SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Beking Tambang Ilegal: Wajah Buram Penegakan Hukum

Beking Tambang Ilegal: Wajah Buram Penegakan Hukum

Oleh: Agnes Laura Shofa, S.Pd

KETIKA rakyat semakin berharap pada keadilan, justru muncul pertanyaan besar: benarkah hukum ditegakkan setara untuk semua, atau hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Penangkapan MRN oleh Polda Kalbar pada Minggu (18/05/2025) Mei lalu memunculkan aroma tak sedap di tengah masyarakat. Publik mencurigai adanya keterlibatan sejumlah nama besar dalam aktivitas tambang emas ilegal tersebut. Hingga kini, nama-nama seperti ibu Y, Letkol JA, dan Kolonel AM belum memberikan klarifikasi atas dugaan keterlibatan mereka. Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Kalbar pun mendesak Divisi Propam Polda Kalbar untuk menyelidiki dugaan penyimpangan dalam penanganan barang bukti yang berpotensi mengarah pada praktik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Jika hal ini tidak ditangani secara serius dan transparan, maka bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap penegakan hukum akan benar-benar runtuh.

Kasus tambang emas ilegal di Kalimantan Barat seakan menjadi benang kusut yang tak kunjung terurai. Alih-alih tuntas, justru muncul berbagai versi baru yang memperumit penyelesaiannya. Terungkap pula bahwa aktivitas penambangan liar ini bisa berjalan mulus karena diduga dibekingi oleh oknum aparat. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan bentuk pencurian terhadap kekayaan negara yang semestinya dikelola demi kepentingan rakyat. Dampaknya pun sangat luas, dari kerugian negara hingga kerusakan lingkungan dan penderitaan sosial masyarakat sekitar tambang. Jika saja kekayaan alam ini dikelola negara secara amanah, hasilnya bisa digunakan untuk pembiayaan pendidikan gratis, pembangunan infrastruktur, serta penciptaan lapangan kerja bagi rakyat.

Sayangnya, sistem ekonomi kapitalisme yang dianut negeri ini justru membuka pintu lebar-lebar bagi individu atau korporasi untuk menguasai sumber daya alam secara bebas. Dalam sistem ini, tambang emas diperlakukan sebagai komoditas yang bisa dimiliki pribadi atau swasta, bukan sebagai milik rakyat yang harus dikelola negara demi kemaslahatan bersama. Pemerintah hanya fokus pada siapa yang bisa berinvestasi, bukan pada siapa yang berhak menikmati hasilnya. Inilah akar dari sengkarut pengelolaan tambang: sistem ekonomi kapitalisme liberal yang melegalkan privatisasi kekayaan alam.

Berbeda halnya dengan Islam, yang memiliki konsep kepemilikan yang jelas dan adil. Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Islam terdapat tiga jenis kepemilikan: individu, negara, dan umum. Tambang emas yang jumlah depositnya besar termasuk dalam kategori milik umum, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi Muhammad saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Berdasarkan kaidah ini, semua barang tambang yang menjadi hajat hidup orang banyak, seperti emas, perak, nikel, dan sejenisnya tidak boleh dimiliki oleh individu, swasta, apalagi asing.

Oleh karena itu, dalam sistem Islam, negara wajib mengelola tambang dan mendistribusikan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat. Kepemilikan umum tidak boleh diserahkan kepada segelintir orang yang mencari keuntungan pribadi, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Negara harus hadir sebagai pengelola sekaligus pelindung, memastikan sumber daya alam digunakan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bukan segelintir elite atau pemodal besar. Sudah saatnya kita berpikir ulang: sistem apa yang benar-benar mampu menjaga amanah kekayaan negeri ini dan menjamin kesejahteraan rakyat? Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan