Opini  

Menyelaraskan BUMN dengan Kesejahteraan Masyarakat

Nelayan juluk di Mempawah bersiap melaut. SUARAKALBAR.CO.ID/Foto. Dok Suryana Miharja

Oleh: Suryana Miharja*

 

TERBITNYA Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No. PER-05/MBU/04/2021 Tentang Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan seharusnya kian mengukuhkan eratnya hubungan antara kemajuan perusahaan dengan peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat di wilayah operasional BUMN.

Masyarakat di Kecamatan Sungai Kunyit, Mempawah, Kalimantan Barat, merupakan masyarakat yang berada di dalam wilayah operasional Terminal Kijing yang dibangun oleh Pelindo II sebagai perluasan pelabuhan Pontianak.

Pembangunan Terminal Kijing tersebut diyakini mampu menghadirkan dampak positif bagi ekonomi daerah termasuk masyarakat di Kecamatan Sungai Kunyit, selain menyisakan dampak negatif seperti hilangnya sumber mata pencaharian nelayan.

Untuk meminimalkan dampak negatif tersebut, Pelindo II telah melakukan berbagai upaya, melalui ganti rugi bahkan disebut ganti untung atau program lainnya, namun belum menyelesaikan masalah secara tuntas, adanya aksi demonstrasi nelayan ke Kantor Bupati Mempawah pada 21 september 2020 silam, bisa menjadi salah satu alasannya.

Menyikapi tuntutan nelayan tersebut, Pelindo II memilih mengikuti kebijakan Gubernur Kalbar yang tertuang dalam surat No. 523/0023/DKP-PT tanggal 6 Januari 2021 tentang perkembangan penanganan dampak sosial kemasyarakatan pembangunan Terminal Kijing, yang salah satunya menyatakan tidak membenarkan ganti rugi dalam bentuk uang tunai dan tuntutan ganti rugi nelayan diakomodir melalui kegiatan CSR.

Pertanyaannya, kegiatan atau program CSR seperti apa yang bisa mengakomodir tuntutan nelayan soal ganti rugi akibat hilangnya sumber mata pencaharian?

 

Bentuk CSR BUMN

CSR atau Corporate Social Responsibility dalam Peraturan Menteri BUMN tersebut di atas disebut sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan disingkat TJSL. Bentuknya disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 huruf a, adalah pembiayaan dan pembinaan usaha mikro dan usaha kecil.

Persoalannya apa pun bentuk usahanya, tidak bisa memberikan penghasilan dalam waktu singkat, padahal nelayan terbiasa meraih penghasilan dalam waktu singkat.

Bentuk kegiatan TJSL lainnya seperti disebutkan dalam Permen BUMN No. PER-05/MBU/04/2021  pasal 10 ayat 1 huruf b yaitu bantuan dan/atau kegiatan lainnya juga tetap tidak akan mampu menyelesaikan masalah, misalnya memberikan bantuan sembako untuk nelayan, selain tidak berkelanjutan juga tidak mungkin Pelindo II memberikan bantuan sembako terus menerus.

Dalam situasi demikian perlu terobosan untuk melihat persoalan dengan jernih, salah satunya menganalisis budaya sumber mata pencaharian.

 

Budaya Nelayan dan TJSL BUMN

Sumber mata pencaharian atau Koentjaraningrat menyebutnya sistem mata pencaharian hidup, adalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal yang ada di masyarakat.  Kebudayaan atau budaya bermula dari cara yang menjadi kebiasaan lalu menjadi budaya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, menerjemahkan budaya (culture) sebagai pikiran, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah.

Sumber mata pencaharian nelayan adalah menangkap ikan di laut, apa pun alat tangkapnya budaya nelayan untuk mendapatkan penghasilan adalah budaya singkat.

Artinya, melaut pagi hari mendapat hasil pada sore atau malam hari, dengan demikian mendorong nelayan untuk mengembangkan usaha akan bertentangan dengan budaya sumber mata pencaharian nelayan.

Untuk mengubah budaya tersebut tidak bisa langsung, namun perlu tahapan yaitu menyiapkan budaya mata pencaharian antara tanpa melupakan upaya untuk mendorong perubahan budaya mata pencaharian.

 

Menyejahterakan Nelayan

Upaya tersebut sangat mungkin dilakukan karena Permen BUMN No. PER-05/MBU/04/2021 pasal 11 ayat 3 huruf c menyatakan BUMN bisa membina usaha kecil dan mikro yang sejalan dengan bisnis intinya atau bisnis pendukung.

Untuk bisnis pendukung Pelindo, misalnya BUMDes didorong untuk memenuhi kebutuhan catering, air bersih, atau jasa kebersihan di lingkungan Terminal Kijing, sebagai upaya menyiapkan budaya mata pencaharian antara sambil paralel dengan kegiatan budidaya sebagai upaya untuk mengubah budaya mata pencaharian nelayan dalam jangka panjang.

Jika hal tersebut dilakukan, maka nelayan dan Pelindo sama-sama untung. Nelayan mendapat penghasilan, dan Pelindo bisa beroperasi dengan lancar. Sebuah terobosan untuk menciptakan apa yang disebut oleh  Michael E. Porter dan Mark R. Kramer sebagai creating share value (CSV).

 

*Penulis adalah Staf Peneliti Rumah Berdaya Kijing, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.