Cakupan Booster COVID-19 Pertama Masih Rendah, Kemenkes Tetap Mulai Program Booster Kedua

ILUSTRASI - Vaksin COVID-19

Juru bicara Kemenkes Syahril Mansyur mengatakan keputusan pemerintah untuk melakukan program vaksin booster COVID-19 dosis kedua meskipun cakupan vaksin booster pertama baru mencapai 29,8 persen adalah untuk mencegah terjadinya lonjakan kasus virus corona di tanah air.

“Kebijakan pemberian vaksin COVID-19 dosis kedua ini didasari pada pertimbangan data dan situasi epidemiologi kasus COVID-10 serta untuk memastikan Indonesia tidak ada kenaikan gelombang kasus akibat ancaman varian baru, dan siap menuju endemik. Pemberian booster kedua juga menjawab permintaan masyarakat untuk penyediaan vaksin booster kedua ini mengingat pemulihan ekonomi yang berjalan cepat dan mobilitas masyarakat yang meningkat. Jadi ini seiring dengan kebutuhan, bukan hanya di bidang kesehatan, tapi juga ekonomi dan di bidang-bidang yang lain,” ungkap Syahril dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (24/1).

Pemerintah Belum Berencana Wajibkan Tes COVID-19 Bagi PPLN dari China

Ia menjelaskan, electronic ticket (e-tiket) vaksinasi booster kedua untuk masyarakat umum yang berusia 18 tahun ke atas ini akan disebar ke dalam aplikasi PeduliLindungi secara bertahap, yakni dimulai dulu dengan 40 juta e-tiket.

Maka dari itu, ia mengimbau kepada masyarakat yang sudah mendapatkan e-tiket vaksinasi booster kedua di dalam apilkasi PeduliLindungi agar segera datang ke fasilitas pelayanan kesehatan atau pos vaksinasi terdekat. Namun, masyarakat yang belum mendapatkan e-tiket, tapi sudah berjarak lebih dari enam bulan sejak mendapatkan vaksinasi booster pertama, bisa langsung mendatangi fasyankes terdekat tanpa menunggu e-tiket terlebih dahulu.

“Dan kalau ditanya apakah vaksin sudah siap? Kami sudah menyiapkan logistik vaksin yang cukup baik melalui skema hibah maupun pengadaan dari anggaran negara. Vaksin yang tersedia yakni yang selama ini ada seperti Sinovac, Pfizer, Moderna, AstraZeneca, dan beberapa yang lain adalah dari IndoVac, dan InaVac, sedangkan untuk vaksin Merah Putih kita tunggu perkembangan selanjutnya,” tambahnya.

Dalam kesempatan ini, Syahril mengakui sulitnya meningkatkan cakupan vaksinasi booster pertama COVID-19. Maka dari itu, katanya dibutuhkan kerja keras dan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat agar target yang setidaknya 50 persen dari target sasaran masyarakat umum sudah bisa mendapatkan vaksinasi booster baik dosis pertama maupun dosis kedua, terutama juga kalangan rentan seperi lansia.

“Ini menjadi PR kita bersama, memang sesuai dengan yang kami sampaikan di awal tadi, kita capaian booster satu masih 29,8 persen artinya kalau kita mengejar sampai 50 persen target maka ini harus kerja keras. Dan tentu saja ini membutuhkan keterlibatan semua pihak bahwasanya vaksin ini memang menjadi bagian dalam pengendalian COVID-19. Begitupun untuk booster kedua, maka nanti secara serentak kepada masyarakat yang belum vaksin booster kesatu kita harapkan melakukan vaksin booster ke satu dulu, dan setelah enam bulan dilakukan vaksin booster kedua,” tambahnya.

Sementara itu, Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffit Australia Dicky Budiman memahami kesulitan pemerintah untuk meningkatkan cakupan vaksinasi booster pertama COVID-19 terutama bagi kalangan lansia. Menurutnya, tantangan serupa bahkan terjadi sebelum adanya pandemi COVID-19.

“Karena secara psikologis, bicara vaksin itu sudah umum pemahaman yang terbangun dan timbul di masyarakat adalah untuk anak. Kecuali mereka tahunya untuk vaksin ketika akan melakukan ibadah haji, seperti vaksin meningitis. Padahal sebelumnya vaksin untuk dewasa banyak, ada vaksin flu, hepatitis, dan lainnya. Itu cakupannya memang buruk karena salah satunya literasi yang juga rendah,” ungkap Dicky kepada VOA.

Maka dari itu menurutnya, dalam hal meningkatkan cakupan vaksinasi khususnya vaksinasi COVID-19, pemerintah dalam hal ini kemenkes harus memberikan solusi yang berbeda antar daerah dan wilayah, karena ia yakin tantangannya pasti tidak akan sama.

“Makanya dalam pendekatan ilmiah ada need assesstment namanya. Jadi kita akan tahu kalau bicara dari sisi akses, itu ada gak di lingkungan dia? Dari sisi jadwal bagaimana, karena meskipun lansia pasti harus ada waktu tertentu. Kemudian, apakah jauh dari tempat tinggal (sehingga) berarti harus door to door mendatangani per RT atau per RW. Tapi kita kan sudah ada posyandu lansia. Itu yang bisa menjadi media untuk menjangkau mereka,” jelasnya.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS