Pontianak (Suara Kalbar)- Peminat kajian politik lokal Kalimantan Barat, Syafaruddin Daeng Usman mengungkapkan politik identitas merupakan pemanfaatan identitas untuk mendapatkan kekuasaan yang cenderung dengan cara penghinaan, pendiskreditan, memecah belah, sehingga menyebabkan hilangnya toleransi.
Adapun identitas merupakan sesuatu yang pasti atau sudah melekat dalam diri manusia, yaitu suku, agama, ras dan jenis kelamin.
Menurutnya menurut bang Din Sapaan akrabnya, belakangan ini politik identitas adalah pemanfaatan identitas yang dimiliki oleh orang atau suatu kelompok terhadap lawan dalam upaya memenangkan persaingan kekuasaan politik.
“Identitas yang melekat dalam diri seseorang dapat menjadi pertimbangan masyarakat sebagai partisipasi politik dalam memberikan suara,”katanya dalam keteranga tertulis yang diterima Suarakalbar.co.id, Senin (12/8/2024).
Dia melanjutkan, beberapa penyebab tergerusnya sikap toleran pada Pemilu, antara lain maraknya penyebaran hoax di media sosial dan internet. Namun demikian, hal itu terjadi juga karena masih kurangnya pengetahuan atau pendidikan politik di tengah masyarakat.
“Tergerusnya sikap toleran pada pemilu, dan ini juga terjadi pada pemilukada serentak, karena penggunaan politik identitas oleh kandidat, menyangkut suku dan agama,” tegasnya.
Dia juga menyebutkan, hal itu diperparah oleh para oknum elit politik yang memancing permusuhan di media sosial, disamping para buzzer yang terus menebar kebencian.
“Sejumlah faktor lain sebagai ikutan untuk hal tersebut, di mana masyarakat umum dinilai masih belum mapan dalam berpolitik, para tokoh politik masih kerap berdebat dengan tidak sehat. Dan penggunaan politik identitas disertai masih ada imbas gesekan dari pemilu,” tambahnya.
Dikatakannya juga, politik identitas dari individu atau kelompok tertentu hingga saat ini masih konsisten dipergunqkan, baik dalam pemilu yang lalu maupun pada pemilukada mendatang, hal itu sebagai salah satu cara untuk memenangkan kandidat dalam pertarungan politik.
“Isu-isu identitas sebenarnya jauh sebelum masa kampanye sudah dipergunakan, namun gerakannya belum begitu masif karena baru sebatas frane terbatas bagi kandidat yang akan diusung untuk dimenangkan,” lanjutnya.
“Akan tetapi ketika sudah memasuki masa kampanye, maka bentuk-bentuk ragam identitas kandidat yang akan dimenangkan akan jauh lebih masif dipertegas di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya akan muncul individu atau kelompok yang pro dan kontra untuk memenangkan kandidat yang diusung,”paparnya lagi.
Selaku Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Kalbar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) RI, Syafaruddin DaEng Usman menghimbau para penyelenggara pemilu di Kalbar untuk mengantisipasi paduan antara politisasi identitas, disinformasi dan ujaran kebencian yang memungkinkan ancaman serius pada pemilukada Kalbar 2024.
“Dari tiga aspek tersebut, dengan sendirinya dapat membahayakan integritas dan keberhasilan pemilihan umum. Pada pemilihan sebelumnya di mana politisasi identitas, disinformasi dan ujaran kebencian menguat melalui media sosial. Bahkan media sosial memuat secara berlebihan terkait isu politik identitas yang tentu bisa berlanjut pada pemilukada November mendatang,” ungkapnya.
Disebutkannya, politik identitas berkaitan dengan masalah etnis, ideologi, kepercayaan dan juga kepentingan-kepentingan lokal yang direfresentasikan oleh elit melalui artikulasi politik mereka.
“Sedangkan disinformasi, merujuk pada penyebaran informasi yang salah, menyesatkan, atau disengaja untuk menipu atau mempengaruhi opini publik,”tambahnya.
“Dan ujaran kebencian, merujuk pada komunikasi yang menyebarkan, mendorong, atau memperkuat sentimen atau sikap permusuhan, kebencian, atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, etnisitas, agama, gender, orientasi seksual, maupun karakteristik tertentu lainnya,” katanya menegaskan.
Dalam pada itu dia juga menggariskan, dampak buruk jika politisasi identitas dilakukan dengan segala cara yang tidak patut dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau bertentangan dengan kaidah hukum yang hidup di tengah masyarakat.
“Maka akan terjadi konflik berkepanjangan antara individu atau keompok masyarakat tertentu karena membela secara fanatis kandidat yang diusungnya,”lanjutnya.
Syafaruddin Daeng Usman mengingatkan, kalau fanatisme individu atau kelompok masyarakat tidak dikontrol, maka bukan pembangunan nasional dan daerah yang berhasil, akan tetapi perpecahan sesama saudara sebangsa dan setanahair.
“Jika itu terjadi, maka pemilu atau pemilukada akan menjadi momok yang mengerikan bagi keberlangsungan bangsa dan negara”, pungkasnya.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS