Jalan Sabu di Perbatasan, Jalan Rusak Bangsa?
Oleh: Lala
Penangkapan dua warga Malaysia dan seorang warga Sanggau karena menyelundupkan delapan kilogram sabu melalui perbatasan Entikong, Kalimantan Barat (kumparan.com 9/9/2025), kembali membuka mata kita tentang betapa rapuhnya benteng negeri ini terhadap serangan narkoba. Para pelaku bahkan nekat membakar mobil berpelat Malaysia di kebun sawit untuk menghapus jejak. Fakta ini menunjukkan bahwa jalur resmi sekalipun bisa ditembus, seakan negeri ini adalah surga bagi para bandar narkoba yang leluasa menjadikan generasi kita sebagai pasar empuk.
Kasus ini bukanlah yang pertama, dan hampir bisa dipastikan bukan yang terakhir. Selama bertahun-tahun, Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia kerap menjadi jalur favorit penyelundupan narkoba. Mengapa? Karena ada pasar yang menggiurkan, ada keuntungan besar yang bisa diperoleh, dan ada celah hukum yang membuat pelaku berani bermain api. Perputaran uang dalam bisnis haram ini membuat banyak orang gelap mata. Sanksi yang ada pun terbukti tak menimbulkan efek jera; bandarnya mungkin berganti, tetapi jaringannya terus hidup.
Inilah potret nyata dari sistem yang kita jalani hari ini, sistem kapitalisme sekuler. Hukum dibuat, aparat dikerahkan, operasi dilakukan, namun nyatanya narkoba tetap deras mengalir. Akar masalahnya bukan hanya lemahnya pengawasan atau minimnya fasilitas, tetapi lebih mendasar: sistem yang ada gagal menutup pintu bagi bisnis haram ini. Selama ukuran kebahagiaan hanya materi, selama halal dan haram diabaikan, maka narkoba akan terus menemukan jalan masuknya. Bahkan gaya hidup sekuler yang dilegalkan sistem saat ini seakan memberi ruang bagi orang untuk mencari pelarian dengan zat haram, meski harus merusak dirinya sendiri.
Islam menawarkan pandangan berbeda. Dalam Islam, negara bukan sekadar menindak, tetapi juga mencegah sejak hulu. Barang haram seperti narkoba tidak diakui sebagai komoditas ekonomi. Artinya, tidak boleh diproduksi, didistribusikan, apalagi dikonsumsi. Rasulullah saw. dengan tegas melarang setiap zat yang memabukkan atau melemahkan (mufattir), sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Para ulama klasik hingga kontemporer pun sepakat bahwa narkoba termasuk kategori barang haram yang membahayakan akal dan jiwa.
Mekanisme Islam bekerja secara menyeluruh. Negara wajib menjaga perbatasan agar tidak menjadi jalur masuk barang haram. Penegakan hukum dijalankan secara adil, dengan sanksi takzir yang bisa bervariasi dari ringan hingga berat sesuai kadar kejahatan. Para pelaku tidak hanya dipandang sebagai penjahat yang harus dihukum, tetapi juga sebagai individu yang perlu diarahkan kembali ke jalan benar melalui rehabilitasi dan pembinaan. Di saat yang sama, masyarakat dibina dengan pendidikan iman sehingga mereka memahami bahwa kebahagiaan sejati bukanlah pada kesenangan sesaat, melainkan pada hidup yang selaras dengan aturan Sang Pencipta.
Dengan cara pandang semacam ini, narkoba diberantas bukan hanya di permukaan, tetapi hingga ke akar. Tidak ada celah bisnis untuk barang haram, tidak ada permintaan pasar yang bisa dirawat, tidak ada generasi yang dibiarkan hancur. Bandingkan dengan kondisi hari ini, di mana sanksi longgar, hukum sering tumpul ke atas, dan masyarakat terus dijejali gaya hidup materialistik. Selama sistem yang dipakai masih memberi ruang, jangan heran bila sabu dan sejenisnya terus berputar bak bisnis legal.
Kasus di Sanggau hanyalah potongan kecil dari problem besar negeri ini. Jika akar masalahnya tidak disentuh, maka ibarat rumput liar, narkoba akan terus tumbuh meski dipangkas berkali-kali. Pertanyaannya, beranikah negeri ini mengambil jalan baru, sebuah sistem yang benar-benar menutup celah bagi barang haram? Sebab tanpa itu, generasi kita akan terus jadi korban, dan peradaban kita kian terancam retak.
*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





