Bahan Kimia dan Potensi Hambatan Ekspor Kopi Indonesia

Seorang pekerja memetik biji kopi robusta di perkebunan dekat Banyuwangi, Jawa Timur, 10 Agustus 2016. (Foto: Antara/Budi Candra Setya via REUTERS)

Suara Kalbar – Lereng Gunung Sumbing dan Sindoro di Temanggung adalah salah satu pusat budi daya kopi di Jawa Tengah. Petani di kawasan ini mengombinasikan tanaman kopi dengan budi daya tanaman musiman untuk menambah pendapatan. Mukidi adalah salah satu petani kopi yang juga produsen kopi yang menggunakan metode serupa.

“Di Temanggung, tanaman kopi arabika itu tumbuh di ketinggian sekitar 800 MDPL (meter di atas permukaan laut -red) ke atas. Jadi, rata-rata masyarakat di sini ini memadukan tanaman semusim, ada tembakau ada sayur dan yang lain,” paparnya.

Dengan metode seperti itu, tanaman kopi tidak diberi pupuk secara langsung.

“Tapi, ini pupuknya kalau dalam bahasa Jawa istilahnya nunut. Jadi mereka memupuk tembakau itu nanti otomatis akan berdampak ke kopinya,” tambah Mukidi.

Selain soal pupuk, menanam tanaman musiman di bawah pohon kopi juga menghasilkan ciri khas dalam produk kopi mereka. Ada aroma tembakau di dalam kopi, yang menurut Mukidi menjadi ciri geografis sebagai kopi Java Arabika Sindoro-Sumbing. Selain tembakau, petani seperti Mukidi juga menanam jahe dan aneka tanaman lain di lahan mereka.

Cara Budi Daya Berisiko

Sepertinya, cara budi daya yang diterapkan Mukidi masuk akal bagi petani. Tanaman musiman menjadi pendapatan ekstra sebelum memanen kopi yang belum tentu bisa dipetik sepanjang tahun.

Namun, langkah itu ternyata beresiko, khususnya terhadap posisi kopi Indonesia di mata dunia. Tahun 2022, pemerintah Jepang menghentikan impor kopi dari Indonesia karena menemukan residu bahan kimia isoprocarb melebihi ambang batas 0,01 ppm. Isoprocarb adalah bahan kimia aktif hasil cemaran residu insektisida. Petani menggunakan insektisida berbahan aktif isoprocarb untuk melawan semut menjelang panen. Dampaknya, residu ditemukan dalam produk akhir yang diekspor. Kementerian Pertanian sendiri menggolongkan isoprocarb sebagai pengendalian hama kutu putih.

Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (Gaeki) dalam pernyataan resminya mengatakan kehilangan pasar Jepang sangat merugikan Indonesia. Ekspor kopi ke Jepang mencapai 18 ribu metrik ton, senilai $36 juta. Jika langkah perbaikan tidak segera diambil, Vietnam dikhawatirkan akan menggantikan posisi Indonesia sebagai pemasok kopi ke Jepang.

Pemerintah Janjikan Perbaikan

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Dr. Prayudi Syamsuri mengakui isu residu isoprocarb dalam kopi Indonesia sangat mengganggu. Dia menyebut isu ini sebagai kampanye hitam yang menimbulkan hambatan ekspor.

“Ini masih dalam tahap perbaikan di sisi hulunya. Jadi, ada kandungan insektisida yang biasa digunakan untuk membasmi semut, terkontaminasi di biji kopi. Kami harapkan petani bisa memiliki kesadaran untuk menggunakan insektisida nabati atau menggunakan musuh-musuh alami,” kata Prayudi, dalam diskusi terkait kopi Indonesia yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Senin (20/3).

Untungnya, kopi Indonesia masih diterima di banyak negara sampai saat ini. Indonesia masih duduk di peringkat delapan dari sisi nominal ekspor kopi di dunia. Brazil masih menjadi raja dengan pendapatan ekspor senilai $5,8 miliar setahun. Indonesia mengantongi $1,57 miliar setahun. Vietnam, tetangga terdekat duduk di posisi keempat dengan $2,66 miliar.

“Tentu saja, Amerika Serikat masih mendominasi ekspor kopi kita dengan 13 persen. Disusul kemudian India, Mesir dan Jerman. Malaysia pun saat ini masih mengekspor dari kita, sebesar 6 persen kontribusi ekspor dari total ekspor kopi Indonesia, berdasarkan negara tujuan,” kata Prayudi.

