SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Gelombang Cemas 2025: Demokrasi Panggung Ilusi?

Gelombang Cemas 2025: Demokrasi Panggung Ilusi?

Ilustrasi – Demontrasi

Oleh: Sri Wahyu Indawati, M.Pd

Gelombang kegelisahan rakyat terhadap wajah asli kekuasaan hari ini terlihat dalam rangkaian demonstrasi bertajuk Indonesia Cemas 2025. Pemerintah, melalui berbagai pernyataan pejabat, berupaya membingkai aksi mahasiswa sekadar sebagai ancaman anarkis yang rawan ditunggangi kepentingan politik. Dilansir Suara Pemred Kalbar (28/8), Menteri Pemuda dan Olahraga, misalnya, menekankan pentingnya menyampaikan aspirasi secara damai. Menteri Keuangan menambahkan, sebagian besar tuntutan mahasiswa sejatinya sudah dijawab lewat RAPBN 2026, hilirisasi SDA, program Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga RUU Perampasan Aset. Narasi ini menggambarkan bahwa pemerintah merasa telah “bekerja keras” dan aksi mahasiswa hanyalah berlebihan.

Namun, jika ditelaah lebih mendalam, argumen tersebut tidak menyentuh substansi. Demonstrasi yang menggema di berbagai kota bukan lahir dari ruang kosong, tetapi merupakan akumulasi kekecewaan rakyat atas kebijakan yang makin menjerat kehidupan. Fakta kenaikan PBB hingga ratusan persen, diiringi kenaikan tunjangan DPR, hanyalah satu contoh nyata. Problematika bangsa jauh lebih kompleks daripada sekadar isu teknis anggaran atau hilirisasi tambang, juga terkait masalah gaji guru dan dosen yang timpang, pajak yang menindas, hingga kebijakan MBG yang dianggap tidak tepat sasaran.

RAPBN 2026 diproyeksikan pemerintah dengan sasaran pertumbuhan 5,4%, pengurangan kemiskinan menjadi 6,5–7,5%, dan peningkatan lapangan kerja formal sebesar 37,95%. Akan tetapi, pengalaman historis menunjukkan bahwa indikator makroekonomi tidak otomatis menghadirkan kesejahteraan nyata. Hilirisasi SDA yang dijual sebagai kebijakan pro-rakyat, pada praktiknya tetap menguntungkan korporasi besar. Program MBG memang populer, tetapi kritik valid menyebutkan program ini lebih bersifat simbolis ketimbang menyelesaikan akar persoalan gizi dan kemiskinan. Meski RUU Perampasan Aset diproyeksikan menjadi bukti komitmen antikorupsi, pengalaman sebelumnya menunjukkan regulasi semacam ini kerap hanya berhenti pada tataran simbolis dan gagal menjerat pihak-pihak berpengaruh.

Inilah saatnya menegaskan bahwa akar masalah tidak hanya terletak pada kebijakan parsial, tetapi justru pada kerangka demokrasi yang menopangnya. Demokrasi meniscayakan kedaulatan di tangan rakyat—yang dalam praktiknya dikendalikan oleh oligarki. Regulasi lahir bukan untuk melayani rakyat, melainkan untuk melayani pemodal yang membiayai ongkos politik. Mahasiswa benar ketika menyuarakan bahwa regulasi hari ini justru menambah penderitaan rakyat. Kenaikan pajak, liberalisasi SDA, dan regulasi pro-investor adalah bukti konkret bagaimana demokrasi hanya menjadi alat legitimasi bagi kepentingan elite.

Gerakan mahasiswa memang telah berhasil menyalakan kembali api kesadaran publik. Akan tetapi, kesadaran itu masih bersifat parsial dan emosional. Fokus mahasiswa masih berkutat pada gejala: APBN, MBG, hilirisasi, pajak, dan sebagainya. Padahal, jika akar masalah tetap dipertahankan—yakni sistem demokrasi kapitalisme—maka wajah kezaliman akan terus berulang dalam format yang berbeda.

Islam menawarkan jalan alternatif yang mendasar. Dalam paradigma Islam, kedaulatan bukan berada di tangan rakyat atau elite, melainkan di tangan syarak. Aturan sejati bersumber dari wahyu Ilahi, bukan hasil olah pikir manusia yang penuh bias dan kepentingan. SDA dikelola sebagai kepemilikan umum untuk kesejahteraan rakyat, bukan diserahkan pada korporasi. Pajak mencekik tidak akan diberlakukan, sementara kebutuhan pokok rakyat dipenuhi negara melalui mekanisme baitul mal. Pengawasan penguasa dilakukan secara sistematis melalui muhasabah lil hukam, majelis umat, dan Mahkamah Mazalim yang independen.

Dengan demikian, Indonesia Cemas perlu dipahami bukan hanya sebagai respons terhadap kebijakan tertentu, melainkan sebagai titik balik untuk meninjau ulang sistem yang ada. Selama demokrasi kapitalisme dipertahankan, rakyat akan terus dizalimi meski berganti presiden dan parlemen. Perubahan sejati hanya akan terwujud dengan mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem Islam kafah melalui institusi politik Khilafah. Inilah solusi ideologis yang mampu menghentikan siklus penderitaan rakyat dan mewujudkan keadilan hakiki. Di dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 50 mengingatkan kita,

أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. Wallahu a’lam[]

*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan