Krisis Iklim Berdampak pada Akses Pendidikan terhadap Anak-anak
Suara Kalbar – Cita-cita Amat, bukan nama sebenarnya, untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi harus pupus terhalang biaya. Usaha orang tua Amat, yang merupakan seorang petani cabai di salah satu daerah di Jawa Barat, untuk menyekolahkan anaknya dihadang oleh serangkaian gagal panen akibat cuaca yang tidak menentu.
“Saya waktu masih sekolah biaya ya dari orang tua. Orang tua kan kerjanya tani. Nah sementara dari pertanian itu kadang untung, kadang kurang menentu. Jangankan untuk keinginan sekolah lagi, untuk makanan sehari-hari saja, saya cukup-cukupin,” cerita Amat, yang kini berusia 17 tahun.
Cuaca yang tidak menentu diakui Amat sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman cabai.
“Dari cuaca yang tidak menentu bisa terjadi seperti akarnya tidak menjalar, jadi tidak tumbuh besar, dia malah mati, seperti kalau tidak ada hujan, tidak air tanaman itu bisa berubah menguning,” ungkapnya.
Pengalaman Amat kini bukanlah menjadi suatu cerita asing di negeri ini. Dampak dari krisis iklim sudah terlihat nyata terjadi pada anak-anak, termasuk dalam hal urusan ekonomi dan pendidikan.
Troy Pantouw selaku Direktur Advokasi, Kampanye, Komunikasi dan Media, Save the Children Indonesia, kepada VOA mengatakan krisis iklim sangat berdampak pada hak pendidikan, kesehatan dan perlindungan bagi anak-anak di mana mereka menjadi kelompok yang terancam jatuh ke dalam lubang kemiskinan pada jangka panjang.
“Sekarang saatnya untuk melakukan aksi adaptasi dan mitigasi untuk memperbaiki keadaan dan memberikan masa depan yang lebih baik kepada anak-anak di Indonesia dan seluruh dunia,” tegas Troy.
Laporan Save the Children yang diberi nama “Generation Hope” menunjukkan bahwa lebih dari 60 juta anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian iklim ekstrem dalam setahun.
Fakta tersebut memperjelas bahwa anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional, sebab mereka harus tumbuh dalam situasi yang mengancam.
Kejadian iklim ekstrem juga datang membawa sejumlah faktor yang membuat anak-anak ebih rentan secara fisik, sosial dan ekonomi.
Sebagai contoh, di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, terdapat cerita dari seorang pria yang berprofesi sebagai nelayan.
Sebagai nelayan pesisir, sang pria, yang dikaruniai tujuh orang anak itu, merasakan langsung dampak dari krisis iklim yang melanda. Hal tersebut terlihat dari hasil tangkapan ikan setiap hari yang semakin berkurang, bahkan ia lebih sering tidak mendapat hasil. Kondisi itu otomatis berdampak pada perekonomian keluarganya, kesehatan, serta pendidikan ketujuh anaknya.
Save the Children menegaskan bahwa, jika krisis iklim dan ketimpangan tidak segera ditangani, frekuensi dan tingkat keparahan krisis kemanusiaan serta biaya hidup akan terus meningkat.
Organisasi tersebut menyarankan bahwa pemerintah harus menjalankan komitmen pendanaan iklim untuk mitigasi dan adaptasi yang berpihak pada anak. Kemudian, pemerintah juga dapat melibatkan anak-anak sebagai pemangku kepentingan yang setara dan agen perubahan utama dalam mengatasi krisis iklim dan lingkungan, termasuk membangun mekanisme dan platform yang ramah anak untuk memfasilitasi keterlibatan mereka dalam penyusunan kebijakan iklim oleh pemerintah.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now






