Determinasi Hukum dan Refleksi Penangkapan Djoko Tjandra

![]() |
. |
Oleh:
Pradikta Andi Alvat S.H., M.H
DALAM
bukunya yang berjudul Why The Haves Come
Out Ahead: The Classic Essay and New Observations Marc Galanter mengatakan “the haves always come out ahead”. Yang
artinya pihak yang memiliki kemampuan materil akan selalu keluar sebagai
pemenang. Dalam dimensi apapun. Mengapa bisa demikian? Karena ruang sosial dan
sistem formal negara amat rentan dengan gurat-gurat manipulatif dan
transaksional. Selalu terbuka ruang bagi relasi supply and demand. Lemahnya penegakan hukum dan rendahnya
integritas merupakan causa proxima yang
membuat kondisi demikian dapat terjadi.
Kondisi
demikian pula yang nampak dalam dunia hukum kita. Determinasi materil terhadap
hukum seringkali nampak secara vulgar. Hukum terlihat begitu tajam ke bawah (poor) namun tumpul ke atas (heaves). Terhadap orang miskin, hukum
menjelma sebagai entitas yang sangat represif, sedangkan terhadap orang kaya,
hukum menjelma sebagai entitas yang akomodatif dan protektif.
Kasus
Djoko Tjandra merupakan contoh paling relevan untuk merefleksikan bagaimana
determinasi materil terhadap hukum terjadi. Dengan kapasitas materilnya, Djoko
Tjandra mampu mendapatkan previlege dan
back-up dari oknum penegak hukum sehingga
bisa “bersembunyi” dengan nyaman selama 11 tahun ini. Di sini dapat kita lihat
bagaimana hukum menjelma sebagai entitas yang akomodatif dan protektif bagi
Djoko Tjandra yang notabene memiliki modal materil. Modal yang kemudian
digunakan untuk mendapatkan previlege dan
back-up dari oknum penegak hukum.
Secara
konstitusional, benar bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi
logis sebagai negara hukum, maka hukum harus supreme. Hukum harus memiliki supremasi dalam penyelenggaraan
kehidupan negara. Tidak boleh ada kekuatan-kekuatan diluar hukum (ekonomi,
politik, sosial) yang menginferiorkan hukum. Karena begitu hukum inferior, maka
idealitas relasi dan struktur sosial maupun tujuan-tujuan esensial dari hukum tidak
akan bisa tercapai.
Dalam
konsep teori struktural fungsional sebagaimana dikemukakan oleh Tallcot
Parsons, hukum (sub-sistem sosial) sendiri memiliki fungsi integrasi. Fungsi
untuk me-manage agar ruang sosial
yang penuh dengan kelindan kepentingan tidak terjadi chaos yang membuat goals individu
maupun tujuan kolektif tidak tercapai. Nah, untuk mewujudkan idealitas relasi
dan struktur sosial maupun mencapai tujuan-tujuan esensial dari hukum, maka
hukum harus memiliki supremasi, tidak hanya secara formal-konstitusional (das sollen) namun juga secara
empirik-sosiologis (das sein).
Sayangnya,
secara emipirik-sosiologis, determinasi terhadap hukum seringkali nampak dengan
telanjang tanpa malu-malu. Inilah yang membuat idealitas relasi dan struktur
sosial maupun tujuan-tujuan esensial dari hukum (keadilan substantif) sulit
mengejawantah dalam tertib penyelenggaraan kehidupan negara ini.
Determinasi
Terhadap Hukum
Secara
teoritis, potensi determinasi terhadap hukum memang sudah banyak dijelaskan.
Ada banyak teori yang menjelaskan terkait hal tersebut. Misalnya teori
bekerjanya hukum yang dikemukakan oleh Chambliss dan Robert B. Seidman. Menurut
Chambliss dan Robert B. Seidman, dalam proses bekerjanya hukum tidak akan bisa lepas
dari faktor-faktor sosial dan personal yang dapat menghambat terwujudnya
idealitas dalam proses bekerjanya hukum.
Kemudian
dalam disiplin politik hukum yang menjelaskan bingkai hubungan antara politik
dan hukum. Banyak kajian-kajian ilmiah terkait bidang politik hukum
mendiseminasikan bahwa secara empirik, politik
merupakan entitas yang seringkali mendeterminasi hukum sehingga hukum tidak
bisa berperan secara optimal. Dalam realitasnya, determinasi politik terhadap
hukum merupakan sebuah hal yang lumrah mengingat hukum adalah produk politik
yang tidak bisa terlepas dari tendensi-tendensi politik.
Determinasi
terhadap hukum juga muncul dari dimensi ekonomi (materil). Praksis determinasi
ekonomi terhadap hukum dapa mengejawantah dalam berbagai hal. Misalnya:
pembelian Pasal ketika pembuatan Undang-Undang yang mengatur bidang tertentu, back-up aparat, kongkalikong dalam proses peradilan, hingga previlege-previlege sebagai narapidana.
Pada
hakikatnya, determinasi dimensi non-hukum terhadap hukum, membuat hukum sendiri
tidak bisa berperan secara optimal baik dalam kapasitasnya sebagai social order (sarana ketertiban sosial)
maupun social enginering (sarana
perubahan masyarakat).
Makna
Penangkapan Djoko Tjandra
Setelah
buron selama 11 tahun, terpidana kasus pengalihan utang (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra akhirnya berhasil ditangkap oleh
penyidik Bareskrim Polri di Malaysia pada Kamis (30/7/2020) lalu. Tertangkapnya
buron kelas kakap ini seakan memberikan angin segar bagi dimensi penegakan
hukum kita.
Akhir
drama 11 tahun buronnya Djoko Tjandra sendiri memiliki beberapa makna penting. Pertama, hal ini menunjukkan negara
tidak kalah dengan para white collar
crime. Negara menunjukkan kemauan dan keseriusannya untuk menangkap Djoko
Tjandra yang telah buron 11 tahun lamanya.
Kedua,
hal ini merupakan momentum untuk memperbaiki citra Polri di mata masyarakat.
Sebelum tertangkapnya Djoko Tjandra, rasa trust
masyarakat terhadap kinerja Polri dalam mengungkap dan menangkap Djoko
Tjandra memang sempat rusak. Nah, momentum ini harusnya menjadi refleksi bagi
Polri untuk memperbaiki citra dan menumbuhkan kembali rasa kepercayaan
masyarakat.
Ketiga,
tertangkapnya Djoko Tjandra adalah langkah kunci untuk membuka siapa-siapa saja
yang terlibat dalam “pengamanan” Djoko Tjandra sehingga bisa “bersembunyi”
dengan aman selama 11 tahun ini. Konkretnya, penegakan hukum terhadap
oknum-oknum penegak hukum baik dari Kejaksaan, Kepolisian, institusi penegak
hukum lain, maupun pihak lain yang terlibat dalam back-up Djoko Tjandra (sepanjang memenuhi unsur pidana) harus
dilakukan secara transparan dan konsekuen.
Keempat,
tertangkapnya Djoko Tjandra merupakan jembatan emas yang memantik motivasi dan
keyakinan internal dalam tubuh Polri untuk menangkap 38 orang buron kasus
korupsi yang belum tertangkap. Hal ini juga momentum untuk melakukan proses
penegakan hukum terhadap Djoko Tjandra terkait potensi pidana baru. Pemalsuan
surat dan penyuapan.
Kelima, hal ini merupakan momentum pematahan
determinasi ekonomi (materil) terhadap hukum. Hukum harus kembali supreme sebagai garda untuk menjamin
keamanan dan ketertiban masyarakat. Penangkapan Djoko Tjandra yang berstatus
terpidana buron harus bisa menjelma sebagai prevensi general maupun prevensi
khusus agar tidak kembali terjadi kasus-kasus seperti demikian di kemudian
hari.
*Penulis adalah Pegiat Hukum