SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Kepemimpinan di Tengah Krisis: Antara Tindakan Nyata dan Pencitraan pada Bencana Banjir di Sumatera

Kepemimpinan di Tengah Krisis: Antara Tindakan Nyata dan Pencitraan pada Bencana Banjir di Sumatera

Oleh: Muhammad Alfin Syaghaf Hidayat dan Venessa Rizki Azhari

Bencana alam banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera akhir-akhir ini menimbulkan dampak besar. Tidak hanya bagi para korban langsung, tetapi juga bagi citra kepemimpinan di Indonesia. Dalam situasi krisis seperti ini, masyarakat mengharapkan figur pemimpin yang tidak sekadar hadir untuk berpose, melainkan mampu mengambil tindakan nyata yang efektif dan berkelanjutan demi pemulihan dan keselamatan warga terdampak.

Sayangnya beberapa kali momentum kemanusiaan ini menjadi ajang bagi beberapa tokoh publik untuk menampilkan aksinya lebih sebagai pencitraan daripada pelayanan tulus. Salah satu kasus yang mencuri perhatian luas terjadi saat kunjungan Zulkifli Hasan, Menteri koordinator bidang Pangan dan juga Verrel Bramasta, anggota DPR RI komisi X ke lokasi terdampak banjir bandang di Sumatera Barat pada awal Desember 2025. Kunjungan ini ramai diberitakan media dan menjadi buah bibir di media sosial, yang membuat respons publik terbagi antara apresiasi dan kritik pedas.

Menurut laporan dari akun Instagram @zul.hasan dan @bramastavrl, keduanya tampak melakukan kunjungan singkat yang meliputi pembagian sembako dan berinteraksi dengan warga korban banjir bandang. Kegiatan ini disiarkan secara langsung di berbagai kanal sosial media, terutama Instagram dan TikTok yang langsung mendapat ribuan komentar. Namun ada tanda tanya besar soal dampak konkret dari kunjungan tersebut, apakah benar-benar membawa perubahan signifikan atau hanya kegiatan simbolis yang berorientasi membangun citra.

Dalam postingannya ketika berkunjung ke kediaman salah satu warga, Zulkifli Hasan membawa sekarung beras untuk dibagikan yang oleh netizen dinilai tak sesuai dengan tugas utamanya dan membantu membersihkan rumah warga yang terdampak. Sontak hal tersebut memicu perdebatan dari netizen yang menilai bahwa seharusnya, fokus tama Zulkifli hasan yang merupakan Menteri Koordinator pangan adalah untuk memastikan kecukupan pangan/logistik di daerah bencana agar ketersediaan pangan dan bahan pokok utama dapat diperoleh secara cepat oleh masyarakat yang terdampak banjir, bukan malah membantu warga untuk membersihkan tempat tinggalnya karena itu sudah menjadi tugas pokok dari divisi lain. Namun ada juga yang berpendapat bahwa tidak ada salahnya untuk membantu dan menolong sesama warga yang sedang kesusahan untuk proses pemulihan pasca bencana. Seperti pada komentar – komentar netizen di akun Instagram Zulkifli Hasan yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin di saat situasi seperti ini kian menurun seiring dengan semakin terbukanya teknologi.

Sementara itu, dalam video yang diunggah Verrel Bramasta di akun Instagramnya juga tak kala menuai polemik, dimana pada saat kunjungan, Verrel terlihat menggunakan setelan rompi anti peluru yang membuat respon netizen terheran akan maksud dan tujuan verrel mengenakan setelan tersebut sambil membantu warga yang terdampak dengan memberikan bantuan sembako dan memonitor langsung titik titik banjir yang tersebar di beberapa wilayah.

Dikutip dari kolom komentar Instagram Verrel bramasta, “Mau pansos atau apalah kata kalian bodo amat, setidaknya dia sudah terjun ke lapangan membantu mau apa yang dia pake masih normal selayaknya kecuali dia pake stelan jas berdasi baru aneh. Normalisasikan berterimakasih jangan menghujat kalo cuma modal ketikan dan nonton di sosmed” menunjukkan respons masyarakat yang beragam dalam menyikapi aksi yang pemimpin lakukan dalam upaya membantu korban yang terdampak bencana banjir di Sumatera.

Kondisi ini memperlihatkan masalah klasik dalam penanganan bencana di Tanah Air. Publik memang ingin pemimpin yang mau hadir dan membangun rasa aman, tapi jika kehadiran itu hanya sebatas sosok untuk dipandang dan dipublikasikan, maka justru merugikan kepercayaan terhadap kepemimpinan itu sendiri dikarenakan pastinya publik juga ingin tindakan nyata yang dilakukan oleh para pemimpin sebagai suatu amanah yang telah dipercayakan oleh masyarakat untuk dapat dijalankan secara baik, terutama dalam kondisi seperti ini. Dimana banyaknya terjadi penjarahan pada minimarket – minimarket yang menunjukkan kurangnya distribusi pangan yang merata yang mana itu seharusnya merupakan tugas utama dari Zulkifli Hasan selaku Menteri Koordinator Pangan yang sekaligus menunjukkan bahwa kesediaan bahan pangan ketika bencana belum dapat didapatkan secara merata yang menyebabkan terjadinya penjarahan.

Masyarakat saat ini semakin jeli menilai apakah pemimpin benar-benar mampu mengerahkan sumber daya, mengatur bantuan, dan melakukan tindakan nyata di lapangan. Kehadiran yang berfokus pada dokumentasi dan penampilan di media sosial saja tidak cukup, apalagi tanpa tindak lanjut yang dijalankan setelahnya membuat masyarakat semakin ragu akan kapabilitas pemimpin dalam menyikapi suatu hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka.

Bencana di Sumatera mengajarkan kita bahwa kepemimpinan yang tulus dan efektif adalah yang menempatkan hasil nyata sebagai prioritas, meski langkahnya kecil, asal berdampak. Kepemimpinan saat krisis bukan soal popularitas, melainkan keberpihakan pada rakyat lewat langkah-langkah yang jelas dan berkelanjutan.

Masalah pencitraan seperti ini juga bisa melemahkan kepercayaan masyarakat kepada pemimpin dan institusi yang menangani bencana. Ketika warga melihat kunjungan pejabat hanya sebagai formalitas dan tidak membawa perubahan berarti, bisa tumbuh kekecewaan yang menghambat proses pemulihan.

Di era digital sekarang, media sosial punya peranan penting. Bisa jadi alat transparansi sekaligus alat pencitraan. Pemimpin yang bijaksana harus memanfaatkannya untuk menunjukkan hasil kerja nyata, bukan hanya menampilkan gambar-gambar yang mengecoh dan berusaha untuk memperbaiki citranya supaya semakin mendapat dukungan dan simpati dari warga. Idealnya, pemimpin harus bisa menjadi sosok penenang dan memberikan aksi nyata untuk setiap tugas dan tanggung jawab yang mereka pegang untuk kesejahteraan warganya, dan menjalankan tugas dengan jujur, adil, dan transparan sehingga kejadian seperti bencana banjir di Sumatera tidak terulang.

Kepemimpinan tidak seharusnya menjadi tontonan semata dalam masa sulit, melainkan ladang pengabdian yang bertanggung jawab. Indonesia butuh pemimpin yang benar-benar mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat, di atas segala kepentingan pribadi dan politik.

Kasus banjir bandang di Sumatera harus jadi pengingat bagi para elit politik dan pendorong untuk introspeksi. Pemimpin boleh untuk menggunakan media sosial sebagai alat untuk memberikan informasi bagi masyarakat, tetapi tetap harus diiringi dengan langkah bijak untuk setiap tindakan agar lebih bermanfaat dan tidak menuai pro dan kontra untuk kedepannya.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Komentar
Bagikan:

Iklan