G20 Kian Erat Merangkul Uni Afrika

Logo Keketuaan India dalam G20 2023. (G20 India/www.g20.in)

Jakarta (Suara Kalbar) – Pada 2 Maret 2023, dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri di India, negara-negara G20 sepakat memberikan keanggotaan penuh kepada Uni Afrika, sehingga menjadi organisasi kawasan kedua setelah Uni Eropa yang menjadi anggota G20.

Uni Afrika mirip dengan Uni Eropa. Organisasi kawasan ini bukan semata menghimpun negara-negara satu kawasan, namun memiliki instrumen-instrumen dan proses integrasi yang tegas yang memaksa anggota-anggotanya terikat dalam konsensus kawasan tanpa meniadakan kedaulatan nasional anggota-anggotanya.

Sejauh ini sudah banyak pemimpin G20 yang mendukung Uni Afrika berstatus sama dengan Uni Eropa dalam G20, mulai dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden, sampai Kanselir Jerman Olaf Scholz.

Biden, misalnya, dalam pertemuan dengan para pemimpin negara-negara Afrika di Washington akhir 2022, menandaskan “Afrika memiliki meja dalam setiap ruangan di mana tantangan-tantangan global dirundingkan.”

Biden menganggap Uni Afrika berhak dilibatkan dalam upaya apa pun untuk memajukan masyarakat dan memakmurkan dunia seperti yang diinginkan G20.

Sementara pada Kamis, 4 Mei lalu, dalam bahasa berbeda namun makna yang sama, Olaf Scholz menilai Afrika mesti memainkan peran lebih besar dalam hubungan internasional yang sepadan dengan postur benua itu dan jumlah penduduknya yang kian besar.

Sama dengan Biden, Scholz yakin G20 harus memberi tempat permanen kepada Uni Afrika.

Sikap Biden dan Scholz adalah cermin dari sikap umum G20 terhadap Afrika, termasuk Indonesia.

Dalam pertemuan tahun lalu saat G20 diketuai Indonesia, dua langkah nyata yang diajukan G20 memiliki kaitan dengan Afrika, walau tidak secara langsung.

Pertama, Dana Pandemi yang membuat negara-negara miskin yang kebanyakan berada di Afrika, memiliki cara dalam menghadapi wabah di masa depan.

Kedua, prakarsa penangguhan pembayaran bunga dan pokok pinjaman dalam kerangka Debt Service Suspension Initiative (DSSI) yang membuat negara-negara terjerat utang bisa menjadwalkan lagi dan merestrukturisasi utang luar negerinya.

Sekalipun terobosan itu keterusan dari sikap G20 setahun sebelumnya semasa diketuai Italia, apa yang dicetuskan di Indonesia tahun lalu adalah sumbangsih nyata G20 untuk negara-negara miskin yang banyak berada di Afrika yang menjadi kawasan paling rentan terdampak negatif gelombang inflasi dan krisis pasokan global.

Ini juga cara G20 dalam menempatkan Afrika pada bingkai yang benar sehingga forum global itu benar-benar menjadi saluran untuk menciptakan kebaikan bagi semesta.

Tak begitu terwakili

Uni Afrika sendiri sebenarnya selalu menjadi undangan khusus G20 sejak 2010. Namun, upaya nyata pertama untuk mengajak Afrika terlibat lebih jauh lagi dalam kerangka G20, terjadi pada 2017.

Saat itu Jerman yang mendapatkan giliran mengetuai G20, meluncurkan program G20 Compact with Africa (CWA) dengan tujuan penglibatan Afrika pada G20 dalam bentuk yang lebih aktif lagi.

Jerman menjadi gambaran umum dalam G20 bahwa Afrika tak cukup diwakili oleh Afrika Selatan yang memang terlalu kecil untuk mewakili semua kepentingan benua sebesar dan serumit Afrika.

Afrika Selatan hanya bagian dari Afrika yang skala kekuatannya tidak seperti China dalam konteks Asia atau Amerika Serikat dalam konteks Amerika.

Sebaliknya, negara-negara Afrika selain Afrika Selatan malah mengambil proporsi 96 persen dari total penduduk Afrika dan 85 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) benua itu.

Selain itu, Afrika adalah juga rumah untuk 1,4 miliar manusia sehingga sama banyak dengan penduduk India atau China.

Kebutuhan melibatkan Uni Afrika juga selaras dengan cita-cita awal G20 ketika dunia saat itu menyadari bahwa persoalan ekonomi global tak cukup diselesaikan oleh kelompok tujuh negara maju atau G7.

Krisis moneter 1998 membuat dunia sadar bahwa ekonomi dunia sudah semakin saling terkait dan saling mempengaruhi, risiko ekonomi dunia pun semakin besar.

Untuk itu, solusi pun tak cukup dicari atau diselesaikan dalam kerangka G7. Butuh forum lebih besar lagi yang melibatkan semua aktor besar dalam perekonomian global.

Inilah titik di mana G20 akhirnya hadir untuk menghimpun 19 negara, termasuk Indonesia, ditambah Uni Eropa, yang total merepresentasikan 80 persen PDB dunia, 75 persen perdagangan global, dan sekitar 60 persen dari total penduduk dunia.

Namun, upaya melibatkan partisipasi luas dunia dalam G20 tak pernah berhenti. Pemikiran ini senantiasa ada dari waktu ke waktu.

Jika termasuk negara-negara dalam Uni Eropa, maka ada 43 negara yang dinaungi G20 dan ini sama dengan seperempat dari total anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sayang, ketika benua-benua lain diwakili lebih dari sekadar representatif, Afrika malah tak begitu terwakili dalam forum ini, karena Afrika Selatan saja terasa kurang mewakili benua ini.

Baik untuk semua

Selama ini Afrika dibiarkan menyerap keputusan-keputusan yang dibuat oleh pihak lain, termasuk G20.

Padahal, tentu akan lebih baik lagi jika Afrika masuk dalam proses pembuatan keputusan-keputusan itu, mengingat Afrika memiliki andil dan peran penting dalam isu-isu global, mulai soal lingkungan sampai stabilitas global.

Afrika seharusnya tidak melulu dipandang sebagai subyek yang menjadi sasaran untuk sejumlah solusi. Sebaliknya, juga menjadi bagian dari yang mencari dan membuat solusi.

Untuk sampai kepada solusi yang menyeluruh, Afrika tentunya tidak cukup hanya diwakili oleh Afrika Selatan. Jika ini dibiarkan, bisa menciptakan kesenjangan yang melemahkan kredibilitas, daya tarik, dan keterwakilan G20, padahal forum ini juga membutuhkan dukungan aktif dari bagian-bagian dunia lainnya, termasuk Afrika.

Kesenjangan ini bisa diatasi dengan menjadikan Uni Afrika sebagai anggota permanen baru G20.

Inklusi Uni Afrika dalam G20 bisa memperkuat tata kelola ekonomi global dan kebijakan-kebijakan yang didukung G-20. Sebaliknya, negara-negara Afrika menjadi merasa menjadi bagian dari keputusan-keputusan G-20 sehingga partisipasi global untuk solusi dunia pun semakin luas.

Uni Afrika sendiri tak bisa dipandang sebelah mata karena perannya semakin besar, termasuk dalam tata kelola ekonomi kawasan.

Adalah Uni Afrika yang menjadi kekuatan utama di balik kawasan perdagangan bebas Afrika atau African Continental Free Trade Area (AfCFTA) yang mengikat 55 negara ekonomi dalam pasar bersama sejak Januari 2021.

Ini membuat Uni Afrika menjadi kian relevan untuk ditarik G20 yang pada dasarnya adalah forum kerja sama perdagangan global. Paling tidak, kehadiran Uni Afrika membuat solusi-solusi struktural G20 untuk Afrika menjadi lebih tepat sasaran.

Rumah besar G20 sendiri membuat Afrika mendapatkan kesempatan mencari solusi-solusi yang benar untuk Afrika yang mungkin bisa mendorong benua ini menjadi lebih stabil, yang pastinya baik sekali untuk tatanan global.

G20 sendiri membutuhkan negara-negara Afrika dalam mengatasi tantangan energi karena Afrika adalah pemasok bahan-bahan baku penting bagi industri kontemporer, mulai untuk baterai kendaraan listrik, sampai semikonduktor.

Untuk itu, memasukkan Uni Afrika dalam G20 adalah baik untuk semua pihak, baik G20, maupun Afrika dan dunia.

Dengan menjadi anggota G20, Afrika yang terus dibelit krisis politik, termasuk yang terjadi di Sudan saat ini, bisa memiliki kesempatan lebih besar dalam membangun diri yang bisa mengesampingkan konflik dan kekerasan.

Afrika yang aman, makmur dan lebih antusiastis membangun ekonominya akan lebih baik bagi dunia, ketimbang terus disibukkan oleh perang dan konflik. Ini poin sangat penting di balik upaya menjadikan Uni Afrika sebagai anggota permanen G20.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS