, Al-Husain bin Ali, di padang Karbala pada tahun 61 H. Peristiwa ini tidak hanya menggores luka sejarah, tetapi juga menegaskan pentingnya integritas, keberanian, dan keadilan dalam wajah Islam yang sejati. Al-Husain tidak memberontak demi kekuasaan, melainkan karena prinsip karena ia tidak rela Islam dinodai oleh rezim yang zalim.

Dalam perspektif Islam yang mendalam, Asyura mengajarkan bagaimana umat ini harus bersyukur kepada Allah dalam bentuk nyata: ibadah. Rasulullah SAW memuliakan Asyura dengan berpuasa, bukan hanya sebagai ritual harian, tetapi sebagai simbol kesalehan sosial dan spiritual. Dalam riwayat lain, beliau bahkan menyatakan bahwa puasa pada hari Asyura dapat menghapus dosa-dosa kecil setahun sebelumnya (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa Islam tidak memisahkan antara sejarah dan amal, antara refleksi dan tindakan.

Namun Islam juga memberi kerangka etis agar tidak menjadikan peringatan Asyura sebagai ajang kesedihan yang berlebihan atau tindakan menyakiti diri sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Islam bukan agama duka cita ekstrem, melainkan agama keseimbangan antara rasa kehilangan dan harapan.

Tragedi Karbala tidak boleh dibaca secara hitam-putih atau semata sebagai konflik politik. Ia merupakan metafora agung dalam sejarah Islam bahwa nilai kebenaran mesti dijunjung tinggi meskipun harus ditebus dengan darah. Al-Husain adalah lambang moral yang abadi, bahwa diam di hadapan kebatilan adalah pengkhianatan terhadap Islam itu sendiri.

Imam Al-Ghazali pernah menyampaikan bahwa orang yang hidup di bawah kekuasaan zalim dan tidak melakukan amar makruf nahi munkar, maka keimanannya dipertanyakan. Asyura menghidupkan semangat itu agar umat Islam tidak mati rasa terhadap ketidakadilan yang menimpa siapa pun, di mana pun.

Tradisi Islam di Nusantara sering memaknai Asyura sebagai momen berbagi kepada anak yatim, menyantuni fakir miskin, dan mempererat silaturahim. Ini bukan bentuk ritualisme lokal, melainkan ekspresi nyata dari ajaran Islam yang memuliakan solidaritas. Dalam hadis disebutkan: “Barang siapa yang melapangkan rezeki kepada keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan melapangkan rezekinya sepanjang tahun.” (HR. Al-Baihaqi). Hadis ini menunjukkan bagaimana spiritualitas Islam selalu bersentuhan dengan aspek kemanusiaan dan kesejahteraan sosial.

Hari Asyura bukan sekadar pengingat akan masa lalu, tetapi juga kompas moral untuk masa depan. Ia mengajarkan bahwa kebenaran harus diperjuangkan, kezaliman harus dilawan, dan sejarah harus diresapi dengan kebijaksanaan. Umat Islam perlu menjadikan 10 Muharram sebagai titik tolak perenungan: sejauh mana kita telah mewarisi keberanian Nabi Musa, kesabaran Al-Husain, dan kesyukuran Rasulullah SAW?

Asyura adalah hari ketika sejarah dan spiritualitas menyatu. Ia mengajak kita bukan hanya untuk berpuasa, tetapi juga untuk merenung: apakah kita masih hidup dalam ruh Islam yang membela kebenaran, ataukah kita hanya menjadi penonton pasif di tengah runtuhnya nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh para nabi?

*Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Pontianak 

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan