Belajar Bahasa Mandarin di Pesantren, Mengapa Tidak
Jakarta (Suara Kalbar)- Sejumlah pesantren di Indonesia bersaing mengajarkan bahasa Mandarin. Banyak lulusannya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di China lewat berbagai program beasiswa. Tidak hanya untuk strata-1, tapi juga strata-2 dan strata-3.
Sulit untuk tidak mengasosiasikan Pesantren Nurul Jadid dengan bahasa Mandarin. Pesantren yang berlokasi di Probolinggo, Jawa Timur, itu tercatat sebagai perintis pengajaran bahasa asal negara Tirai Bambu itu di kalangan komunitas Muslim di Indonesia.
Syamsul Hadi, seorang lulusan pesantren itu, tidak bisa menyembunyikan kebanggaannya atas prestasi yang ditorehkan Nurul Jadid. “(SMA Nurul Jadid) menjadi satu-satunya SMA yang menjadi test centre bahasa Mandarin, test centre IHSK,” katanya dilansir dari VoA Indonesia.
IHSK, atau Ujian Standar Kompetensi Bahasa Mandarin, biasanya memang dipercayakan pada perguruan tinggi. Namun pada 2017, Nurul Jadid yang hanya mengajarkan Mandarin di tingkat SMA, justru mendapat kepercayaan besar itu.
Tidak hanya itu, sudah lebih dari 200 siswa lulusan SMA Nurul Jadid yang mendapatkan beasiswa dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi di China – sebagian dari mereka bahkan sudah lulus. Jenjang pendidikan mereka tidak hanya S-1, tapi juga S-2 dan S-3.
Pesantren Nurul Jadid bahkan menjadi pemicu lahirnya pondok-pondok pesantren yang mengajarkan bahasa Mandarin di berbagai penjuru Indonesia, termasuk Bahrul Ulum Besuk (Probolinggo), Badridduja Kraksaan (Probolingo), Maktuba al-Majidiyah (Madura) dan Nurul Jadid (Bali). Yang disebut terakhir, meski menyandang nama sama, berada dalam manajemen yang berbeda dengan yang di Probolinggo.
Syamsul, yang kini menjabat sebagai Koordinator Pembelajaran Bahasa Mandarin di Nurul Jadid Probolinggo, adalah salah satu contohnya. Angkatan ke-2 SMA Nurul Jadid Jurusan Bahasa Mandarin ini meraih gelar S-2 bidang teknologi pendidikan di Zhejiang University of Technology berkat beasiswa. Gelar S-1 sendiri diperolehnya dari Universitas Nurul Jadid, di bidang teknik informatika.
Ihya Ulumuddin, Direktur Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA) di Maktuba al-Majidiyah – yang nama sebenarnya Lembaga Pengembangan Islam Maktuba al-Majidiyah — adalah contoh lainnya. Lulusan SMA Nurul Jadid ini meraih gelar S-1 di Huaqiao University di Xiamen dan S-2 di Zhejiang University di Hangzhou, keduanya di bidang pendidikan bahasa Mandarin.
Syamsul mengatakan keberhasilan Nurul Jadid terletak pada keunggulan program pengajarannya. Apalagi banyak pengajar bahasa Mandarin di sana adalah mantan alumninya sendiri yang sudah mengenyam pendidikan tinggi di negeri asal bahasa itu.
Awalnya, atas bantuan pemerintah Indonesia, Nurul Jadid memang mendatangkan sejumlah pengajar langsung dari China. Kehadiran para pengajar asing itu bahkan bertahan selama 10 tahun hingga 2016. Namun setelah bantuan pemerintah semakin berkurang dan biaya mendatangkan mereka luar biasa mahal, akhirnya Nurul Jadid memutuskan untuk mempekerjakan para alumninya.
“Seiring semakin banyaknya lulusan (Nurul Jadid) yang kembali ke Indonesia. Akhirnya Nurul Jadid memutuskan untuk tidak mengambil guru dari China,” kata Syamsul.
Sebagaimana umumnya pesantren besar, Nurul Jadid menawarkan pendidikan berjenjang, dan beragam. Di sana ada prasekolah, TK, SD, SMP dan Madrasah Tsanawiyah, SMA, SMK dan Madrasah Aliyah,dan universitas. Bahasa Mandarin sendiri hanya diajarkan di SMA Jurusan Bahasa Mandarin. Syamsul mengatakan, bahasa Mandarin sangat diintensifkan pada kelas 11 dan 12. Selain belajar bahasa itu setiap hari, atau sekitar enam jam per minggu, di kelas, para siswa mendapat tutorial 1 jam setiap hari usai jam sekolah, yang khusus ditujukan untuk pengembangan IHSK.
Tidak hanya itu, para siswa SMA jurusan bahasa Mandarin juga diwajibkan tinggal di asrama, yang mengharuskan penghuninya berbahasa Mandarin. “Untuk mereka yang belajar bahasa Mandarin, memang ada asramanya, agar tercipta lingkungan bahasa Mandarin yang kondusif,” jelas Syamsul.
SMA jurusan bahasa Mandarin di Nurul Jadid memiliki enam kelas yang dibagi sesuai gender: tiga untuk siswa laki-laki dan tiga lainnya untuk siswa perempuan. Tiap kelas memiliki 20 hingga 30 siswa. Ada juga dua kelas khusus yang disebut kelas unggulan, satu kelas untuk siswa laki-laki, dan satu kelas untuk siswa perempuan.
Untuk bisa masuk kelas unggulan, para siswa harus melalui proses seleksi. Kebanyakan dari mereka yang diterima di kelas ini mempunyai minat tinggi dalam pembelajaran bahasa Mandarin.
Bilhaq Robby Hasby, siswa kelas 2 SMA Jurusan Bahasa Mandarin yang akrab dipanggil Abil, bangga bisa berbahasa Mandarin. Ia kerap mendapat pujian saat pulang untuk liburan ke kota asalnya, Jember.
“Banyak orang yang kagum dan bilang, wah anak ini bisa bahasa Mandarin. Padahal kan jarang ada orang yang bisa berbahasa Mandarin,” kata Abil.
Abil, yang ayahnya juga alumni Nurul Jadid, mengaku program pengajaran bahasa Mandarin di pesantren sangat memicu keinginannya untuk belajar lebih jauh. “Saya lihat (program pembelajaran) bahasa Mandarin di sini sangatlah maju. Banyak alumninya yang bisa pergi ke China. Programnya efisien dan sangat cocok untuk saya,” katanya.
Muhammad Munir, siswa kelas 3 di jurusan yang sama, juga bangga. Seperti halnya Abil, Munir bahkan optimistis bisa mendapatkan beasisiwa untuk menempuh pendidikan tinggi di China seperti kakaknya yang kini juga mengajar bahasa Mandarin di pesantren itu. “Lulus kelas 3, Insya Allah cari beasiswa ke China,”ungkapnya.
Baik Abil maupun Munir mengaku belajar bahasa Mandarin tidaklah mudah. Namun, mereka memiliki cara untuk bisa menguasainya.
Abil mengungkapkan, “Speaking. Sering berbicara bahasa Mandarin bersama teman-teman. Kemudian untuk mempelajari aksaranya, saya rajin menulis dan mencari tahu apa artinya.”
Sementara Munir berujar, “Saya juga speaking. Kemudian mendengarkan lagu Mandarin, mendengarkan orang China bicara bahasa Mandarin.”
Berbeda dengan Nurul Jadid, Maktuba al-Majidiyah yang berlokasi di Pamekasan, Madura, menawarkan pelajaran bahasa Mandarin pada semua tingkatan — SD, SMP, SMA, kecuali perguruan tinggi.
Menurut Ihya, tingkatan pembelajaran bahasa Mandarin para siswa di Maktuba al-Majidiyah tergantung jenjang penguasaan materi Kitab Kuning – istilah yang merujuk pada buku-buku tradisional yang berisi pelajaran-pelajaran agama Islam.
Artinya siswa SD bisa saja berada dalam satu kelas bahasa Mandarin dengan siswa SMA bila pengetahuan agama Islamnya memadai. Sebagai informasi, penetapan asrama di sana juga bergantung pada penguasaan Kitab Kuning.
Mandarin juga hanya boleh dipelajari setelah menguasai bahasa Arab dan Inggris. “Level-levelnya, pertama harus belajar bahasa Arab, kedua bahasa Inggris, ketiga bahasa Mandarin, dan keempat, atau terakhir, bahasa Prancis,” jelas Ihya.
Saat ini ada sekitar 150 siswa — 80 di antaranya pria yang belajar bahasa Mandarin di Maktuba al-Majidiyah, yang total jumlah pelajarnya 2.000 orang.
Masih menurut Ihya, untuk meningkatkan program bahasa Mandarin, pesantrennya juga menawarkan program intensif selama dua bulan dan biasanya hanya diperkenalkan pada tingkat SMA.
Saat menjalani program itu, siswa dibebaskan dari materi baru mata pelajaran-mata pelajaran lain, dan hanya terfokus pada bahasa Mandarin.
“Jadi selama dua bulan, dari pagi sampai malam, ada pelajaran bahasa Mandarin. Pada pagi ada listening, kemudian ada writing dan ada speaking, ada latihan atau exercise. Jadi selama dua bulan, mereka diforsir untuk bisa bahasa Mandarin,” kata Ihya.
Untuk memastikan keefektifannya, pesantren itu menunjuk sejumlah mata-mata yang tak sungkan melaporkan bila ada siswa yang tidak menggunakan bahasa Mandarin selama berada dalam program itu, dan memberlakukan hukuman yang tidak ringan terhadap siswa itu, seperti berpidato dalam bahasa Mandarin di hadapan teman-temannya.
Para siswa Maktuba al-Majidiyah juga sering ikut dalam kompetisi bahasa Mandarin di tingkat nasional, meski kemenangannya tidak sebanyak yang dibukukan Nurul Jadid. Paling tidak, pada tahun 2017 dan 2019, siswa Maktuba al-Majidiyah pernah menang di tingkat nasional, dan dikirim ke China. Sebagai catatan, lima siswa lulusan pondok pesantren di Madura ini sudah mengenyam pendidikan tinggi di China, dengan tiga di antaranya kini mengajar bahasa Mandarin di pesantren asal mereka.
Nurul Jadid sendiri mulai menawarkan bahasa Mandarin pada tahun 2004, setelah mendapat dukungan pemerintah. Langkah itu sempat menimbulkan kontroversi, mengingat pesantren berlandaskan prinsip-prinsip Islam, sementara beberapa unsur budaya Tionghoa dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi, bahasa tersebut tidak memiliki hubungan budaya dengan Islam.
Bahkan, ketika itu, muncul kekhawatiran bahwa pengajaran bahasa Mandarin dalam kurikulum pesantem akan merendahkan bahasa Arab – yang sangat diutamakan Muslim, mengingat bahasa itu digunakan dalam kitab suci Alquran — dan bisa menyebabkan penyimpangan dari Islam.
Namun, keresahan itu berhasil ditepis, setelah banyak pemuka agama Islam, termasuk para sesepuh Nurul Jadid, yang menyatakan pendapat mereka bahwa sebuah hadis dari Nabi Muhammad SAW bahkan menyiratkan agar para pengikutnya mencari ilmu ke mana saja, bahkan sampai ke China.
Kampung Mandarin Pare juga memiliki lebih banyak guru. Delapan belas orang tercatat sebagai pengajar offline, sementara 12 lainnya pengajar online.
Menurut Syamsul, dewasa ini bahasa Mandarin dipilih, karena perkembangan ekonomi China telah menciptakan permintaan yang kuat terhadap orang-orang yang bisa berbahasa Mandarin. Singkatnya, perkembangan ekonomi China mengubah pasar linguistik di Indonesia.
Sebelumnya, bahasa Mandarin dipandang sebagai bahasa yang kurang bernilai. Kini, bahasa itu dipandang sebagai bahasa yang memiliki nilai yang lebih berarti dibandingkan dengan bahasa-bahasa asing lain.
Budi Kurniawan, staf pengajar Program Bahasa Mandarin Universitas Kristen Petra, dan rekannya, Setefanus Suprajitno, pernah melakukan studi mengenai bahasa Mandarin dan status sosial di kalangan lulusan Pesantren Nurul Jadid. Hasil studi mereka, yang sempat dipublikasikan di Jordan Journal of Modern Languages and Literatures pada tahun 2022, menunjukkan, bahasa Mandarin bisa men-challenge reproduksi sosial.
“Dengan belajar bahasa Mandarin, status sosial mereka bisa berubah, bisa menjadi lebih tinggi. Jadi positif, bisa mengangkat kesejahteraan, bisa mengangkat taraf hidup,” jelas Budi.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS