SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Makanan Halal Bersertifikasi: Antara Etika Konsumsi, Regulasi Modern, dan Perspektif Islam

Makanan Halal Bersertifikasi: Antara Etika Konsumsi, Regulasi Modern, dan Perspektif Islam

Fakhurrazi Al Kadrie

Oleh: Fakhurrazi Al Kadrie S.HI, M.Pd

‎Dalam lanskap konsumsi global yang semakin kompleks, pertanyaan tentang kehalalan makanan tidak lagi sekadar urusan dapur atau tradisi keluarga. Ia telah menjelma menjadi isu multidimensi yang menyentuh aspek teologis, etis, ekonomi, bahkan geopolitik. Di tengah arus globalisasi dan industrialisasi pangan, sertifikasi halal menjadi instrumen penting dalam menjaga integritas konsumsi umat Islam. Namun, apakah cukup hanya mengandalkan label halal sebagai jaminan spiritual dan etis? Di sinilah pentingnya refleksi mendalam dari perspektif Islam.

‎Dalam Islam, halal bukan sekadar status hukum. Ia adalah ekspresi dari ketaatan, kesucian, dan tanggung jawab moral. Allah SWT berfirman:

‎”Wahai sekalian manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik (QS. Al-Baqarah: 168)

‎Ayat ini menegaskan bahwa halal harus beriringan dengan tayyib baik secara zat, proses, dan dampaknya. Maka, makanan halal bukan hanya bebas dari unsur haram, tetapi juga harus diproduksi dengan cara yang etis, bersih, dan tidak merugikan makhluk lain.

‎Di Indonesia, sertifikasi halal kini menjadi kewajiban hukum melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama LPPOM MUI dan lembaga pemeriksa halal lainnya bertugas memastikan bahwa produk yang beredar telah melalui proses audit dan verifikasi yang ketat.

‎Namun, tantangan muncul ketika sertifikasi halal dipandang semata sebagai formalitas administratif. Padahal, dalam perspektif Islam, proses sertifikasi harus mencerminkan amanah dan maslahah yakni menjaga kemaslahatan umat dan kepercayaan publik. Sertifikasi halal bukan hanya tentang stempel, tetapi tentang transparansi, akuntabilitas, dan niat yang lurus.

‎Di tengah dominasi industri makanan global, produk halal menjadi simbol identitas sekaligus bentuk resistensi terhadap sistem konsumsi yang seringkali eksploitatif. Konsumen Muslim kini tidak hanya menuntut kehalalan bahan, tetapi juga keadilan dalam rantai produksi dari kesejahteraan pekerja, keberlanjutan lingkungan, hingga etika bisnis.

‎Dalam konteks ini, dakwah halal menjadi bagian dari dakwah sosial. Penyuluh agama Islam memiliki peran strategis untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilih makanan halal yang tidak hanya sah secara syariat, tetapi juga berkontribusi pada keadilan sosial dan keberlanjutan.

‎Makanan halal bersertifikasi bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk menuju kesadaran konsumsi yang Qur’ani. Ia mengajak umat Islam untuk tidak hanya bertanya “Apakah ini halal?” tetapi juga “Apakah ini baik?”, “Siapa yang diuntungkan atau dirugikan?”, dan “Apakah ini mendekatkan kita kepada Allah?”

‎Sebagai penyuluh agama, tugas kita bukan hanya menyampaikan hukum, tetapi juga membangkitkan kesadaran. Karena di balik setiap suapan, ada pilihan moral, ada nilai spiritual, dan ada jejak dakwah yang bisa mengubah cara umat memandang dunia.

‎*Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kota Pontianak 

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

 

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan