Pendidikan Bukan Hanya Persoalan Teknologi
Oleh: Elma Julita, A. Md. K.G.
Di berbagai desa dalam kawasan Kalimantan Barat seperti Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, akses pendidikan sangat minim bahkan nyaris tidak ada. Anak-anak di Dusun Sempadan, Dusun Simpang Tiga, dan Dusun Tanjung Beringin misalnya, terpaksa berhenti sekolah karena tidak ada sekolah dasar atau menengah di sekitar mereka. Jalan rusak parah, transportasi sulit, hingga jaringan internet yang nyaris tak terjangkau menjadikan pendidikan terasa jauh dari jangkauan. (Pontianakpost.jawapost 26/5/2025)
Fakta ini bukanlah kasus tunggal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka putus sekolah di wilayah perdesaan pada tahun 2023 masih lebih tinggi dibanding wilayah perkotaan. Pada jenjang SMP, persentase anak yang putus sekolah mencapai 1,25% di desa, sementara di kota hanya 0,78%. Penyebabnya berkisar antara keterbatasan ekonomi, tidak tersedianya sekolah, hingga keterpencilan lokasi. (rri.co.id 24/7/2025)
Menanggapi ini, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kalbar, Agus Sudarmansyah, meminta pemerintah memanfaatkan teknologi pendidikan dengan membangun sistem sekolah jarak jauh, sekolah filial, dan sekolah terbuka sebagai solusi cepat bagi anak-anak pedesaan. (gesuri.id 29/5/2025)
Namun langkah ini kurang efektif. Sekolah jarak jauh memang solusi sementara, tapi ia bukan solusi fundamental. Di daerah dengan keterbatasan listrik, internet, bahkan ada yang tidak punya perangkat elektronik, bagaimana anak-anak bisa belajar secara daring? Ini ibarat memberikan solusi tanpa alat. Seharusnya, pemerintah tidak hanya fokus pada digitalisasi, tetapi secara nyata membangun sekolah, memperbaiki infrastruktur desa, menyediakan guru yang kompeten, serta menjamin pendidikan benar-benar gratis dan inklusif bagi semua.
Pendidikan bukan sekadar pelayanan, tapi merupakan hak dasar setiap warga negara. Maka menjadi tanggung jawab penuh negara untuk memastikan seluruh anak Indonesia, tanpa memandang lokasi dan kondisi ekonomi, mendapatkan hak tersebut. Pendidikan tidak boleh menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses oleh anak kota.
Islam memberikan perhatian besar terhadap pendidikan sebagai pilar utama peradaban. Allah ﷻ berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang wajib disediakan negara, sebagaimana negara wajib menyediakan sandang, pangan, dan papan.
Dalam sejarahnya, pemerintahan Islam (Khilafah) membangun sekolah-sekolah dari pusat kota hingga desa-desa. Kurikulum dirancang tidak hanya untuk mendidik secara akademik, tetapi juga membentuk kepribadian Islam. Guru dihargai sebagai pilar utama kemajuan, dengan gaji yang cukup dan dukungan penuh dari negara.
Islam tidak mengenal konsep “uang sekolah” seperti dalam sistem kapitalis (para pemilik modal berkuasa) hari ini. Tidak ada pungutan iuran, apalagi diskriminasi karena letak geografis atau status sosial. Semua anak, termasuk di desa terluar, memiliki hak yang sama atas ilmu.
Sistem sekuler (memisahkan agama dan kehidupan) yang diterapkan hari ini memandang pendidikan sebagai sektor layanan, bukan sebagai kebutuhan pokok yang harus ditanggung negara sepenuhnya. Akibatnya, penyediaan sekolah, guru, dan infrastruktur sering kali bergantung pada alokasi anggaran yang sempit, atau kerjasama swasta yang berorientasi laba (keuntungan).
Padahal, tanpa pendidikan yang layak, masyarakat desa akan terus tertinggal. Anak-anak tidak hanya kehilangan hak atas ilmu, tetapi juga kehilangan masa depan. Maka tidak cukup hanya memberikan “terobosan digital”. Negara harus hadir secara menyeluruh, membangun dari hulu ke hilir dari infrastruktur, guru, kurikulum, hingga pemenuhan fasilitas penunjang.
Satu-satunya sistem yang mampu menjamin hal ini adalah syariat Islam secara kaffah. Dalam kerangka ini, pendidikan menjadi kewajiban negara, dijamin gratis, merata, dan tidak diskriminatif.
Krisis pendidikan di desa terluar bukan hanya soal teknologi, tapi soal komitmen negara dalam memenuhi hak dasar rakyatnya. Digitalisasi bisa menjadi pelengkap, tapi bukan solusi utama. Solusi hakiki adalah membangun sekolah, memperbaiki infrastruktur, dan menjamin pendidikan gratis untuk semua, sebagaimana diajarkan Islam. Wallahu a’lam bishowab.
*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now