SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda Nasional Dinilai Picu Penolakan Pendirian Tempat Ibadah, Koalisi Masyarakat Sipil Minta Peraturan Bersama Menteri Dicabut

Dinilai Picu Penolakan Pendirian Tempat Ibadah, Koalisi Masyarakat Sipil Minta Peraturan Bersama Menteri Dicabut

Seseorang memegang bunga di Gereja Katedral saat perayaan Paskah di Makassar, Sulawesi Selatan, 4 April 2021. (Foto: Antara/Abriawan Abhe via Reuters).

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Konstitusional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan mendesak dicabutnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) yang dinilai menjadi salah satu penyebab larangan beribadah dan penolakan pendirian tempat ibadah.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengkritisi masih terjadinya larangan pendirian rumah ibadah saat konstitusi telah menjamin kebebasan beribadah dan kebebasan beragama. Untuk itu Jokowi, saat rakornas kepala daerah dan FKPD seluruh Indonesia beberapa waktu lalu, meminta penegak hukum seperti Dandim, Kapolres, Kapolda dan Pangdam, Kejari, Kejati untuk memahami aturan dasar ini.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Konstitusional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menilai pernyataan Jokowi itu harus dibarengi oleh tindakan konkrit, salah satunya dengan mencabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 (PBM) tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah.

Sejumlah LSM tersebut LBH Jakarta, Imparsial,Setara Institute, YLBHI, Yayasan Satu Keadilan dan SEJUK.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan persoalan terkait dengan larangan beribadah dan penolakan tempat ibadah salah satunya karena dampak dari peraturan yang tidak kompatibel dengan HAM seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tersebut.

Regulasi tersebut, kata Isnur, dalam implementasinya sangat membatasi dan melahirkan praktik-praktik pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, bahkan tak jarang mendorong terjadinya tindakan diskriminasi, permusuhan sampai kekerasan.

Salah satu persyaratan pendirian rumah ibadah yang diatur dalam PBM tersebut diantaranya adanya daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) paling sedikit 90 orang. Syarat lain, dukungan dari masyarakat sekitar paling sedikit 60 orang, rekomendasi tertulis kantor departemen agama, dan rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Koalisi Kebebasan Beragama Tolak Alih Fungsi Masjid Ahmadiyah

Fungsi dan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam PBM 2006 pun dinilai harus diperbaiki. FKUB, menurutnya, merupakan bagian dari konflik pendirian rumah ibadah terkait fungsi pemberian rekomendasi sebagai syarat Pemerintah Daerah menerbitkan izin.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945, pasal 18 Kovenan Sipil dan Politik (ICCPR), pasal 22 ayat 2 UU tentang HAM mewajibkan negara untuk menghormati dan melindungi hak warga negara dalam memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik beribadah dan melaksanakan ibadah.

“Jadi apa yang diberikan oleh Jokowi itu kemudian berbenturan dengan peraturan teknis yang dilevel peraturan menteri. Jadi dia harusnya evaluasi peraturan menterinya untuk kemudian dihapus itu persyaratan 60:90. Yang kedua, harusnya ada pegangan yang lebih jelas apa itu?tentang Undang-Undang.”kata Isnur kepada VOA.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

 

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan