SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Opini Secara Ilmiah Pemimpin Pelayan Rakyat Bukan untuk Dilayani Rakyat Studi di Indonesia

Secara Ilmiah Pemimpin Pelayan Rakyat Bukan untuk Dilayani Rakyat Studi di Indonesia

Firdaus

Oleh: Firdaus.S.IP.,M.Sos

PEMIMPIN di Indonesia kurang respon melayani rakyat dengan maksimal karena beberapa alasan. Pertama, mereka lebih fokus pada kepentingan pribadi dan partai daripada kepentingan rakyat. Kedua, mereka kurang memiliki kesadaran akan tanggung jawab mereka sebagai pelayan rakyat. Ketiga, mereka seringkali lebih memperhatikan kekuasaan dan pengaruh mereka daripada kebutuhan dan aspirasi rakyat.

Selain itu, sistem politik dan pemerintahan di Indonesia juga dapat menjadi hambatan bagi pemimpin untuk melayani rakyat dengan maksimal. Misalnya, sistem birokrasi yang kompleks dan lambat dapat membuat pemimpin sulit untuk mengambil keputusan dan melakukan aksi yang efektif.

Contohnya, seperti yang dilaporkan oleh CNBC Indonesia, para anggota DPR, DPD, dan MPR RI untuk periode 2024-2029 telah resmi dilantik, namun masih banyak yang mempertanyakan apakah mereka benar-benar akan melayani rakyat dengan maksimal.¹

Menurut konsep Pemimpin berdasarkan ilmuan filsafat ialah:

Pertama menurut Plato, pemimpin harus memiliki kebijaksanaan, keadilan, dan keberanian. Pemimpin harus dapat memimpin dengan bijak dan adil, serta memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat.

Kedua, Aristoteles berpendapat bahwa pemimpin harus memiliki tiga kualitas utama: kebijaksanaan, keadilan, dan kemampuan untuk memimpin. Pemimpin harus dapat memimpin dengan bijak, adil, dan efektif.

Ketiga Machiavelli berpendapat bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memimpin dengan kekuatan dan kecerdasan. Pemimpin harus dapat membuat keputusan yang tepat, bahkan jika itu berarti menggunakan kekuatan dan kekerasan.

Keempat Jean-Jacques Rousseau Rousseau berpendapat bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memimpin dengan demokrasi dan kesetaraan. Pemimpin harus dapat memimpin dengan mempertimbangkan kepentingan rakyat dan memastikan bahwa kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu orang.

Kelima menurut Immanuel Kant : Kant berpendapat bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memimpin dengan moral dan etika. Pemimpin harus dapat memimpin dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip moral dan etika, serta memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah adil dan benar.

Keenam Friedrich Nietzsche:  berpendapat bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memimpin dengan kekuatan dan kreativitas. Pemimpin harus dapat memimpin dengan mempertimbangkan kepentingan individu dan memastikan bahwa kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu orang.

Ketujuh Max Weber berpendapat bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memimpin dengan rasionalitas dan efisiensi. Pemimpin harus dapat memimpin dengan mempertimbangkan kepentingan organisasi dan memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah efektif dan efisien.

Kedelapan John Locke*: Locke berpendapat bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memimpin dengan demokrasi dan kesetaraan. Pemimpin harus dapat memimpin dengan mempertimbangkan kepentingan rakyat dan memastikan bahwa kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu orang.

Berikut beberapa alasan mengapa pemimpin bukan untuk dilayani rakyat, melainkan menjadi pelayan rakyat menurut buku Islam:

  1. Hadits Nabi Muhammad SAW: “Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan rakyat yang menjadi pelayan pemimpin.” (HR. Abu Dawud)
  2. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 30: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi.’ Mereka bertanya, ‘Apakah Engkau akan menjadikan orang yang akan merusak dan menumpahkan darah, sedangkan kami mahu mensucikan dan memuji Engkau?’ Allah berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'” (QS. Al-Baqarah: 30)
  3. Al-Qur’an Surat An-Nur Ayat 55: “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di antara kamu, bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka merasa takut.” (QS. An-Nur: 55)
  4. Hadits Nabi Muhammad SAW: “Pemimpin yang baik adalah yang memperhatikan kepentingan rakyatnya, sedangkan pemimpin yang buruk adalah yang memperhatikan kepentingan dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)
  5. Al-Qur’an Surat Al-Ma’idah Ayat 35: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang bukan dari golonganmu sebagai pemimpin, karena mereka tidak akan merasa puas sehingga kamu menjadi seperti mereka. Allah adalah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati mereka.” (QS. Al-Ma’idah: 35)

Dalam buku Islam, pemimpin bukan untuk dilayani rakyat, melainkan menjadi pelayan rakyat karena:

– Pemimpin dipilih oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi, bukan untuk menjadi tuan atas rakyat (QS. Al-Baqarah: 30)

– Pemimpin harus memperhatikan kepentingan rakyatnya, bukan kepentingan dirinya sendiri (HR. Bukhari)

– Pemimpin harus menjadi teladan bagi rakyatnya, bukan menjadi contoh buruk (QS. An-Nur: 55)

– Pemimpin harus memperhatikan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya, bukan hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri (QS. Al-Ma’idah: 35)

– Pemimpin harus menjadi pelayan rakyat, bukan rakyat yang menjadi pelayan pemimpin (HR. Abu Dawud)

Dengan demikian, pemimpin bukan untuk dilayani rakyat, melainkan menjadi pelayan rakyat karena itu adalah tanggung jawab dan kewajiban mereka sebagai pemimpin.

Berikut beberapa analisis umum mengapa sekarang pemimpin di Indonesia ingin dilayani bukan melayani rakyat berdasarkan pendapat ilmiah:

  1. Korupsi dan Kekuasaan: Menurut teori korupsi, pemimpin yang korup cenderung ingin mempertahankan kekuasaan dan kekayaan mereka, sehingga mereka lebih ingin dilayani daripada melayani rakyat (Klitgaard, 1988).
  2. Patronase dan Klienelisme: Pemimpin di Indonesia seringkali memiliki hubungan patronase dengan rakyat, di mana mereka memberikan bantuan dan perlindungan kepada rakyat yang setia, sehingga rakyat tersebut merasa terikat dan ingin melayani pemimpin (Scott, 1972).
  3. Kultur Feodal: Indonesia masih memiliki kultur feodal yang kuat, di mana pemimpin dianggap sebagai “tuhan” yang harus dihormati dan dilayani, bukan sebagai pelayan rakyat (Geertz, 1960).
  4. Pendidikan dan Sosialisasi: Pemimpin di Indonesia seringkali memiliki latar belakang pendidikan dan sosialisasi yang tidak mengajarkan nilai-nilai demokrasi dan pelayanan kepada rakyat, sehingga mereka tidak memiliki kesadaran untuk melayani rakyat (Almond & Verba, 1963).
  5. Struktur Kekuasaan: Struktur kekuasaan di Indonesia masih sangat sentralis dan hierarkis, sehingga pemimpin memiliki banyak kekuasaan dan otoritas, sehingga mereka cenderung ingin dilayani daripada melayani rakyat (Tilly, 1975).
  6. Ketergantungan pada Sumber Daya: Pemimpin di Indonesia seringkali memiliki ketergantungan pada sumber daya alam dan ekonomi, sehingga mereka lebih ingin mempertahankan kekuasaan dan kontrol atas sumber daya tersebut daripada melayani rakyat (Hyden, 1980).
  7. Kurangnya Akuntabilitas: Pemimpin di Indonesia seringkali tidak memiliki akuntabilitas yang cukup, sehingga mereka tidak merasa bertanggung jawab kepada rakyat dan lebih ingin dilayani daripada melayani rakyat (Przeworski, 1991).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemimpin di Indonesia ingin dilayani bukan melayani rakyat karena beberapa faktor, termasuk korupsi, patronase, kultur feodal, pendidikan dan sosialisasi, struktur kekuasaan, ketergantungan pada sumber daya, dan kurangnya akuntabilitas.

Referensi:

Almond, G. A., & Verba, S. (1963). The civic culture: Political attitudes and democracy in five nations. Princeton University Press.

Geertz, C. (1960). The religion of Java. University of Chicago Press.

Hyden, G. (1980). Beyond Ujamaa in Tanzania: Underdevelopment and an uncaptured peasantry. University of California Press.

Klitgaard, R. (1988). Controlling corruption. University of California Press.

Przeworski, A. (1991). Democracy and the market: Political and economic reforms in Eastern Europe and Latin America. Cambridge University Press.

Scott, J. C. (1972). Comparative political corruption. Prentice Hall.

Tilly, C. (1975). The formation of national states in Western Europe. Princeton University Press.

 

*Penulis adalah Devisi  ICMI Kalbar Bidang Politik dan Hukum Kalimantan Barat

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan