SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Alarm Ekologi Nusantara: Dari Sumatera Hingga Khatulistiwa

Alarm Ekologi Nusantara: Dari Sumatera Hingga Khatulistiwa

Ilustrasi

Oleh: Agustin Pratiwi

BANJIR dahsyat yang melanda Aceh dan beberapa wilayah Sumatera lainnya bukan sekadar musibah lokal, ia adalah alarm keras tentang kerusakan ekologis yang telah mencapai titik mengkhawatirkan. Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang meyakini kerugian materiel sebab banjir diperkirakan melampaui Rp200 triliun (antaranews.com 3/12/2025), sementara laporan BNPB per 6 Desember 2025 telah mencatat 914 korban jiwa (kompas.com 6/12/2025). Angka tersebut mencerminkan betapa besarnya dampak bencana hidrometeorologi. Situasi ini menunjukkan betapa rapuhnya bentang alam ketika hutan hilang, tata ruang kacau, dan ekosistem kehilangan daya tahannya.

Kalimantan Barat yang selama ini dikenal sebagai salah satu paru-paru Nusantara kini juga menghadapi ancaman ekologis yang serupa. Dalam dua dekade terakhir, provinsi Kalbar telah kehilangan lebih dari 61 persen tutupan hutannya, sebuah situasi yang semakin diperjelas oleh citra satelit Global Forest Watch yang mencatat sekitar 4,21 juta hektare tree-cover loss pada periode 2001–2024 (halokalbar.com 22/9/2025), ini menunjukkan betapa cepat dan masifnya degradasi hutan yang terjadi. Kondisi ini diperburuk oleh fakta bahwa dari sekitar 14 juta hektare wilayah DAS, lebih dari 680 ribu hektare kini berstatus lahan kritis akibat pembukaan hutan besar-besaran, alih fungsi lahan yang tak terkendali, serta pengelolaan ruang yang kerap mengabaikan daya dukung alam (faktakalbar.id 20/10/2025). Kondisi ini menggambarkan betapa rentannya masa depan ekologi Kalimantan Barat jika upaya perbaikan tidak segera dilakukan.

Kerentanan ini sejalan dengan berbagai analisis pakar yang menegaskan bahwa kerusakan ekologis bukanlah kejadian yang muncul begitu saja, melainkan bagian dari pola yang terus berulang. Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM, Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN (Asosiasi Wartawan Internasional), menyebut banjir sebagai “kejahatan ekologis terstruktur”, terlihat dari temuan gelondongan kayu saat banjir Sumatera yang menunjukkan praktik penjarahan hutan oleh mafia kayu dan korporasi bermodal besar dimana semua itu dilakukan di tengah lemahnya pengawasan negara (mabesnews 3/12/2025). Senada dengan hal tersebut, pemerhati kebijakan publik Maiyesni Kusiar juga menegaskan bahwa banjir dahsyat itu merupakan hasil dari kesalahan struktural seperti deforestasi masif, alih fungsi lahan yang dilegalkan atas nama pembangunan, dan tata ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Pandangan ini juga diperkuat oleh pernyataan dari Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU., ia menjelaskan bahwa cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal dan diperparah oleh kerusakan ekosistem hutan di hulu DAS yang menghilangkan benteng alam yang seharusnya bisa meredam curah hujan tinggi. Ia menilai bahwa hilangnya tutupan hutan berarti hilangnya fungsi hidrologis penting seperti intersepsi, infiltrasi, evapotranspirasi, serta pengendalian erosi dan limpasan permukaan hingga memicu erosi masif, longsor, dan akhirnya banjir bandang (kompas.com 2/12/2025).

Dengan demikian, seluruh analisis pakar tersebut saling menguatkan bahwa akar masalah bencana bukanlah soal intensitas hujan, tetapi tentang tata ruang yang sudah menjauh dari prinsip-prinsip ekologi. Ketika jalur air ditutup beton, hutan penyangga diganti tanaman sawit, dan kawasan rawa dialihfungsikan menjadi permukiman, maka banjir bukan lagi peristiwa alam belaka, melainkan konsekuensi dari pilihan kita dalam mengelola lingkungan.

Berbagai langkah untuk memulihkan kondisi lingkungan sejatinya juga telah ditempuh. Di Kalimantan Barat sendiri , program seperti rehabilitasi lahan dan kebun bibit rakyat sudah berjalan dengan melibatkan masyarakat, akademisi, hingga pelaku usaha. Pendekatan ini disinyalir dapat menghantarkan cita tuk memulihkan keseimbangan ekosistem sekaligus membuka jalan bagi ekonomi hijau yang memberi manfaat bagi semua (pontianakpost.jawapos.com 14/11/2024).

Namun, memperbaiki alam tentu tidak bisa hanya dengan terus mengambil langkah yang berkaitan dengan menanam pohon. Bahkan jika ditelisik, masalah sebenarnya jauh lebih dalam. Disamping itu, regulasi dan prosedur mitigasi memang ada, namun efektivitasnya sering terhambat oleh koordinasi antar-lembaga serta sumber daya yang terbatas. Akibatnya, sistem peringatan dini, pengawasan kawasan rawan banjir, dan upaya penanggulangan kerusakan alam tidak berjalan maksimal.

Sejatinya jika ditelusuri lebih dalam. Kerusakan ekologis yang terjadi hari ini tidak bisa dilepaskan dari akar persoalan utama yakni penerapan sistem kapitalisme sekuler, sistem ini hanya menjadikan pembangunan sebagai proyek ekonomi demi pertumbuhan profit. Sistem ini memandang alam sebagai komoditas dan telah memberi ruang luas bagi korporasi untuk menguasai hutan, tambang, dan lahan publik atas nama investasi. Akibatnya, meski pembangunan diklaim untuk masyarakat, justru masyarakatlah yang menjadi korban kerusakan lingkungan.

Disamping itu, sistem kapitalisme mengandung paradigma yang mengagungkan konsep pembangunan liberal dengan kebebasan dalam hal kepemilikan dimana pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator pasar dan bukan sebagai pelindung lingkungan, sehingga berbagai regulasi seperti AMDAL, tata ruang, dan izin lingkungan seolah hanya menjadi formalitas yang mudah diloloskan demi masuknya modal. Tidak heran eksploitasi masif tetap terjadi, sebab hukum begitu tumpul kepada para elit kapital dan korporasi besar yang memiliki akses politik. Inilah yang terlihat dari deforestasi brutal, ekspansi sawit dan HTI masif, tambang yang merusak hulu sungai, hingga gelondongan kayu yang terbawa arus banjir di Sumatra, semuanya mengungkap adanya kejahatan ekologis yang dilegalkan dalam sistem kapitalisme sekuler sebagaimana yang diterapkan saat ini.

Sistem kapitalisme ini telah terbukti melahirkan paradigma pembangunan eksploitatif dimana semakin besar modal masuk, semakin besar pula ruang penguasaan alam dibuka, sementara tanggung jawab atas kerusakan justru dihilangkan melalui skema perizinan, outsourcing pengawasan, ataupun pembiaran struktural. Hal ini menunjukkan bahwa bencana ekologis bukan sekadar kesalahan teknis atau cuaca ekstrem, tetapi buah dari sistem sekuler yang memisahkan kebijakan dari nilai moral dan tanggung jawab kepada Sang Pencipta. Sistem ini hanya menempatkan korporasi sebagai aktor utama pembangunan, rakyat sebagai objek, dan alam sebagai barang dagangan, maka bisa disimpulkan bahwa kerusakan yang terjadi ialah bersifat sistemik dan berulang.

Di sinilah Islam menawarkan solusi yang berbeda secara mendasar. Islam memandang alam sebagai amanah Allah yang harus dijaga dan dipelihara. Dalam kitab An-Nizham Al-Iqtishadi Fil Islam karya Syeikh Taqiyuddin An Nabhani, disebutkan bahwa hutan, air, sungai, dan tambang termasuk kategori milik umum (al-milkiyyah al-‘ammah) yang tidak boleh diprivatisasi. Negara berkewajiban mengelola sumber daya ini demi kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir elite ekonomi. Mekanisme ini menutup pintu bagi praktik privatisasi destruktif yang menjadi akar deforestasi dan kerusakan DAS. Islam juga menetapkan kaidah lā ḍarar wa lā ḍirār, tidak boleh suatu upaya menimbulkan bahaya atau saling mencelakakan yang menjadi batas bagi setiap kebijakan negara. Dengan prinsip ini, negara tidak boleh mengeluarkan izin tambang, perkebunan, atau industri jika aktivitas tersebut terbukti merusak ekosistem atau mengancam kehidupan masyarakat.

Ditambah lagi, solusi Islam juga bersifat sistemik, dimana yang pertama, dari sisi hukum, syariat menetapkan batas yang jelas dalam pemanfaatan alam, melarang eksploitasi berlebihan, monopoli sumber daya, dan kebijakan yang menimbulkan fasād (kerusakan).

Kedua, dari sisi kelembagaan, negara dalam pandangan Islam wajib membentuk struktur pengelolaan kekayaan alam yang ketat dengan pengawasan langsung untuk memastikan hasilnya kembali kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan, penyediaan air bersih, energi, pangan, dan perlindungan lingkungan.

Ketiga, dari sisi kesadaran iman, Islam menanamkan bahwa menjaga alam adalah ibadah dan amanah, dimana setiap pohon yang ditebang sembarangan dan setiap sungai yang dicemari akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Dalam tatanan sistem Islam, akan terlahir karakter yang selalu bersandar pada halal dan haram dalam setiap perbuatan, termasuk dalam mengelola sumber daya alam. Setiap media dan sarana yang ada pun difungsikan untuk menebar edukasi, memupuk keimanan, dan menjaga masyarakat dari tumbuhnya karakter massal yang serakah.

Dengan kesatuan hukum, kebijakan, dan kesadaran spiritual ini, Islam tidak hanya menyelesaikan kerusakan ekologis secara teknis, tetapi membangun peradaban yang selaras dengan alam. Sebab dalam pandangan Islam, kesejahteraan rakyat dan kelestarian bumi bukan dua tujuan yang saling bertentangan, melainkan satu kesatuan moral dan syar’i.

Maka, menyelamatkan DAS dan memulihkan lingkungan bukan sekadar program rehabilitasi teknis, tetapi proyek menopang peradaban. Ketika sungai kembali jernih, hutan tumbuh rimbun, dan tanah kembali subur, kita tidak hanya memperbaiki alam, tetapi menegakkan kembali prinsip keadilan Ilahi di bumi. Islam menawarkan fondasi untuk mengakhiri lingkaran kerusakan ekologis sekaligus membangun masa depan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan penuh keberkahan bagi generasi mendatang.

Di titik inilah Islam tampil sebagai alternatif yang adil dan menyeluruh. Islam memandang alam sebagai amanah Allah, menetapkan bahwa hutan dan SDA ialah milik umum yang haram diprivatisasi, serta mewajibkan negara menjaga lingkungan dengan hukum yang tegas dan tidak bisa dibeli, menjadikan pembangunan benar-benar untuk kemaslahatan rakyat dan bukan untuk memperkaya segelintir elite ekonomi.

*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan