SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Nasional KPAI: 3.877 Kasus Kekerasan Anak Terjadi di 2023

KPAI: 3.877 Kasus Kekerasan Anak Terjadi di 2023

Ilustrasi Kekerasan (Istimewa)

Jakarta (Suara Kalbar)- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2023 tercatat 3.877 kasus kekerasan anak, menurun dari 4.683 kasus pada tahun 2022. Meskipun angka kasus menurun, KPAI menyoroti bahwa kualitas kekerasan yang terjadi semakin memprihatinkan, menekankan perlunya kerja sama dari semua pihak untuk menanggulangi masalah ini.

Komisioner KPAI, Kawiyan, mengatakan dalam diskusi virtual bertajuk “Perlindungan Anak Dalam Ruang Digital” di Jakarta pada Rabu (19/6/2024), bahwa meskipun terjadi penurunan secara jumlah, kekerasan yang dialami anak-anak masih memiliki dampak yang serius.

Data yang dikumpulkan KPAI menunjukkan bahwa dari total kasus tersebut, 1.666 kasus terkait dengan anak yang menghadapi masalah dalam perlindungan khusus, termasuk kekerasan seksual dan fisik.

“Dari segi angka kelihatanya menurun, tetapi kualitas kekerasan sangat memprihatinkan,” katanya melansir dari Beritasatu.com, Kamis(20/6/2024).

Dia mengatakan KPAI melakukan penghimpunan data mengenai korban kekerasan anak. Hal ini terbagi menjadi dua, yakni anak menghadapi masalah dalam pemenuhan hak dan anak menghadapi masalah dalam perlindungan khusus. “Pada 2023, dari 3.877 kasus, sebanyak 1.666 kasus terkait anak menghadapi masalah dalam perlindungan khusus. Di kategori ini, termasuk kekerasan seksual dan fisik,” kata dia.

Dia mengatakan internet bagaikan dua sisi mata uang yang memberikan dampak positif sekaligus negatif, khususnya pada anak-anak. Dibutuhkan peran pemerintah dan orang tua di rumah untuk melindungi anak dalam ruang digital.

“Anak-anak begitu mudah masuk ke dunia digital, di satu sisi internet dibutuhkan untuk belajar dan mencari informasi, tetapi di sisi lain banyak kerawanan karena di ruang digital banyak terpapar konten yang tidak terverifikasi khususnya di media sosial, ini berdampak pada karakteristik anak, seperti ucapan menjadi kasar hingga perilaku kekerasan,” kata dia.

Dia mengatakan, solusi melindungi anak di ruang digital adalah memperkuat fungsi orang tua dan keluarga. “Gerbang utama anak-anak adalah orang tua, bagaimana orang tua memberikan pendampingan, hingga pengawasan,” kata dia.

Namun, kata dia, pemerintah perlu melakukan literasi digital untuk orang tua karena hal ini berkaitan dengan teknologi. “Kadang anaknya lebih tahu dari orang tua, meski orang tua banyak waktu, tetapi kurang memahami,” kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, spesialis perlindungan anak Unicef Indonesia, Astrid Gonzaga Dionisio, mengatakan di era digital anak-anak bisa menjadi pelaku sekaligus korban kekerasan. Untuk itu, dibutuhkan lingkungan yang protektif dan aman bagi anak-anak. “Siapa orang yang dekat dengan anak-anak, yakni ibu, bapak, pengasuh, hingga teman-teman,” kata dia.

Astrid mengatakan di Indonesia saat ini sudah ada hotline  pelayanan terkait kekerasan anak. “Namun, yang paling penting adalah apa yang kita laporkan, bagaimana penanganannya, apa kita punya pekerja sosial mencukupi, atau apa akses ini ada di semua daerah?” kata dia.

Dia mengatakan sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sudah  memiliki unit pelaksatan teknis di daerah terkait perlindungan perempuan dan anak. “Unit teknis ini sudah ada di lebih 300 kabupaten/kota, tetapi harus dipastikan standar pelayanannya,” kata dia.

Dia mengatakan hasil monitoring Unicef dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan unit pelaksana teknis daerah terkait perlindungan perempuan dan anak masih menghadapi tantangan dari sisi aksesibilitas dan kualitas.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Komentar
Bagikan:

Iklan