Lonjakan Kasus Bunuh Diri di Kalangan Pelajar dan Kegagalan Sistem Pendidikan Sekuler
Oleh: Nabila Azzahra Putri Andifa
Dalam beberapa bulan terakhir, publik kembali diguncang oleh serangkaian kasus bunuh diri yang melibatkan siswa sekolah menengah di berbagai daerah di Indonesia. Di Jawa Barat, dua pelajar di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi ditemukan meninggal dunia dengan dugaan bunuh diri. Kejadian serupa juga terjadi di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, di mana dua siswa SMP nekat mengakhiri hidupnya di area sekolah pada Oktober 2025. Menurut hasil penyelidikan aparat, tidak ditemukan indikasi adanya perundungan, melainkan tekanan psikologis yang tidak tertangani dengan baik (Kompas, 2025).
Kementerian Kesehatan melalui Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan. Program pemeriksaan kesehatan jiwa gratis menemukan bahwa lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan mental dari total sekitar 20 juta anak yang diperiksa (Republika, 2025). Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai bahwa lemahnya sistem deteksi dini serta minimnya pendampingan psikologis di sekolah menjadi faktor penyumbang meningkatnya risiko tersebut (Media Indonesia, 2025).
Fakta-fakta tersebut menunjukkan adanya krisis mendasar dalam sistem pendidikan sekuler yang saat ini diterapkan. Model pendidikan yang berorientasi pada pencapaian akademik dan prestasi material telah mengesampingkan pembinaan karakter dan aspek spiritual peserta didik. Akibatnya, banyak siswa tumbuh tanpa fondasi akidah dan ketahanan mental yang kokoh. Agama hanya disampaikan secara formal di kelas, tanpa bimbingan yang menanamkan makna iman dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, paparan media sosial dan budaya populer yang sering menormalisasi pembahasan tentang bunuh diri turut memperburuk kondisi mental remaja. Beberapa platform digital bahkan memiliki komunitas daring yang membahas cara-cara bunuh diri, sehingga memperkuat keinginan destruktif pada anak yang tengah mengalami tekanan (Tempo, 2025). Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalistik yang menjadikan harta dan status sosial sebagai ukuran kebahagiaan, membuat generasi muda kehilangan arah dan merasa hampa secara emosional maupun spiritual.
Untuk mengatasi masalah ini, pendidikan di Indonesia harus diarahkan kembali pada pembentukan manusia yang utuh—baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Pendidikan berbasis nilai Islam dapat menjadi solusi alternatif, karena menempatkan akidah sebagai fondasi utama proses belajar. Melalui pendekatan ini, anak-anak tidak hanya diajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga dilatih berpikir dan bersikap sesuai nilai-nilai moral yang benar.
Pendidikan Islam memandang bahwa anak yang telah baligh harus dibimbing menuju kedewasaan berpikir (aqil) agar mampu bertanggung jawab atas pilihannya. Selain itu, penerapan nilai Islam dalam kehidupan masyarakat juga dapat mengurangi faktor eksternal penyebab stres, seperti kesenjangan ekonomi, konflik keluarga, serta gaya hidup konsumtif. Negara berperan penting dalam menciptakan sistem pendidikan dan sosial yang menyehatkan jiwa anak, serta menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar agar generasi muda tumbuh dalam lingkungan yang harmonis dan bermakna.
*Penulis adalah Aktivis Aktivis Ideologis Kalimantan Barat
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now




