Bendera One Piece: Ketegangan antara Simbol Negara dan Kebebasan Ekspresi
Oleh: Sukardi*
Belakangan ini, ruang publik Indonesia diramaikan oleh perdebatan tentang pengibaran bendera bajak laut dari serial anime One Piece, yang dikenal sebagai Jolly Roger. Fenomena ini mencuat menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, ketika sejumlah warga, khususnya kalangan muda, memilih mengibarkan bendera berlambang tengkorak dan tulang bersilang tersebut, baik di lingkungan rumah, kendaraan, maupun tempat umum. Bagi sebagian orang, tindakan itu sekadar ekspresi fandom terhadap budaya pop. Namun bagi sebagian lainnya, pengibaran bendera tersebut dilihat sebagai bentuk kritik simbolik terhadap negara—bahkan dianggap bentuk pelecehan terhadap kehormatan simbol nasional, yakni bendera Merah Putih.
Persoalan ini menyentuh titik krusial dalam praktik demokrasi modern: bagaimana negara seharusnya menyikapi ekspresi kultural yang berkembang dalam masyarakat, khususnya generasi muda, tanpa mengorbankan supremasi simbol negara. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu telaah menyeluruh baik dari sisi hukum positif maupun dari pendekatan sosiokultural.
Secara normatif, pengaturan tentang bendera negara termaktub dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dalam Pasal 24 ayat (1), disebutkan bahwa Bendera Negara dilarang dikibarkan di bawah atau bersama lambang atau benda lain yang tidak sesuai martabatnya. Sanksi atas pelanggaran ini diatur dalam Pasal 66, yang menyebut bahwa siapa pun yang dengan sengaja merendahkan kehormatan Bendera Negara dapat dikenai pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah. Dalam konteks ini, apabila bendera One Piece dikibarkan bersama Merah Putih—terlebih jika Merah Putih diletakkan lebih rendah atau dikalahkan posisinya—maka dapat ditafsirkan sebagai tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Namun demikian, persoalannya tidak sesederhana teks normatif. Dalam konteks kekinian, pengibaran bendera bajak laut tersebut tidak selalu dimaksudkan untuk menggantikan simbol negara, melainkan sebagai ekspresi identitas budaya atau bahkan bentuk kritik sosial. Serial One Piece sendiri bercerita tentang sekelompok bajak laut yang menentang kekuasaan korup dan memperjuangkan kebebasan. Oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama kaum muda, simbol Jolly Roger justru dimaknai sebagai perlawanan simbolik terhadap sistem yang dirasa tidak adil, tertutup, dan gagal memenuhi aspirasi rakyat. Fenomena ini, dalam kajian budaya populer, merupakan bagian dari apa yang disebut cultural resistance—yakni penggunaan simbol budaya untuk menyampaikan pesan politik atau sosial secara tidak langsung.
Beberapa akademisi hukum dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa pengibaran bendera One Piece, selama tidak dilakukan bersama Merah Putih dan tanpa unsur penghinaan, tidak serta-merta melanggar hukum. Wamendagri, misalnya, dalam pernyataan publiknya menekankan bahwa pengibaran bendera budaya pop tidak bisa dikriminalisasi selama tidak menyentuh ranah simbol negara secara langsung. Sebaliknya, aparat penegak hukum dan pejabat lain menyatakan bahwa tindakan ini dapat mengarah pada pelecehan simbol negara jika dilakukan dengan maksud menyandingkan, menandingi, atau bahkan menggantikan kehormatan Merah Putih. Tentu saja, di sinilah letak tarik-ulur antara aspek niat (mens rea) pelaku dan bentuk lahir dari tindakannya (actus reus).
Lebih jauh, reaksi negara terhadap fenomena ini juga patut dievaluasi. Penindakan yang berlebihan terhadap masyarakat yang mengibarkan bendera fiktif berpotensi mengekang kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28E ayat (3). Amnesty International Indonesia bahkan menyatakan bahwa tindakan razia dan intimidasi terhadap pengibar bendera One Piece tidak sejalan dengan prinsip negara demokratis. Dalam sistem hukum yang sehat, pendekatan persuasif dan edukatif semestinya lebih diutamakan ketimbang tindakan koersif yang berpotensi menimbulkan ketakutan dan pembungkaman pendapat.
Berdasarkan sudut pandang filsafat hukum, kasus ini mengingatkan kita bahwa hukum tidak semata-mata teks, tetapi juga konteks. Hukum harus mampu menangkap dinamika sosial dan budaya masyarakatnya. Jika simbol bajak laut fiktif dimaknai sebagai ekspresi atas ketidakpuasan sosial, maka yang perlu ditindak bukanlah simbolnya, melainkan penyebab munculnya ketidakpuasan itu. Negara seharusnya lebih bijak dalam membaca pesan-pesan simbolik semacam ini, serta membuka ruang dialog dengan generasi muda yang ingin menyampaikan aspirasi mereka melalui media yang dekat dengan keseharian mereka—termasuk budaya populer Jepang.
Penting untuk menegaskan bahwa pengibaran bendera One Piece tidak serta-merta merupakan tindak pidana, kecuali apabila dilakukan secara demonstratif untuk merendahkan atau menggantikan kehormatan bendera negara. Penilaian harus didasarkan pada konteks, niat, dan cara pelaksanaan. Negara, sebagai pemegang otoritas simbolik tertinggi, seyogianya tidak alergi terhadap ekspresi budaya alternatif, tetapi justru merangkulnya sebagai bagian dari narasi kebangsaan yang lebih inklusif.
Akhirnya, perdebatan ini mestinya tidak berhenti pada pertanyaan legal atau ilegal, melainkan bergeser pada pertanyaan yang lebih esensial: mengapa generasi muda memilih bendera fiksi sebagai saluran ekspresi politik dan sosial mereka? Negara ditantang untuk merebut kembali kepercayaan publik, bukan melalui Tindakan represif, melainkan melalui penguatan partisipasi, keadilan, dan keterbukaan dalam proses demokrasi. Sebab, di balik sehelai bendera fiksi, bisa jadi tersimpan kenyataan yang tidak fiktif sama sekali—yakni rasa kecewa, terpinggirkan, dan kehausan akan keadilan.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah IAIN Pontianak
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now