Pendidikan dan Industri: Sinergi Sejati atau Strategi Eksploitasi?
Oleh: Agustin Pratiwi
Pendidikan adalah kunci bagi masa depan bangsa, tetapi tanpa kerja sama yang tepat, upaya membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul bisa sia-sia. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalimantan Barat (Kalbar) mengambil langkah strategis dengan menjalin kerja sama dengan Huayue Indonesia dan PT. Huayue Nickel Cobalt, perusahaan internasional di bidang tambang nikel kobal.
Dalam kunjungannya ke Morowali, Sulawesi Tengah, Kepala Disdikbud Kalbar, Rita Hastarita, menegaskan bahwa kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan industri. Berbagai program dirancang, mulai dari pelatihan dan pengabdian masyarakat hingga praktik kerja lapangan, seminar, penyediaan guru tamu, serta kesempatan seleksi dan penyerapan tenaga kerja(suarapemredkalbar 24/02/2025).
Langkah ini disebut menjadi bagian dari upaya memperkuat keterkaitan antara dunia pendidikan dan industri (link and match), dimana dapat memastikan bahwa lulusan memiliki keterampilan yang relevan dan siap bersaing di dunia kerja.
Namun, di balik peluang yang didambakan, Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kemandirian SDM agar tidak sepenuhnya bergantung pada intervensi asing. Pengembangan SDM yang berkualitas harus tetap berlandaskan pada prinsip kemandirian, sehingga bangsa ini dapat maju dengan kekuatan sendiri, bukan sekadar menjadi penyedia tenaga kerja bagi kepentingan industri global.
Ilmu seharusnya menjadi cahaya yang menerangi kehidupan dan menyelesaikan problem manusia, bukan sekadar alat untuk mengejar kesuksesan individu tanpa kontribusi nyata bagi masyarakat. Namun, pendidikan dalam sistem kapitalistik justru menanamkan pola pikir materialistis yang mengukur keberhasilan hanya dari capaian pribadi, bahkan jika harus berkarir di luar negeri.
Pemerintah berdalih belum mampu menyediakan wadah bagi pengembangan ilmu di dalam negeri, padahal yang seharusnya dilakukan adalah membangun proyek strategis demi kemandirian bangsa, bukan malah membiarkan warga negaranya mencari peluang di luar. Kerja sama di sektor pendidikan dan rekrutmen tenaga kerja dengan perusahaan tambang hanyalah cermin dari sistem kapitalisme yang lebih mementingkan keuntungan materi dibanding membangun kedaulatan energi dan ekonomi bangsa.
Menyerahkan industri tambang ke swasta dianggap solusi mudah dibanding menanggung risiko investasi besar dalam pengembangan SDM, teknologi, dan riset sendiri. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya membangun kemandirian justru melanggengkan ketergantungan pada tenaga asing, mempersempit lapangan kerja bagi rakyat sendiri, dan memperparah kemiskinan. Inilah wajah nyata kapitalisme yang mencetak pejabat abai terhadap rakyat, lebih memilih kepentingan segelintir elite daripada kesejahteraan bangsa.
Ilmu adalah cahaya yang seharusnya menerangi kehidupan dan membawa kesejahteraan bagi umat, bukan sekadar alat untuk kepentingan individu atau negara asing. Dalam sistem Islam (Khilafah), negara bertanggung jawab penuh dalam memberikan pendidikan kepada seluruh warga, memastikan bahwa pendidikan tinggi melahirkan pemimpin dan pemecah masalah yang berdedikasi bagi kemaslahatan umat.
Islam tidak melarang para pencari ilmu untuk belajar di luar negeri, tetapi keberadaan mereka tetap dalam misi dakwah dan kepentingan negara, bukan untuk memperkuat bangsa lain. Khilafah membangun politik luar negeri berasas Islam, menjalin hubungan dengan negara lain dalam bingkai dakwah dan jihad, sehingga para pakar yang berada di luar negeri tetap membawa manfaat bagi umat.
Selain itu, negara juga mengembangkan proyek pendidikan dan penelitian agar mereka yang belajar ke luar tetap memiliki kesempatan berkarir dan berkontribusi dalam negeri. Dengan sistem politik dan ekonomi Islam yang kuat, negara memiliki kapasitas finansial untuk membangun berbagai proyek yang terintegrasi dengan kesejahteraan rakyat. Inilah yang membedakan tata kelola pendidikan dan pemanfaatan tenaga ahli dalam peradaban kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan materi, dengan peradaban Islam yang mengutamakan kemaslahatan umat dan keberkahan dunia. Jika kita menghendaki kebaikan bagi bangsa dan dunia, kembali kepada peradaban Islam adalah sebuah keniscayaan.
*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





