SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Karhutla Kalimantan Barat: Krisis Ekologi dan Etika dalam Pandangan Islam

Karhutla Kalimantan Barat: Krisis Ekologi dan Etika dalam Pandangan Islam

Fakhurrazi Al Kadrie

Oleh: Fakhurrazi Al Kadrie S.HI, MP.d

KETIKA langit Kalimantan Barat memerah dan bumi menghitam oleh jilatan api, kita tidak hanya dihadapkan pada bencana ekologis, tetapi juga pada kegagalan moral dan spiritual sebagai khalifah di bumi. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terus terjadi, terutama di musim kemarau, menjadi gambaran tragis dari rusaknya keseimbangan alam yang semestinya dijaga bersama.

Setiap tahun, asap pekat akibat Karhutla menyelimuti sebagian besar wilayah Kalimantan Barat. Data dari berbagai lembaga menunjukkan peningkatan titik panas (hotspot) pada bulan-bulan tertentu, seiring praktik pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang masih lazim dilakukan oleh sebagian oknum. Meski pemerintah dan aparat telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penindakan, namun Karhutla tetap menjadi ancaman laten yang menelan berbagai dampak: mulai dari kerusakan ekosistem, gangguan kesehatan masyarakat, hingga terganggunya aktivitas ekonomi dan pendidikan.

Fenomena ini bukan sekadar masalah teknis atau administratif. Di baliknya, terdapat pola pikir eksploitatif terhadap alam yang bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan nilai-nilai spiritual Islam.

Islam memandang alam sebagai amanah dan tanda-tanda kebesaran Allah (ayat-ayat kauniyyah). Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan…”

(QS. Al-A’raf: 56)

Ayat ini menegaskan larangan eksploitasi yang merusak, termasuk tindakan membakar hutan demi kepentingan pribadi atau ekonomi. Rasulullah SAW juga pernah bersabda:

“Dunia ini hijau dan indah. Allah telah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, dan Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat.”

(HR. Muslim)

Tanggung jawab ekologis adalah bagian dari iman. Tidak ada dikotomi antara ibadah ritual dan menjaga alam. Ketika hutan dibakar dan udara tercemar, sejatinya bukan hanya alam yang rusak, tetapi juga akhlak manusia sebagai penjaga bumi.

Islam menawarkan paradigma yang holistik dalam menyikapi krisis lingkungan. Beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan:

  1. Maslahah dan Mafsadah (Manfaat dan Bahaya)

Setiap tindakan harus mempertimbangkan kemaslahatan bersama. Pembakaran hutan, meski memberi keuntungan sesaat, membawa mudarat yang jauh lebih besar.

  1. Tanggung Jawab Kolektif

Menjaga lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tanggung jawab sosial seluruh masyarakat. Islam menekankan konsep hisbah—pengawasan sosial untuk mencegah kerusakan.

  1. Revitalisasi Nilai Tauhid

Memuliakan alam sebagai ciptaan Allah adalah bagian dari tauhid. Ketika manusia menyadari bahwa ia bukan pemilik mutlak, maka ia akan memperlakukan alam dengan hormat, bukan dengan kerakusan.

  1. Pendidikan dan Dakwah Ekologis

Lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren, dan para penyuluh agama dapat mengambil peran strategis dalam menyebarkan kesadaran lingkungan berbasis nilai-nilai Islam.

Karhutla bukan semata-mata bencana alam, melainkan refleksi dari krisis nilai dan orientasi hidup manusia modern. Jika tidak dikembalikan kepada prinsip keseimbangan dan tanggung jawab spiritual, maka kita hanya akan mewariskan tanah yang hangus kepada generasi mendatang.

Kalimantan Barat membutuhkan solusi bukan hanya dari sisi teknologi dan hukum, tapi juga dari sisi moral dan iman. Sudah saatnya Islam tidak hanya disuarakan di mimbar, tetapi diimplementasikan dalam kebijakan, perilaku, dan cara kita memperlakukan bumi yang kita pijak.

*Penulis adalah Penyuluh Agama Islam kementerian agama Kota Pontianak 

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan