Opini  

Ibu Kota Negara Nusantara dalam Model Investor Driven Bukan Prioritas

Oleh: Sulaiman,S.Sos.,M.Si

Gagasan pemindahan ibu kota negara Republik Indonesia bukanlah perkara yang sama sekali baru. Sejak kepemimpinan Soekarno (1957), Soeharto (1997), hingga Susilo Bambang Yudhoyono (2010) ide memindahkan pusat pemerintahan keluar dari Jakarta selalu muncul dan senantiasa berdalih sebagai nawacita, meskipun akhirnya menguap sebagai gugusan wacana. Soekarno sempat melirik Palangkaraya. Soeharto condong ke Jonggol. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono menganggap Palembang sebagai lokus ideal pengganti DKI Jakarta. Namun beberapa pergolakan dan teralihkannya fokus pemerintah kala itu akhirnya ide pemindahan ibu kota negara tidak kunjung terlaksana.

Jakarta adalah metafora Indonesia. Sebagai simbol, kota yang sebelumnya dikenal sebagai Batavia seolah-olah menjadi akar tunggang bagi bangsa Indonesia. Peristiwa-peristiwa historis yang signifikan terjadi di sudut-sudut ruang kota warisan kolonial itu. Jakarta menjadi saksi berbagai moment bersejarah, yang paling monumental adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Setelah merdeka, Jakarta menyandang status istimewa yang secara de facto (1961) menjadi ibu kota negara Indonesia dan secara de jure (1964) keistimewaan Jakarta diperkuat secara konstitusional (Wirachmi, 2022). Pendek kata, Jakarta memiliki banyak sekali keistimewaan yang nyaris mustahil digantikan oleh kota-kota lain di Indonesia. Kendati demikian, bukan berarti Jakarta luput dari pelbagai cela. Dewasa ini, beban demografi yang ditanggung Jakarta tidak lagi ringan. Faktor utama pemicu lahirnya masalah multikompleks ibu kota adalah jumlah penduduk yang padat. Hal tersebut mengakibatkan ketimpangan dalam berbagai aspek (Ridho, 2020). Selain itu, bencana banjir, krisis air bersih, penurunan tanah, kemacetan, menjadi daftar permasalahan pelik dan senantiasa menghantui masyakarat Jakarta dewasa ini (Suciatiningrum, 2019). Berangkat dari dinamika tersebut, Jokowi membuat kebijakan mengenai pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan dengan harapan dapat menjadi jawaban dari berbagai permasalahan rutin penduduk ibu kota sekaligus Negara.

Di era pemerintahan Jokowi pemindahan ibu kota negara kembali muncul dan tampak akan benar-benar terealisasi. Jokowi mencanangkan kota baru pengganti DKI Jakarta dan secara resmi menetapkan pesisir timur Kalimantan sebagai pusat pemerintahan baru yang diberi nama Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara (Puspita, 2022). Di tengah krisis pandemi kemarin, Jokowi melakukan sebuah ritual yang kemudian dikenal sebagai “Ritual Kendi Nusantara”. Beberapa pihak menilainya sebagai ambisi pemerintah yang terkesan buru-buru. Dalam hal itu Jokowi dianggap terobsesi untuk meninggalkan sebuah legasi di balik proyek pembangunan IKN Nusantara, untuk menyetarakan dirinya dengan sosok seperti Soekarno dengan GBK, Istiqlal, dan Monas atau Soeharto dengan TMII yang kemudian dapat dikenang oleh generasi-generasi selanjutnya.

Dalam sebuah prosesi yang diberi tajuk “Penyatuan Tanah dan Air Nusantara” Presiden Jokowi bersama beberapa menteri kabinet serta gubernur seluruh Indonesia berkumpul di Titik Nol IKN Nusantara guna menyatukan tanah dan air yang diambil dari setiap daerah ke dalam sebuah kendi berukuran jumbo. Ritual yang kental dengan nuansa etnik sekaligus mistik Jawa menandai dimulainya proyek strategis pembangunan IKN Nusantara. Heru Budi Hartono, Kepala Sekretriat Kepresidenan, menyebut “Ritual Kendi Nusantara” merupakan simbolisasi dari kebhinekaan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Ritual yang melibatkan seluruh gubernur tersebut sarat dengan simbol-simbol kultural dan kebangsaan yang kelak akan diakomodir dalam rancang arsitektur bangunan IKN Nusantara. Dalam prosesi, pembangunan awal IKN Nusantara ditandai dengan penyatuan tanah dan air yang diambil khusus dari tempat-tempat sakral di masing-masing daerah. Kedua komponen tersebut lalu disatukan ke dalam kendi besar yang kemudian disebut dengan Kendi Nusantara. Kendi Nusantara adalah simbol. Berkaitan dengan rekayasa simbolisasi, ritual tersebut menyiratkan maksud tertentu yang hendak dicapai oleh kreatornya, terutama melalui eksistensi Kendi Nusantara. Dalam sambutannya, Jokowi menyebut ritual kendi sebagai bentuk kebhinekaan dan wujud persatuan Indonesia. Kendi di lain pihak dimaknai sebagai periuk yang mewadahi seluruh wilayah Nusantara yang terbentang dari Aceh hingga Papua. Elemen berupa tanah dan air dari berbagai provinsi merepresentasikan kode (leksia) kultural dari penanda primordial yang menjadi citra keberagaman dan kearifan lokal dengan ciri khas masing-masing. Pemaknaan tersebut tentunya belum mencakup seluruh “makna” yang dalam prosesi ritual, karena sifatnya masih material. Sedangkan makna yang sesungguhnya masih “tersimpan” di balik simbol-simbol.

Dalam sistem konotasi, penting untuk menganalisis lebih jauh mengenai makna di balik suatu tanda. Aspek material tanda galibnya akan terlihat lebih dulu sementara makna inti yang tersirat di balik fenomena harus dicari, diusut, dan dipecahkan laiknya sebuah teka-teki. Tataran tanda materia atau tingkat pertama bersifat terindera dan referensial. Sementara untuk mengetahui makna yang abstrak tersembunyi di balik prosesi, wacana-wacana mengenai ritual Kendi Nusantara sebagai objek kajian ini patut untuk disertakan sebagai analisis lebih lanjut.

Pemindahan Ibukota Negara ( IKN) Nusantara dianggap sudah final sejak disyahkan sebagai Undang Undang (UU). Artinya secara normatif hukum sudah dianggap sah. Capres dan Cawapres yang sedang berkontestasi hari ini dapat dikatakan memegang komitmen ini, kecuali pasangan Anies-Muhaimin. Pasangan Anies- Muhaimin lebih memilih untuk mengembangkan pertumbuhan kota kota yang sudah ada ketimbang membangun IKN.

Berangkat dari asumsi bahwa IKN telah mendapat pengesahan secara hukum maka kemungkinan besar pembangunanya akan terus dilanjutkan. Argumentasi untuk melegitimasinya dapat saja disebut sebagai upaya untuk menumbuhkan pusat pertumbuhan ekonomi baru, untuk mengalihkan masalah demografi di Jakarta dan lain lain.

Melihat konsep pembiayaan pembangunanya, APBN akan dialokasikan untuk mendorong dilakukanya pembangunan infrastruktur fisik terutama fasilitas kantor pemerintahan dan pendukungnya secara multi tahun. Sedangkan fasilitas lainya diharapkan berasal dari investor. Dari segi konsepnya, dan melihat cekaknya anggaran pembangunan IKN dari sumber dana APBN maka satu satunya yang diharapkan memang lebih banyak dari investor. Sehingga secara konsep dapat dikatakan pembangunan IKN ini menggunakan konsep investor-driven, atau digerakkan oleh investor.

Dalam model pengembangan IKN berbasis investor-driven ini tentu pada akhirnya kapling tanah, juga penguasaan dari fasilitas penunjangnya akan berada dalam penguasaan para investor. Itu artinya platform bisnis yang dikembangkan sebagai sebuah ibukota akan berada dalam cengkeram investor. Logika sederhananya adalah, apa yang tidak kamu miliki maka tidak mungkin dapat kamu kendalikan.

Rakyat banyak, warga jelata Kalimantan atau Indonesia pada umumnya tentu hanya akan dalam posisi sebagai penonton terhadap proses pembangunanya. Atau hanya akan menjadi obyek dari pembangunan. Bangunan bangunan megah dan bisnis yang ada tidak akan beda jauh dengan yang ada di Jakarta. Berada dalam cengkeram elit kaya. Malahan tentu akan menjadi lebih buruk karena hanya akan berupa kota seperti halnya kawasan Tamrin dan Sudirman di Jakarta. Konsep kota model investor-driven ini akan muncul sebagai sebuah menara gading baru bagi tumbuhnya hegemoni elit kaya terhadap rakyat kebanyakan. Hari ini, rakyat dewasa Indonesia itu 83 persennya adalah mereka yang hanya memiliki kekayaan sebesar 150 juta rupiah ke bawah. Mereka yang memiliki kekayaan di atas 1,5 milyard adalah hanya 1,1 persen (Suissie Credit Institute, 2021). Menurut Oxfarm gambaran kesenjanganya juga sungguh ekstrim. Dari 4 anggota keluarga konglomerat Indonesia saja, kekayaanya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin.

Melihat angka di atas artinya mereka yang memiliki kemampuan investasi dan kemungkinan untuk menguasai Ibukota secara ekonomi politik kelak adalah jatuh kepada segelintir konglomerat dan tentu investor asing, jika ada yang tertarik. Investor yang tertarik untuk berinvestasi tentu karena insentif bisnis. Mereka akan mau berinvestasi jika mendatangkan keuntungan. Tidak ada sebuah makan siang yang gratis.

Berangkat dari argumentasi di atas maka IKN tentu akan menjadi kota yang dibangun dengan kemegahan istana dan sebuah infrastruktur yang akan mengaleniasi warga setempat, warga Indonesia pada umumnya, rakyat yang tak berkemampuan berinvestasi. Ibukota baru ini akan menjadi semacam sebuah bangunan besar perbudakan baru dari elit konglomerat dan investor asing kaya raya karena seluruh bisnis yang dikembangkan akan berada dalam cengkeram mereka. Ini artinya Ibukota yang akan menjadi pusat aktifitas politik menjadi berada dalam kuasa elit oligarki, elit plutokrat.

People-Driven

Konsep pembangunan IKN itu sesunguhnya masih dapat dibangun dengan alternatif baru. Namanya adalah people-driven atau konsep yang digerakkan oleh rakyat. Sebuah konsep pembangunan yang didasarkan pada penempatan orang banyak, rakyat sebagai pemegang kuasa atas wilayah baru tersebut sebagai subyek, bukan sebagai obyek pembangunan.

Konsep People-driven ini tentu berbeda cara dengan konsep investor-driven. Kota IKN dalam konsep people-driven harus berada dalam kendali rakyat banyak bukan segelintir investor. Utamanya adalah rakyat Kalimantan. Mereka semestinya awalnya diajak bicara, dan diberikan prioritas untuk mengembangkan kota tersebut. Proses pembangunan IKN berbasis people-driven pertama tama yang perlu dilakukan adalah melakukan pembebasan tanah tersebut dari para penguasa lahan oleh pemerintah. Bukan justru sebaliknya, kuasa tanah di atasnya diberikan kepada investor. Dari setiap proses pembangunan, tanah milik nenek moyang rakyat Kalimantan itu harus dikembangkan sebagai bentuk modalitas dari rakyat. Siapapun investor yang masuk harus libatkan masyarakat setempat. Saham saham bisnis yang ada dikerjasamakan dengan kelembagaan demokratis milik rakyat. Lahan dikuasai oleh rakyat melalui kepemilikan bersama secara drmokratis melalui koperasi. Lalu oleh masyarakat melalui koperasi dibangun pusat pusat bisnis dan termasuk berbagai fasilitas yang ada kecuali fasilitas publik seperti kantor pemerintah, jembatan, dan fasilitas umum lainya.

Model konsep pembangunan IKN berbasis people-driven ini merupakan gambaran kota ideal yang memungkinkan semua orang tumbuh bersama membangun sebuah kota. Menjadikanya sebagai sebuah kota yang tidak hanya layak secara kemanusiaan namun juga secara ramah lingkungan. Konsep people-driven ini juga mengacu pada konsep Konstitusi pasal 1 ayat 2 yang jelas dan terang tempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas negara ini. Selain tentu konsep demokrasi ekonomi sebagaimana menjadi mandat dari pasal 33 UUD 1945.

*Penulis adalah Peneliti Kebijakan Publik dan Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS