NU dan Muhammadiyah Fokus pada Isu Praktik Politik Identitas di 2024

ILUSTRASI PEMILU Seorang pemuda menggunakan ponselnya di depan mural kampanye Pemilu 2019, Banda Aceh, 17 Maret 2019. (Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)

Suara Kalbar – Ketua Umum PB NU Yahya Cholil Staquf mengakui bahwa politik identitas masih menjadi persoalan, bahkan di organisasi yang dipimpinnya. Karena itulah, dia meyakini, peran paling relevan untuk organisasi seperti NU terkait pemilu adalah dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

“Kita semua menyadari, dan kita sudah memiliki pengalaman-pengalaman yang cukup berat selama ini, bahwa politik identitas, politik SARA ini terus menerus membayangi dinamika politik di berbagai tingkatan,” kata Yahya, Rabu (25/1), dalam diskusi daring yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri.

“Karena itu, menuju Pemilu tahun 2024 nanti, NU sendiri menempatkan konsen tentang politik identitas ini sebagai perhatian utama,” tambahnya.

Pendukung calon presiden Prabowo Subianto membawa spanduk dalam unjuk rasa dekat gedung Mahkamah Konstitusi menjelang sidang putusan pilpres 2019, 27 Juni 2019. (Foto: AP)
Pendukung calon presiden Prabowo Subianto membawa spanduk dalam unjuk rasa dekat gedung Mahkamah Konstitusi menjelang sidang putusan pilpres 2019, 27 Juni 2019. (Foto: AP)

Warisan Masa Lalu

Menurut Yahya, politik idenitas bukan sesuatu yang mudah diatasi. Tradisi politik masyarakat Indonesia awalnya dibangun di atas fondasi politik identitas. Karena itu pula lah, praktik dan model dinamika politik identitas telah berlangsung cukup lama.

“Kita tahu, sebagaimana diungkap sejumlah peneliti bahwa peta politik Indonesia ini pada umumnya didasarkan pada politik aliran. Ini menjadi semacam warisan, sulit untuk dihapus begitu saja,” tegasnya.

Pemerintahan Orde Baru, kata Yahya, mencoba menekan praktik politik identitas dengan cara yang represif. Sebagai dampaknya, ketika kekuasaan Orde Baru tumbang, masyarakat seolah lepas dari belenggu, termasuk dalam praktik politik identitas ini. Kecenderungan politik identitas dan politik aliran, kata Yahya, meruyak kembali.

Kondisi ini menjadi tantangan bagi seluruh pihak, termasuk bagi NU.

“Saya kira semua orang mengetahui, dan kami sendiri dalam kepemimpinan NU menyadari bahwa di dalam lingkungan NU sendiri, kecenderungan politik identitas itu masih cukup kuat. Terutama karena semangat, atau dalam istilah yang lebih peyoratif, dikatakan syahwat politik di lingkungan NU yang sangat besar,” urainya.

Hindari Polarisasi, Pilpres 2024 Tak Boleh Hanya Usung Dua Calon

Dalam Pemilu 2019, menurut Yahya, bahkan terjadi mobiliisasi dukungan dengan menjadikan identitas NU sebagai senjata. Fenomena ini tentu tidak menggembirakan. Politik identitas adalah motivasi politik yang tidak rasional, sehingga, kata Yahya, konsolidasi berdasarkan identitas mengarah pada konsolidasi bersifat tribal atau kesuku-sukuan.

“Yang kemudian menjadikan para partisipan politik ini, tidak lagi berpikir tentang pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi lebih berpikir tentang sentimen-sentimen identitas yang irasional,” tambahnya.

Pertarungan ide yang tidak rasional, akan melahirkan dialog yang tidak rasional pula dan menghambat upaya damai dalam politik. Setiap mereka yang secara identitas berbeda, didudukkan sebagai musuh yang absolut. Negosiasi dan pertukaran pemikiran, yang selayaknya ada dalam proses politik, tidak dikedepankan.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS