SUARAKALBAR.CO.ID
Beranda News Gelap Terang Restrukturisasi Kredit Masa Pandemi Covid-19

Gelap Terang Restrukturisasi Kredit Masa Pandemi Covid-19

Oleh: Muhammad Shaldhan Nurazkaa*

PANDEMI Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan peristiwa penyebaran virus secara global dengan tingkat kematian dan penyebaran yang sangat riskan. Pandemi ini telah melumpuhkan banyak pergerakan sektor pemerintahan, mulai dari sektor kesehatan, sosial, budaya, pariwisata, olahraga, transportasi, ekonomi, bisnis, hingga keuangan. Semua sektor tersebut secara tidak langsung memiliki efek negatif antara satu dengan yang lainnya sehingga penanganan secara luas di semua sektor harus segera dilakukan.

Pandemi COVID-19 membuat Pemerintah harus memutar otak agar sektor-sektor tersebut dapat dimaksimalkan kembali dengan tetap mengedepankan aspek kesehatan melalui penerapan Protokol Kesehatan Penanganan COVID-19. Demi menjaga terhindarnya negara dari keterpurukan, berbagai instrumen-instrumen kebijakan telah ditetapkan dalam mengantisipasi dampak penyebaran COVID-19, satu di antaranya melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut andil dalam program kebijakan ini. Dalam hal ini, berdasarkan Infografis Kebijakan Stimulus OJK yang dimuat pada laman resmi OJK pada tanggal 31 Maret 2020, OJK bersama Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pada sektor jasa keuangan, mengeluarkan kebijakan stimulus keuangan. Pandemi COVID-19 menyebabkan pergerakan sektor-sektor pemerintahan tidak bergerak sebagaimana mestinya, begitu pula di sektor perbankan. Dengan kebijakan stimulus ini, diharapkan ruang gerak baik bagi masyarakat maupun sektor jasa keuangan dapat dirasakan kembali dan bernapas dengan lega.

Dalam rangka melindungi dan memulihkan ekonomi pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar mereka dapat bertahan di tengah pandemi ini, OJK memberikan relaksasi dan restrukturasi kredit.

Mengutip dari artikel berjudul “Apa yang Dimaksud dengan Restrukturisasi Kredit?” yang dimuat pada laman resmi OJK, restrukturisasi kredit atau pembiayaan merupakan suatu upaya pemerintah terhadap perbaikan perkreditan para debitur yang berpotensi mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban. Restrukturisasi kredit dilaksanakan dapat melalui penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan baik pokok maupun bunga, penambahan fasilitas kredit, dan konversi kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.

Dalam hal ini, berdasarkan Media Briefing terkait Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diselenggarakan pada tanggal 13 Mei 2020 silam bersama Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bapak Febrio Kacaribu, dikatakan bahwa Pemerintah melakukan penempatan dana pada Perbankan yang terdampak restrukturisasi kredit. Dukungan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp35T ini diharapkan dapat memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan tersebut dan/atau memberikan tambahan kredit modal kerja.

Merespon program kebijakan restrukturisasi kredit ini, banyak Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di Kalimantan Barat (Kalbar) berbondong-bondong mengajukan restrukturisasi kredit ini. Mengutip dari berita yang dimuat pada laman Pontianak Post pada tanggal 27 Mei 2020 silam, Kepala OJK Kalbar Moch Riezky F. Purnomo mengatakan, berdasarkan catatan dari OJK Kalbar sampai dengan tanggal 14 Mei 2020, nilai restrukturisasi di Kalbar telah mencapai Rp1,34T dengan jumlah debitur sebanyak 25.675, dengan kontributor terbesar adalah dari Kota Pontianak. Angka-angka tersebut rinciannya adalah sebesar Rp534,14M dengan jumlah debitur sebanyak 21.897 oleh perusahaan pembiayaan dan sebesar Rp805,65M dengan jumlah debitur sebanyak 3.778.

Angka tersebut terbilang tinggi jika dibandingkan dengan total penempatan dana pada Perbankan untuk seluruh Indonesia yang sebesar Rp35T. Bisa dikatakan bahwa memang banyak debitur, tidak hanya di Kalimantan Barat saja namun juga di seluruh Indonesia, yang terganggu aktivitas ekonominya dikarenakan pandemi ini. Dengan adanya program kebijakan ini, debitur merasa terbantukan. Pernyataan tersebut tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar pula. Menurut penulis, dari segala kelebihan dan manfaat yang diperoleh, tetap ada sisi gelapnya.

Restrukturasi kredit dapat dilakukan dengan penurunan suku bunga. Hal tersebut merupakan pertolongan yang sangat dibutuhkan bagi para debitur yang kehidupan ekonominya sangat terguncang akibat dari merebaknya COVID-19 ini, bisa saja mengalami penurunan pemasukan atau kejadian lainnya. Bagi mereka, penurunan suku bunga ini akan memberi sedikit ruang lebih bagi para debitur untuk mengatur lebih lanjut pendanaan kehidupan dan usahanya.

“Pertolongan” tersebut mungkin terdengar bagus, tapi sebenarnya bisa menjadi pisau bermata dua. Dalam jangka pendek, dapat diakui bahwa dirasa menguntungkan, ditopang dengan unsur keleluasaan dalam mengatur ekonomi sehingga bisa lebih bebas dalam mengelola keuangan. Namun dalam jangka panjang, sebenarnya justru merugikan. Jika diperhitungkan dengan waktu yang lebih panjang, sebenarnya beban cicilan itu malah semakin besar. Memang benar persentasenya menurun, namun waktu yang lebih lama ini jika diakumulasikan akan meningkatkan beban cicilan dibandingkan dengan sebelum pengajuan restrukturisasi. Penurunan persentase inilah yang menggiurkan, dan beban cicilan yang membengkak siap menusuk dari belakang.

Restrukturisasi kredit ini tentu tidak berlangsung selamanya. Sesuai dengan perkataan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana pada siaran pers bertajuk “OJK Mulai Terapkan Ketentuan Stimulus Perekonomian” (SP 19/DKNS/OJK/III/2020) pada tanggal 20 Maret 2020 silam, beliau mengatakan bahwa permberian stimulus untuk industri perbankan berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2021. Restrukturisasi kredit ini akan tercabut secara otomatis ketika telah mencapai periode akhir, atau bisa juga mengakhirinya dengan mengajukan kembali perjanjian untuk kembali ke seperti semula terkait persentase cicilan dan juga waktunya.

Ditetapkannya program Kebijakan Stimulus OJK pada sektor jasa keuangan, utamanya pada sektor perbankan dengan restrukturisasi kreditnya dalam upaya bantuan penyelamatan ekonomi debitur dalam menghadapi perlambatan ekonomi dari pandemi COVID-19 ini merupakan kebijakan yang tepat. Banyak debitur yang terbantu dengan adanya kebijakan ini. Namun, tidak ada yang sempurna, pasti ada celah kesalahan meskipun itu kecil  sekalipun di dunia ini. Meskipun terbantukan dalam jangka pendek, tetapi akan merugikan dalam jangka panjang. Tidak ikut andil dalam restrukturisasi kredit merupakan pilihan yang paling tepat dengan menggunakan tabungan yang ada, daripada merasa dirugikan di masa yang akan datang. Namun kembali, tidak ada salahnya memanfaatkan restrukrutisasi ini jika memang tidak ada jalan yang lain untuk menyelamatkan ekonomi. Pergerakan ekonomi tidak ada yang tahu pasti, seperti halnya pandemi ini. Kelak apa yang telah dikeluarkan meskipun dirasa terlalu banyak akibat dari restrukturisasi kredit ini, bisa saja kembali dengan nilai yang jauh lebih besar ketika pandemi COVID-19 ini telah selesai.



*Penulis adalah Mahasiswa PKN STAN

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan