SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Pakaian Bekas Impor Rugikan Indonesia?

Pakaian Bekas Impor Rugikan Indonesia?

Ilustrasi – Pakaian Bekas

Oleh: Sri Wahyu Indawati, M.Pd

KASUS penyelundupan pakaian bekas impor ilegal yang berhasil diungkap oleh Polda Kalbar dengan kerugian negara mencapai Rp 730 miliar (insidepontianak.com, 20/1), menunjukkan bahwa permasalahan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga dampak dari sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat. Maraknya barang bekas impor di Indonesia mengindikasikan dua persoalan utama: pertama, ketidakmampuan negara dalam menyediakan kebutuhan sandang dengan harga terjangkau dan berkualitas, dan kedua, budaya konsumtif yang terus berkembang di masyarakat, khususnya di kalangan anak muda.

Fenomena thrifting yang semakin populer bukan hanya soal mencari harga murah dan berkualitas, tetapi juga karena adanya mindset branded dari peradaban Barat sekuler (ideologi kapotalisme). Akibatnya, banyak masyarakat, khususnya dari kelas ekonomi bawah, terpaksa membeli pakaian bekas impor karena harga pakaian baru produksi lokal masih tergolong mahal bagi mereka. Sementara itu, kaum muda yang terpengaruh budaya Barat konsumtif lebih memilih barang bermerek, meskipun dalam kondisi bekas, demi memenuhi standar sosial yang mereka anggap prestisius. Padahal, fenomena thrifting ini secara tidak langsung menjadikan Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah tekstil dari negara-negara maju. Selain menjadi problem kesehatan terutama penyebaran penyakit kulit dan berpotensi merusak lingkungan akibat meningkatnya limbah tekstil yang sulit terurai, hal ini juga memperparah kondisi industri lokal yang semakin terpinggirkan.

Dari sisi kebijakan, pemerintah telah memiliki regulasi yang melarang impor barang bekas kecuali untuk kebutuhan khusus, sebagaimana diatur dalam Permendag No. 36 Tahun 2023 dan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Namun, lemahnya pengawasan dan korupsi di berbagai sektor memungkinkan penyelundupan tetap terjadi. Sanksi hukum yang ada sering kali tidak cukup memberikan efek jera, sementara jaringan penyelundupan terus berkembang dengan melibatkan berbagai pihak.

Dalam pandangan Islam, perdagangan internasional diperbolehkan selama tidak melanggar syariat Islam. Namun, dalam kasus impor barang bekas ini, ada aspek yang bertentangan dengan Islam, yaitu penyelundupan yang merugikan negara, eksploitasi masyarakat miskin yang terpaksa membeli barang bekas karena kesulitan ekonomi, serta menambah problem kesehatan dan lingkungan. Sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Baqarah ayat 188, memperoleh keuntungan dengan cara yang batil—termasuk merugikan negara dan masyarakat—adalah perbuatan yang harus diberantas. Islam menekankan peran negara dalam menjamin kesejahteraan kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk sandang, melalui kebijakan ekonomi berbasis Islam. Oleh karena itu, solusi jangka panjang dari maraknya impor barang bekas bukan hanya sekadar meningkatkan pengawasan dan penindakan hukum, tetapi juga dengan membangun sistem ekonomi Islam, mendukung industri lokal, serta menanamkan pola hidup sederhana dan bertanggung jawab dalam masyarakat atas dasar ketakwaan pada Allah SWT. Semua ini dapat terwujud jika Islam diterapkan secara kafah dalam institusi Khilafah. Wallahu a’lam

*Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan