Menjawab Krisis Pangan, Islam Punya Solusi Tuntas
Oleh: Pratiwi
Di tengah tantangan ketahanan pangan, Polda Kalimantan Barat menunjukkan komitmennya dengan mendukung program Asta Cita Presiden Prabowo melalui penyediaan 1.378 hektar lahan untuk pekarangan pangan bergizi yang tersebar di 3.490 titik. Tak hanya itu, Polda Kalbar juga berperan mengubah lahan tidak produktif menjadi lahan subur demi memperkuat ketahanan pangan. Program ini diklaim tidak sekadar berfokus pada penanaman komoditas, tetapi juga memastikan adanya kepastian pasar bagi petani dan masyarakat, sehingga hasil pertanian dapat meningkatkan kesejahteraan bersama (tribunnews.com).
Dukungan Polda Kalimantan Barat dalam mengalokasikan 1.378 hektar lahan untuk meningkatkan ketahanan pangan seolah menjadi angin segar dalam upaya mencapai swasembada pangan. Namun, di balik langkah ini, kita perlu menyadari kompleksitas permasalahan pangan di Indonesia, mulai dari produksi, distribusi, hingga akses konsumsi masyarakat. Faktanya, ketimpangan distribusi pangan masih terjadi, ketergantungan tinggi pada impor, dan harga pangan yang terus melonjak. Sebagai contoh, produksi beras pada 2024 menurun hingga 760.000 ton, memaksa impor meningkat menjadi 3,23 juta ton. Bahkan, ketergantungan impor bahan pangan lain seperti kedelai, gandum, dan bawang putih masih di atas 90% dari kebutuhan domestik.
Akar permasalahan pangan di Indonesia terletak pada sistem kapitalisme sekuler liberal, yang menjadikan pangan sebagai komoditas ekonomi untuk mengejar keuntungan, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Pemenuhan pangan diukur secara agregat, bukan per individu, sehingga pemerataan sulit tercapai. Sistem ini membatasi peran negara dan memberi ruang besar bagi korporasi menguasai sektor pertanian dari hulu ke hilir.
Desentralisasi pun memperparah keadaan dengan mendorong ego sektoral daerah. Program food estate dan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) semakin memperkuat dominasi korporasi besar dalam pengelolaan lahan dan permodalan, menunjukkan bahwa pendekatan kapitalistik tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Sebaliknya, Islam menawarkan solusi menyeluruh dengan paradigma yang memandang pangan sebagai hak dasar setiap individu. Negara berkewajiban penuh mengelola pangan mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, dengan orientasi pelayanan rakyat, bukan keuntungan. Negara harus mengoptimalkan pengelolaan lahan pertanian, menyediakan infrastruktur yang memadai, dan memastikan distribusi pangan merata.
Selain itu, mekanisme harga dan non-harga diterapkan agar masyarakat mampu mengakses pangan berkualitas, sementara rakyat yang kurang mampu mendapat pemenuhan kebutuhan pangan secara langsung dari negara.
Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, ketahanan dan kedaulatan pangan dapat terwujud secara berkelanjutan. Sistem ini tidak hanya memastikan produksi pangan yang cukup, tetapi juga distribusi yang adil, sehingga setiap individu dapat memenuhi kebutuhan gizi secara layak dan merata.
*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now