SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Lifestyle Dwayne Johnson Tanggalkan “The Rock”, Hadirkan Luka Manusiawi dalam The Smashing Machine

Dwayne Johnson Tanggalkan “The Rock”, Hadirkan Luka Manusiawi dalam The Smashing Machine

The Smashing Machine (2025). (A24/A24)

Suara Kalbar – Setelah bertahun-tahun menjadi ikon film aksi dengan citra heroik tanpa cela, Dwayne Johnson akhirnya menunjukkan sisi lain dirinya dalam The Smashing Machine (2025). Disutradarai Benny Safdie, film ini bukan sekadar drama olahraga, melainkan potret rapuhnya seorang petarung besar ketika mesin dalam dirinya mulai rusak.

Film ini merupakan adaptasi fiksi dari dokumenter karya John Hyams pada 2002 yang mengisahkan Mark Kerr, legenda tarung bebas era awal UFC dan Pride. Safdie membuka filmnya dengan gaya dokumenter, menampilkan Kerr di tengah laga baku hantam sambil mengisahkan pandangan dingin sang petarung terhadap dunia brutal yang digelutinya. Setelah itu, lapisan emosional yang rumit mulai terungkap. Bukan tentang pertarungan di ring, melainkan pergulatan batin seorang manusia yang kehilangan arah.

Sebagai Mark Kerr, Dwayne Johnson tampil mengejutkan. Ia menanggalkan persona “The Rock” dan benar-benar menyelam ke dalam karakter secara realistis. Ia bukan lagi pahlawan tangguh yang menaklukkan dunia, melainkan pria lembut yang tak tahu cara menghadapi dirinya sendiri. Meski di dalam ring, Kerr dikenal sebagai sosok buas yang tak kenal ampun, di luar ring, Kerr menjadi manusia rapuh.

Emily Blunt memerankan sosok Dawn Staples, kekasih sekaligus sosok yang mungkin terkesan sebagai antagonis sesungguhnya dalam hidup Kerr. Hubungan mereka menjadi pusat emosional film, dua jiwa yang saling mencintai tetapo perlahan menghancurkan satu sama lain. Safdie tak menempatkan Dawn sekadar sebagai pelengkap, melainkan cermin yang memperlihatkan betapa sepi dan rapuhnya hidup sang petarung di balik sorotan dunia olahraga.

Uniknya, The Smashing Machine justru minim adegan laga dibandingkan film genre serupa. Safdie memilih menjauhkan kamera dari ring dan fokus pada kehancuran pribadi Kerr. Kecanduan obat penghilang rasa sakit, tekanan sponsor, hingga kesepian akibat sistem yang memperlakukan atlet seperti komoditas, semua digambarkan tanpa glorifikasi. Sinematografi bergaya VHS 16mm karya Maceo Bishop memperkuat nuansa dokumenter dan nyata, sementara musik jazz dari Nala Sinephro sebagai latar pertarungan membuat laga layaknya renungan sang atlet.

Inilah sisi paling menarik dari karya Safdie: keberaniannya menolak formula film olahraga konvensional. Tak ada klimaks heroik, tak ada sorak kemenangan, hanya perjalanan sunyi seorang manusia yang berusaha tetap berdiri di tengah kekacauan batinnya.

Kehadiran Oleksandr Usyk sebagai Igor Vovchanchyn menjadi salah satu elemen unik dalam The Smashing Machine. Sebagai juara dunia tinju kelas berat, Usyk tak hanya meniru gaya bertarung Vovchanchyn yang legendaris, tetapi juga menangkap sikap dingin dan fokus khas petarung Eropa Timur.

Sementara itu, Ryan Bader, petarung profesional sekaligus bintang Bellator, tampil solid sebagai Mark Coleman, sahabat sekaligus rival Kerr. Bader berhasil menampilkan Coleman bukan sekadar figur pendukung, melainkan sosok kompleks yang memahami kerasnya dunia pertarungan dan tekanan untuk tetap relevan. Dinamika antara Bader dan Johnson terasa natural, seolah dua rekan lama yang sama-sama terjebak dalam sistem eksploitasi olahraga.

Safdie dan Johnson berhasil menciptakan film yang keras sekaligus lembut, brutal tetapo penuh perasaan. The Smashing Machine bukan sekadar kisah tentang petarung, tetapi tentang manusia yang mencoba berdamai dengan luka-luka yang tak terlihat. Bagi Johnson, ini adalah peran transformasional. Ia yang dikenal sebagai jagoan tak pernah kalah, di balik otot dan karisma ternyata mampu menghadirkan kerentanan yang menyentuh.

Sumber: Beritasatu.com

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan