SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Puasa Kecapi

Puasa Kecapi

Oleh : Eka Hendry Ar*

DARI perut kecapi yang kosong, keluarlah bunyi yang merdu. Nada-nada ritmik mengetarkan jiwa. Memanggil-manggil Tuhan, demikian tutur Maulana Rumi. Demikianlah puasa, kotoran yang menjelaga di perut dan dada, dibakar di tungku perapian, hingga mengabu. Karena ramadhan adalah api, panas yang menempa karat dan jelaga, hingga tajamlah mata pisau intuitifnya. Tersibak seratus hijab, dan mendaki beribu derajat, demikian ungkap Rumi.

Kala tajam belati hati, hamba-hamba yang beruntung, naiklah derajat di tanah datar kekosongan. Seperti perut kecapi yang kosong. Di tanah lapang kekosongan nan luas, mulailah dipetik irama mistik, lirik keriduan kepada asal muasal diri. Seperti suara yang keluar dari seruling bambu, sebuah ratapan kerinduan kepada rumpunnya, kata Mualana Rumi. Seperti kerinduan ikan kepada air, seperti burung kepada sarangnya, seperti rembulan rindukan malam.

Puasa tiada sekedar mengosongkan jasad, tapi mengosongkan hakekat. Tiada sekedar menahan lapar dahaga, melainkan juga menahan kelupaan dan kelengahan. Lupa tentang hakekat diri, lupa kepada Nur Muhammad, dan lupa untuk apa berada. Lengah karena silau patamorgana, hingga lalai hidup yang sejati. Dilenakan kesenangan semu, hingga alfa pada kesenangan abadi. Kalau lupa sudah dapat dilawan, maka senandung berpadu menjadi rindu. Rindu yang tiada berkesudahan, sampai waktunya diminta pulang.

Tiada penasaran yang lebih tinggi selain kerinduan. Lebih penasaran ketimbang pertemuan. Kalau pertemuan terjadi, segala rindupun sirna. Seorang kekasih yang terpisah jauh pastilah dirundung rindu, seakan lautan hendak direnangi, sahara akan dilintasi, antar benua hendak dilalui. Kalau telah bertemu, gembiranya bukanlah lagi rindu, tapi tiada lagi berarti kata-kata. Kata-kata yang ditulis saat kerinduan, seperti aku merindu, aku murung, aku nelangsa, menjadi sirna.

Demikianlah, dari perut yang lapar, tenggorokan yang dahaga, raga lemah tiada berdaya dan jiwa yang meronta, merangkai simfoni. Bagai petikan kecapi, laksana tiupan serunai bambu menyatakan rindu kepada asal, kepada rumpun, kepada akar.

Raga nan rapuh tiada mampu menahannya, hingga menarilah ia turut serta. Memutar, bagai semesta, para darwis ekstase dalam sema’i (whirling dance). Tarian putar, raga dan jiwa, thawaf mengitari pusat konsentris, memuji dan meratap kepada Tuhan. Menadah ampunan dan kasih sayang-Nya. Inilah puasa kecapi, puasa jiwa.

*Penulis adalah Dosen IAIN Pontianak/Ketua Bidang Keilmuan, Riset dan PT KAHMI Wilayah Kalbar

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan