SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Anak Saleh Bukan Warisan: Tapi Hasil dari Tarbiyah Panjang

Anak Saleh Bukan Warisan: Tapi Hasil dari Tarbiyah Panjang

Ilustrasi

Oleh: Fakhurrazi Al Kadrie S.HI, MP.D

Dalam percakapan sehari-hari, tak jarang kita mendengar orang tua berkata, “Saya ingin anak saya menjadi anak yang saleh.” Kalimat itu terdengar mulia, namun perlu kita tanyakan kembali: apakah kesalehan anak bisa diturunkan begitu saja? Apakah cukup hanya dengan mendoakan dan berharap, tanpa adanya proses pendidikan yang intens, konsisten, dan berkelanjutan?

Al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadikan kesalehan anak sebagai sesuatu yang otomatis diwariskan. Sebaliknya, ia adalah buah dari tarbiyah (pendidikan) panjang yang dilakukan dengan cinta, kesabaran, dan keteladanan. Kesalehan bukanlah hadiah yang diberikan pada malam kelahiran, melainkan hasil dari perjalanan yang penuh perjuangan dan pengorbanan orang tua.

Dalam Surah At-Tahrim ayat 6, Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(QS. At-Tahrim: 6)

Imam al-Tabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa menjaga keluarga dari neraka berarti mendidik mereka dengan adab Islam, mengajarkan ilmu, dan membimbing mereka menjauhi maksiat. Ayat ini menjadi bukti nyata bahwa tanggung jawab pendidikan anak berada di pundak orang tua dan itu bukan hal instan.

Bahkan Nabi Nuh ‘alaihissalam, seorang nabi besar yang berdakwah ratusan tahun, diuji dengan anak yang membangkang. Ini menjadi pelajaran penting: bahwa tak ada jaminan anak akan otomatis saleh hanya karena orang tuanya saleh. Apalagi jika orang tua tidak melakukan proses pendidikan secara serius.

Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Fitrah dalam hadis ini berarti potensi dasar kebaikan dan keimanan. Namun, potensi itu bisa berubah arah tergantung bagaimana orang tua mendidiknya. Ini menunjukkan bahwa anak saleh tidak jatuh dari langit, tapi dibentuk melalui pola asuh dan pendidikan yang benar.

Pandangan ini juga diperkuat oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bahwa anak adalah amanah, seperti tanah kosong yang siap ditanami. Bila ditanam dengan nilai-nilai kebaikan dan tauhid, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang saleh. Tapi bila dibiarkan tanpa pendidikan, maka setan akan mengambil alih proses pembentukannya.

Mari kita perhatikan bagaimana Nabi Ibrahim mendidik Ismail. Ketika Allah memerintahkannya untuk menyembelih anaknya sendiri, Ibrahim tidak serta-merta melakukannya tanpa dialog. Ia terlebih dahulu mengajak Ismail berdiskusi:

“Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Ismail menjawab dengan penuh ketaatan dan keyakinan:

“Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Dialog ini menunjukkan bahwa Ismail bukan hanya anak yang taat, tapi juga matang secara spiritual. Dan itu semua adalah hasil dari proses tarbiyah yang panjang dan mendalam, bukan karena dia “kebetulan” anak nabi.

Tarbiyah bukan hanya tugas di dalam rumah. Lingkungan juga memainkan peran penting. Ulama salaf seperti Imam Ibnul Qayyim dalam Tuhfah al-Mawdud menekankan pentingnya memilih lingkungan, sekolah, dan teman-teman yang baik untuk anak. Orang tua juga perlu memberi teladan yang konsisten, karena anak lebih banyak meniru daripada mendengar ceramah.

Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan:

“At-tarbiyah bil qudwah, qabla al-maw’idzah”

“Pendidikan dengan keteladanan lebih utama daripada dengan nasihat.”

Artinya, anak akan lebih mudah meniru perbuatan orang tuanya dibandingkan hanya mendengar perintah lisan. Jika orang tua melarang anak berbohong tapi ia sendiri sering berbohong, maka nilai tarbiyah itu tidak akan masuk ke hati anak.

Mendidik anak adalah jalan panjang, penuh liku dan sering kali melelahkan. Tapi di situlah letak keutamaannya. Allah SWT berfirman:

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah dalam melakukannya…” (QS. Thaha: 132)

Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan agama seperti mengajarkan salat memerlukan dua hal: perintah dan kesabaran. Perintah tanpa kesabaran bisa melahirkan pemberontakan. Sebaliknya, kesabaran tanpa arahan akan menjadi pasif.

Menjadikan anak sebagai pribadi yang saleh tidak bisa ditawar-tawar. Ia adalah bentuk investasi terbesar, bahkan melebihi harta dan tahta. Rasulullah SAW bersabda:

“Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Artinya, kesalehan anak adalah satu-satunya “warisan” yang akan terus mengalirkan pahala, tetapi warisan ini hanya bisa diberikan jika sebelumnya telah ditanam melalui tarbiyah yang panjang, konsisten, dan penuh kasih sayang.

Jadi, jika hari ini kita menginginkan anak-anak yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka kita harus mencintai proses mendidik mereka. Karena anak saleh bukanlah warisan, tapi buah dari tarbiyah yang tidak pernah putus.

*Penulis adalah Penyuluh Agama Oslam Kementerian Agama Kota Pontianak

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Komentar
Bagikan:

Iklan