Sertifikasi Kopi Penting

Peneliti di Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN Dr Pandu Laksono mengatakan sebenarnya petani kopi diuntungkan dengan sistem kontrak produksi. Hanya saja sistem kontrak membawa konsekuensi diterapkannya standar prosedur operasional.

Dalam kaitannya dengan pestisida, insektisida dan bahan sejenis misalnya, industri juga menerapkan standar yang harus dipatuhi. Pada kasus di mana muncul organisme pengganggu tanaman misalnya, kata Pandu, yang harus dilakukan sesuai aturan adalah pendekatan mekanis dan hayati.

“Tapi, kalau kita lihat di sini hasil riset yang kami lakukan pada tahun 2020-2021, kita lihat bahwa petani kopi arabika itu 55, 8 persen masih menggunakan pestisida,” urai Pandu.

Riset itu dilakukan BRIN di kawasan Temanggung sebagai salah satu kawasan penghasil kopi. Dalam catatannya, Pandu mengatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi itu adalah sistem pengembangan kopi yang tumpang sari dengan tanaman lain, seperti tembakau atau sayur-sayuran.

“Biasanya petani melakukan penyemprotan pestisida kepada tanaman tersebut sehingga pada saat melakukan itu petani juga melakukannya untuk tanaman kopinya. Bahasanya, sekalian nyemprot sayuran juga tanaman kopinya,” tambah Pandu.

Padahal, jika ingin menguasai pasar kopi dunia, sejumlah sertifikasi harus dimiliki. Misalnya, green bean yang harus sesuai dengan standar yang dikeluarkan Badan Standardisasi Nasinoal Indonesia (SNI). Dalam budi daya, ada juga standarisasi dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan yang lebih adil. Dari sisi harga, ada sertifikasi untuk keadilan harga agar petani mendapatkan harga layak dalam kemitraan.

“Juga ada persoalan sosial dalam skema sertifikasi ini, misalnya pelarangan penggunaan tenaga kerja di bawah umur. Ada konsep lingkungan yang masuk, misalnya tidak melakukan perusakan hutan dan penggunaan pestisida,” lanjut Pandu.

Jika petani mampu memenuhi standar global, keuntungan bagi mereka cukup signifikan. Misalnya terkait pemasaran, dimana petani terhubung dengan pasar global.

Pandu memberi contoh sejumlah sertifikasi yang bisa diraih petani, antara lain C.A.F.E Practise oleh retailer kopi terkemuka, Starbucks. Ada juga 4C yang diterapkan perusahaan nestlé. Disamping itu ada lupa sertifikat Fair Trade Coffee, Rainforest Alliance, dan UTZ Coffee.

Turun di Banyak Segi

Mengambil data dari database statistik perdagangan komoditas yang dikeluarkan PBB (UN Comtrade), Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Prof Dr Dwidjono Hadi Darmanto meyakini sektor kopi Indonesia memang mengalami sejumlah penurunan.

Penurunan tersebut bisa dilihat dari nilai ekspor atau pangsa pasar yang bisa direbut kopi Indonesia. Patokan kedua adalah kemampuan bersaing kopi Indonesia di pasar internasional. Keduanya mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, kata Dwidjono.

“Pangsa pasar kita di dunia itu sayangnya beberapa tahun terakhir cenderung menurun. Nah ini harusnya sudah menjadi warning, bagaimana kita meningkatkan pangsa pasar kopi di luar negeri,” kata Dwidjono.

Melihat data yang ada di PBB, Dwidjono menilai ada sejumlah negara yang naik dalam dua sisi itu, baik dalam merebut pangsa pasar maupun dalam kemampuan bersaing secara kualitas.

Fokus perbaikan, salah satunya harus dilakukan di perkebunan terlebih dahulu.

“Karena sebagian besar produksi kita, dihasilkan oleh pertanian rakyat, hanya sedikit yang dari perkebunan besar dan perkebunan swasta. Saya melihat, di perkebunan rakyat ini ternyata sudah beberapa tahun ini agak tidak terperhatikan,” ujar Dwidjono.

Salah satu buktinya adalah ada cukup banyak pohon kopi berusia tua di Indonesia yang produktivitas dan kualitasnya rendah. Karena itulah peremajaan pohon kopi, terutama di di perkebunan rakyat, menjadi langkah yang harus diambil.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS