Myanmar: Kerikil Panas dalam Sepatu bagi ASEAN

ILUSTRASI - ASEAN akan menyelenggarakan sejumlah pertemuan, termasuk KTT, pada tahun ini. Namun pada saat ini, Indonesia menilai tidak ada pihak di Myanmar yang memiliki legitimasi untuk hadir pada tingkat politik.

Suara Kalbar – Tahun ini, ASEAN harus memperbaharui perjanjian perdagangan bebas bersama Australia dan Selandia Baru, yang dikenal sebagai AANZFTA (ASEAN, Australia, New Zealand Free Trade Zone). Perjanjian baru ini, kata Dina Kurniasari, Direktur Perundingan Perdagangan ASEAN, Kementerian Perdagangan, ditargetkan akan disepakati pada Agustus 2023 nanti.

Namun, target itu dibayang-bayangi persoalan pelik.

“Saat ini terjadi berbagai dinamika baru. Misalnya seperti krisis kemanusiaan di Myanmar dan sebagainya, yang ikut mempengaruhi dinamika apakah bisa hal ini ditandatangani. Karena ada keengganan Australia dan New Zealand, kalau Myanmar ikut menandatanganinya,” kata Dina.

Pejabat Kementerian Perdagangan itu berbicara dalam Forum Diskusi Denpasar 12, yang diselenggarakan Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, Rabu (25/1).

Penandatanganan perjanjian baru penting, karena ada beberapa detil yang diperbaiki, misalnya pengaturan mengenai UMKM.

Indonesia akan Langsungkan Komunikasi Intensif dengan Semua Pihak di Myanmar

Sikap Myanmar juga menghadirkan problem legitimasi bagi ASEAN, kata pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Randy W Nandyatama. Problem legitimasi itu muncul, karena sejak lama ASEAN menyebut diri sebagai organisasi regional yang paling berhasil menghadirkan kenyamanan bagi semua pihak.

Padahal, kata Randy, ada dua perkembangan yang tidak sejalan dengan klaim itu. “Sekarang ini, ASEAN belum bisa berhasil membuat Myanmar mau mengikuti atau comply pada aturan-aturan ASEAN,” ujar dia.

Perkembangan kedua adalah keputusan sejumlah negara-negara kuat, seperti Amerika Serikat, yang menciptakan forum-forum baru di kawasan ini, tanpa menyertakan Myanmar di dalamnya. “Ini, menurut saya refleksi dari ketidakpercayaan. Karena sebelumnya sebagian besar proses diskusi tentang politik kawasan, didiskusikan lewat forum-forum ASEAN,” tegasnya.

Dengan munculnya sejumlah kaukus baru, kata Randy, muncul kesan bahwa negara-negara itu merasa perlu ada mekanisme lain di luar ASEAN.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS