Negeri Darurat Kejahatan Seksual
Oleh: Hanuri Sakarti, M.Pd
TAHUN 2025 sudah berjalan hampir setengah tahun, tetapi selalu saja ada pemberitaan yang meresahkan masyarakat. Terutama bagi para ibu yang memiliki anak di bawah umur, berita-berita tersebut seolah menjadi mimpi buruk yang terus menghantui. Misalnya, seperti dilansir dari Kalbar Online, Polres Kayong Utara baru-baru ini meringkus enam tersangka kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur. Modus operandi yang digunakan para pelaku cenderung seragam, yakni dengan menjalin hubungan asmara atau berpura-pura berpacaran dengan korban. (02/05/25)
Terungkapnya enam kasus ini secara tidak langsung memperpanjang daftar kasus kejahatan seksual yang terjadi di wilayah Kayong Utara. Masih lekat dalam ingatan kasus yang melibatkan seorang oknum polisi yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak angkat dan asisten rumah tangganya sendiri. Berdasarkan laporan dari Pontianak Post, pelaku kini telah ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Ketapang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. (04/10/24). Kasus ini menambah luka di hati masyarakat yang mendambakan keadilan dan perlindungan yang nyata dari pihak berwenang.
Kasus-kasus ini bukan hanya berita biasa, melainkan potret nyata dari kondisi darurat yang sedang dihadapi masyarakat, khususnya dalam hal perlindungan anak. Dilansir dari Warta Pontianak, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kayong Utara mencatat sebanyak 25 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi sepanjang 2024. Sedangkan di tahun 2025, hingga Mei tercatat 9 kasus yang masuk dalam kanal pengaduan. Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar pelaku kejahatan seksual ini adalah orang-orang yang dikenal oleh korban, seperti tetangga, teman, pacar, bahkan anggota keluarga sendiri. (07/05/25) Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan yang seharusnya aman justru menjadi tempat paling rentan bagi anak-anak.
Lonjakan kasus kejahatan seksual di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem kehidupan yang saat ini mendominasi, yaitu sistem sekularisme. Sistem ini memisahkan antara agama dan kehidupan publik, sehingga nilai-nilai spiritual tidak dijadikan landasan dalam membuat kebijakan sosial. Dalam sistem sekuler, kebebasan individu menjadi nilai utama, termasuk kebebasan dalam berperilaku dan mengekspresikan diri. Akibatnya, terbentuklah lingkungan sosial yang permisif terhadap berbagai bentuk penyimpangan, termasuk kekerasan seksual. Meski sudah ada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tetapi regulasi tersebut dinilai belum menyentuh akar permasalahan karena tidak bersumber pada aturan hidup yang holistik dan terintegrasi dengan nilai agama.
Dari sudut pandang pendidikan, sistem pendidikan di Indonesia cenderung lebih menitikberatkan pada pencapaian akademis dibanding pembentukan karakter. Kurikulum yang ada sering kali abai terhadap pendidikan etika dan nilai spiritual yang mendalam. Ketiadaan pondasi keimanan dan ketakwaan yang kuat mengakibatkan banyak individu cerdas secara intelektual tetapi rapuh secara moral. Inilah yang menjelaskan mengapa pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari kalangan berpendidikan tinggi. Pendidikan yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam membentuk kepribadian justru belum mampu memainkan peran strategisnya secara maksimal.
Di luar faktor internal, kita juga harus menyoroti pengaruh besar dari media massa dan media sosial. Di antaranya peredaran konten negatif yang sangat masif dan mudah diakses terutama oleh anak-anak dan remaja. Upaya pemerintah dalam melakukan pemblokiran konten tidak senonoh belum berjalan optimal. Banyak situs dan platform yang lolos dari penyaringan, sehingga dampaknya tetap merusak generasi muda. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan seksual masih terbilang lemah. Hukuman yang dijatuhkan sering kali tidak memberikan efek jera, dan proses hukum kerap memakan waktu lama. Hal ini memberi kesan bahwa pelaku tidak terlalu takut terhadap sanksi hukum yang berlaku.
Sebagai solusi, banyak kalangan yang menyuarakan pentingnya kembali kepada sistem nilai yang bersumber dari agama, khususnya Islam. Dalam sejarah peradaban Islam, upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan seksual telah dilakukan secara sistematis sejak masa Nabi Muhammad SAW. Islam hadir di tengah masyarakat Arab yang saat itu mengalami kemerosotan moral luar biasa, termasuk dalam hal kekerasan terhadap perempuan dan penyimpangan seksual. Rasulullah SAW kemudian membangun masyarakat Madinah yang menjadikan akidah Islam sebagai pondasi utama. Melalui pendidikan akhlak dan penanaman ketakwaan, generasi awal umat Islam mampu menghindari berbagai bentuk penyimpangan perilaku.
Sepanjang sejarah kekhilafahan, Islam juga menetapkan aturan sosial yang jelas dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Penjagaan aurat, larangan khalwat (berdua-duaan antara lawan jenis tanpa mahram), serta pembatasan percampuran bebas diberlakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap kehormatan individu. Aturan-aturan ini bukan sekadar budaya atau tradisi, melainkan bagian integral dari sistem hukum syariah. Bukti sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Islam klasik sangat minim dari kasus kekerasan seksual karena sistem yang berlaku menciptakan lingkungan yang aman dan bermartabat.
Dalam hal penegakan hukum, Islam memberlakukan sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual berdasarkan ketentuan hudud dan ta’zir. Pada masa Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah, proses hukum dijalankan tanpa pandang bulu, bahkan terhadap kalangan elit sekalipun. Sanksi yang keras ini memiliki dua fungsi utama: sebagai bentuk keadilan bagi korban dan sebagai pencegah (deterrent effect) bagi masyarakat secara umum. Dengan integrasi antara sistem pendidikan, pengaturan sosial, dan hukum yang berbasis wahyu, Islam telah membuktikan dirinya sebagai sistem yang mampu menekan angka kejahatan seksual secara signifikan dan berkelanjutan.
*Penulis adalah Praktisi Pendidikan di Ketapang, Kalimantan Barat
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





