Sekulerisasi Pendidikan dalam Sekolah Ramah HAM
Oleh: Hanuri Sakarti, M.Pd
PENDIDIKAN adalah satu dari sekian banyak kebutuhan mendasar manusia, selain papan, pangan, sandang, keamanan dan kesehatan. Karenanya, negara wajib memastikan masyarakatnya mampu mengakses pendidikan yang berkualitas dengan mudah. Tetapi, fakta di lapangan saat ini berkata sebaliknya. Sistem pendidikan yang ada di Indonesia tidak melahirkan generasi yang berkarakter. Jamak ditemui pelajar-pelajar dengan moral yang bobrok, entah penggiat seks bebas sejak dini, pecandu narkoba, pelaku perundungan, aktivis LGBT, dan lain sebagainya.
Sekolah Ramah HAM, Efektifkah?
Munculnya inisiatif Sekolah Ramah HAM (SRHAM) yang digagas Komnas HAM pada dasarnya merupakan sebuah pengakuan tersirat atas kerapuhan sistem pendidikan yang ada saat ini. Ketika para pendidik bahkan memerlukan pelatihan khusus untuk menanamkan nilai-nilai fundamental seperti anti-diskriminasi, toleransi, dan metode penanganan perundungan, ini menjadi sinyal yang sangat jelas. Sinyal bahwa kurikulum dan ekosistem sekolah secara umum telah gagal melahirkan generasi berkarakter luhur secara organik dari dalam sistem itu sendiri. Hal-hal yang menjadi tujuan akhir dari pendidikan, ternyata tidak mampu dihasilkan dari sistem saat ini.
Akibatnya, program SRHAM ini berisiko hanya berfungsi sebagai “pemadam kebakaran”. Ia hadir sebagai sebuah respons reaktif untuk meredam gejala-gejala persoalan sosial yang sudah terlanjur meluas di kalangan pelajar. Meskipun tujuannya mulia, inisiatif semacam ini tidak akan benar-benar efektif karena tidak menyentuh sumber masalahnya, yaitu kegagalan sistemis yang menuntut perombakan mendasar, bukan sekadar penambahan program yang sifatnya sementara.
Krisis Pendidikan di Bawah Dominasi Ideologi Kapitalisme-Sekuler
Segala permasalahan pendidikan saat ini berasal dari satu problem utama, yaitu dominasi ideologi kapitalisme-sekuler. Dalam tatanan ini, institusi fundamental seperti pendidikan mengalami pergeseran tujuan yang sangat drastis. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai sarana untuk membangun manusia yang utuh (dalam hal karakter, tentu saja), melainkan tereduksi menjadi sekadar mesin untuk mencetak sumber daya manusia yang bisa dieksploitasi. Fokus utamanya adalah menghasilkan individu yang siap dan terampil untuk melayani kebutuhan pasar, sementara aspek esensial seperti pembentukan kepribadian dan penanaman akhlak mulia secara sistematis dikesampingkan.
Akibat dari pengabaian pembentukan karakter ini adalah munculnya sebuah kekosongan spiritual yang menganga di dalam diri generasi muda. Ruang hampa ini tidak dibiarkan kosong, melainkan secara agresif diisi oleh nilai-nilai turunan liberalisme, seperti gagasan kebebasan tanpa batas dan gaya hidup hedonisme. Nilai-nilai ini disebarkan secara masif dan tanpa filter melalui kemajuan teknologi, meresap ke dalam kesadaran kolektif dan membentuk standar baru tentang apa yang dianggap sebagai keberhasilan dan kebahagiaan. Standar yang mengikuti aturan sistem kapitalisme, bahwa berhasil dan bahagia tolok ukurnya adalah materi.
Dalam konteks inilah kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) seringkali diajukan sebagai solusi etis. Lahir dari rahim pemikiran humanisme-sekuler, HAM menawarkan seperangkat aturan untuk mengatur interaksi sosial berdasarkan martabat dan kesetaraan manusia. Namun sejatinya, HAM tidaklah mengisi kekosongan spiritual tersebut. Ia hanya menyediakan sebuah etika horizontal (hubungan antarmanusia) tanpa menyentuh dimensi vertikal (hubungan dengan Tuhan). Dengan tolok ukur yang berpusat pada manusia, bukan pada standar pahala-dosa, HAM menjadi penawar sekuler yang bisa jadi hanya mengatur ekspresi materialisme agar lebih “beradab”, tanpa mengubah orientasi dasarnya.
Maka, wajar jika hasil akhir dari proses panjang ini adalah lahirnya individu-individu yang egosentris dan materialistis. Pola pikir mereka terbentuk untuk memandang segala sesuatu, termasuk interaksi sosial antarmanusia, dari kacamata untung-rugi semata. Relasi tidak lagi dibangun atas dasar empati, ketulusan, atau nilai luhur, melainkan atas dasar kalkulasi manfaat pribadi. Perspektif moral dan spiritual yang membedakan antara pahala dan dosa telah terkikis, digantikan oleh logika transaksional yang dingin dan pragmatis, yang bahkan dapat berlindung di balik dalih hak dan kebebasan individu.
Pendidikan Berbasis Aqidah: Solusi Fundamental atas Krisis Sekuler
Sebagai sebuah antitesis dari sistem sekuler, Islam menawarkan solusi pendidikan yang bersifat fundamental dengan meletakkan landasan utamanya pada aqidah Islam. Dalam kerangka ini, pendidikan bukanlah sekadar proses transfer ilmu pengetahuan, melainkan sebuah upaya sadar untuk membentuk pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) setiap individu sesuai dengan ajaran Islam. Tujuan tertingginya adalah melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) yang utuh, di mana setiap ilmu pengetahuan, baik itu sains, teknologi, maupun sosial, dipandang dan dipelajari sebagai cara untuk memahami kebesaran Allah SWT dan memperkuat keimanan.
Penyelenggaraan sistem pendidikan yang ideal ini tidak dapat berjalan secara individual atau parsial, melainkan menuntut peran sentral dari negara. Dalam perspektif ini, negara (Daulah Islamiyah) memiliki tanggung jawab penuh untuk merancang dan menerapkan kurikulum berbasis aqidah secara gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Lebih dari itu, peran negara bersifat proaktif sebagai penjaga ekosistem sosial. Negara wajib menyaring dan mengontrol arus informasi, media, dan teknologi untuk memastikan tidak ada konten yang merusak atau bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang sinergis antara pendidikan di sekolah, di rumah, dan di tengah masyarakat.
Hasil akhir dari sinergi antara kurikulum yang lurus dan lingkungan yang terjaga adalah terbentuknya kesadaran internal pada setiap individu yang berlandaskan takwa. Penghormatan terhadap hak-hak sesama manusia, kejujuran, amanah, dan akhlak mulia lainnya tidak lagi muncul karena paksaan aturan eksternal seperti undang-undang atau sekadar citra sosial. Sebaliknya, semua itu menjadi manifestasi dari keimanan dan keyakinan bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Inilah solusi preventif yang sesungguhnya, di mana individu dan masyarakat terjaga dari dalam oleh benteng takwa, bukan oleh seminar dan pelatihan sesaat yang sering kali tidak menyentuh akar persoalan.
*Penulis adalah Praktisi Pendidikan di Ketapang, Kalimantan Barat
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





