Hutan Gundul, Emas Berdarah, dan Kapitalisme yang Merusak
Oleh: Agustin Pratiwi
“Di balik kilau emas, tersembunyi jejak air mata bumi dan masyarakat kecil yang kian terpinggirkan.”
Hamparan hutan Kalimantan Barat tak lagi setebal dulu. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, lebih dari 261.000 hektare hutan hilang, sebagian besar karena ekspansi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Hilangnya kawasan hutan tidak hanya mengancam satwa endemik seperti orangutan Kalimantan, tetapi juga memicu krisis lingkungan yang semakin tak terbendung dari deforestasi, pencemaran air, hingga pemanasan global (growmedia-indo.com).
Namun, itu baru satu sisi dari luka yang menganga. Di balik pohon-pohon yang tumbang, tersimpan kisah getir tentang aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang kian marak. Gunung dan sungai digerus tanpa ampun, tanah digali tanpa standar, dan manusia pun rela mempertaruhkan nyawa demi sebutir logam mulia.
Ironisnya, aktivitas PETI ini sering kali diketahui dan “dimaklumi” oleh pihak-pihak berwenang. Dr. Herman Hofi Munawar, dosen hukum dari Universitas Panca Bhakti, secara tegas mengkritik sikap pasif pemerintah daerah dan aparat hukum. Menurutnya, pembiaran terhadap PETI mencerminkan inkonsistensi pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan (targetnews.id).
Padahal, UU No. 3 Tahun 2020 sudah sangat jelas: tidak hanya pelaku tambang ilegal, tetapi juga penampung, pembeli, dan pedagang emas hasil tambang ilegal dapat dipidana hingga lima tahun penjara. Tapi di lapangan, praktik jual beli emas ilegal berlangsung terang-terangan, seolah aturan itu hanya tulisan mati di atas kertas.
Lebih mengkhawatirkan lagi, aktivitas PETI bukan sekadar perusakan alam—tapi juga menyulut konflik horizontal di masyarakat. Persaingan antarpenambang, sengketa lahan, hingga bentrok dengan warga kerap terjadi. Semua ini menunjukkan bahwa PETI bukan hanya masalah hukum atau lingkungan, tapi juga cermin dari keputusasaan ekonomi masyarakat.
Masyarakat menggantungkan hidupnya dari menambang emas ilegal karena tidak ada pilihan lain.
Negara gagal menciptakan lapangan kerja yang layak, dan rakyat pun terpaksa menjual tenaganya dengan taruhan nyawa demi sesuap nasi. Inilah potret buram sistem yang kita jalani saat ini: kapitalisme.
Kapitalisme melihat alam sebagai komoditas, rakyat sebagai angka statistik, dan hukum sebagai alat melindungi kepentingan pemodal. Pemerintah, alih-alih menjadi pelindung rakyat, justru kerap berpihak pada cukong tambang yang mempertebal kantong pejabat lewat upeti tak resmi. Maka, kerusakan lingkungan dan konflik sosial bukanlah kecelakaan sistem, melainkan hasil logis dari sistem yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama.
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang destruktif, Islam sebagai sistem hidup menghadirkan solusi yang menyeluruh dan manusiawi. Dalam Islam, sumber daya alam seperti hutan dan tambang dengan deposit besar termasuk dalam kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) yang haram dimiliki individu atau swasta, baik lokal maupun asing.
Negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah, bertanggung jawab penuh mengelola tambang dengan teknologi aman, ramah lingkungan, dan profesional, bukan sembarangan seperti PETI. Hasil tambang dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan subsidi kebutuhan pokok.
Lebih dari itu, Khilafah juga membuka lapangan kerja yang luas bagi masyarakat agar mereka tidak perlu menempuh jalan ekstrem seperti PETI. Dengan dorongan iman aparatur penegaknya, negara bukan hanya menyediakan pekerjaan, tapi juga menjaga kehormatan dan keselamatan rakyatnya, serta memastikan bahwa pembangunan benar-benar berpihak pada kehidupan, bukan kematian.
Dengan pengelolaan tambang dan hutan yang adil, negara Islam mencegah konflik sosial, melindungi keanekaragaman hayati, dan merawat bumi sebagai amanah dari Sang Pencipta. Maka jelas, hanya dengan keluar dari sistem kapitalisme dan kembali kepada Islam sebagai ideologi, lingkungan bisa diselamatkan, ekonomi rakyat dapat diperkuat, dan keadilan benar-benar ditegakkan.
Karena emas tak seharusnya membuat manusia buta. Tapi kapitalisme, dengan kilau semunya, telah lama membuat kita lupa: bahwa bumi ini bukan warisan untuk dijual, tapi titipan yang harus dijaga.
*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





