Pemuda Mau, Pemuda Mampu
![]() |
| OLEH: SUGENG ROHADI |
KETIKA Bung Karno berujar “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia,” ada nilai optimis proklamir kemerdekaan Indonesia itu tentang masa depan bangsa kepada generasi muda. Sungguh, narasi sederhana yang penuh dengan kandungan makna luar biasa. Bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan biasa-biasa saja, kalimat ini mungkin tidak punya makna besar atau paling tidak hanya sebatas membakar semangat kemerdekaan.
Mengapa harus pemuda. Itulah pertanyaan sederhana yang dapat diajukan. Mengapa tidak orang tua yang telah punya banyak pengalaman hidup sehingga dapat mengelola bangsa menjadi lebih baik kedepannya. Ternyata anggapan ini keliru dan Bung Karno telah memilih pemuda sebagai basis kekuatan bangsa, termasuk dalam konteks politik kebangsaan.
Dalam konteks politik nasional, mengutip Suzanne Naafs dan Ben White dari artikel berjudul Generasi Antara: Refleksi tentang Studi Pemuda Indonesia (Diterbitkan Jurnal Studi Pemuda, Universitas Gajah Mada. Vol. I No. 2 September 2012, Hal: 89 -106) mengatakan bahwa pemuda merupakan tema lazim dalam penelitian tentang proses politik Indonesia, setidak-tidaknya setelah kajian klasik Anderson tentang peran pemuda pada awal revolusi Indonesia. Bagi Anderson “Fakta paling mencolok periode itu” adalah “Peran sentral Angkatan Muda” (1972, h. 1). Tergantung di sisi mana anda berdiri, pemuda memunculkan “aura terorisme” atau “kesadaran meluap kemunculan tiba-tiba pemuda sebagai sebuah kekuatan revolusioner.” (1972, h.1).
Masih dari artikel tersebut, disebutkan bahwa kaum muda Indonesia sering berada di garis depan tidak hanya dalam semua pergolakan politik nasional besar Indonesia, tetapi juga dalam kampanye pemilu rutin lokal dan nasional. Ini menyoroti paradoks utama keterlibatan generasi muda dalam proses politik. Loren Ryter mengemukakan bahwa “menurut representasi diri mereka, pemuda generasi 1945 dan pemuda generasi 1966 sama-sama pemuda tepatnya karena mereka cukup berani mengusung kehendak populer dengan menggugat kekuasaan” (2002, h. 73).
Bila merujuk pada referensi internasional, young people menurut versi WHO yakni dengan batas usia 10-24 tahun. Sedangkan International Youth Year yang diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai kelompok pemuda. Kelompok usia ini, di Indonesia, kerap disebut dengan usia produktif. Usia di mana seseorang memiliki potensi produktivitas yang cukup tinggi dari semua sisi kehidupannya.
Dalam konteks ini, setelah membicarakan batasan usia, orang akan melihat pada aspek lain. Misalnya saja pada persoalan potensi dan produktif. Dua aspek ini ditengarai mampu membuat perbedaan yang signifikan dengan keberadaan orang yang sudah tua. Harapannya, dengan semakin diasah potensi dan produktifnya, kualitas sumber daya manusianya akan semakin mudah muncul ke permukaan. Ketika dalam kondisi siap pakai, maka pemuda masih dalam kondisi enerjik, kondisi di mana sedang powerfull.
Nilai ini yang agaknya ingin disampaikan dalam membangun estapet generasi muda masa depan. Bahwa pemuda akan tua itu pasti. Namun sebelum menua sudah ada satu generasi yang siap menjadi pemuda-pemuda baru sebagai penggantinya. Maka, konteks pemuda merujuk pada perspektif potensi dan kompetensi yang lebih besar.
Momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober merupakan refleksi, evaluasi sekaligus proyeksi untuk estapet pemuda masa depan. Setiap tahun diperingati, efek atau dampak secara nilai memang harus tepat sasaran mengingat periodesasi kepemudaan telah banyak mengalami perubahan secara ekstrim. Sebagai contoh, di era milenial, konteks kepemudaan sudah mesti bergeser pada tiga kecerdasan manusia yakni intelektual, emosional dan spiritual sebagaimana konteks pendidikan di Indonesia.
Bila sebelum kemerdekaan, pemuda ikut berjuang secara fisik untuk melepaskan tirani penjajahan bersama para pejuang bangsa, di era milenial, perubahannya terjadi begitu ekstrim. Era milenial yang kental dengan teknologi dan media sosial, tentu pemuda tidak lagi berhadapan dengan musuh-musuh secara fisik melainkan berhadapan dengan hantu-hantu teknologi dan media sosial. Karena mereka tidak lagi dihadapkan dengan musuh yang nyata, maka mereka juga mesti mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang lebih besar yakni ancaman perpecahan akibat bisikan-bisikan berbahaya tersebut.
Ketika kaum muda berhadapan dengan teknologi, kebanyakan terninabobokkan dengan fasilitas dan layanan yang mudah dan super cepat termasuk soal informasi. Bila tidak disiasati dengan kecerdasan emosional dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Bayangkan saja dengan kemudahan teknologi, salah satunya, mendekatkan yang jauh, sejatinya mereka sedang berhadapan dengan konsekuensi menjauhkan yang dekat.
Realitas ini kerap dilihat pada penggunaan smartphone. Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar ketika anak-anak muda berkumpul di kafe atau warung kopi, terlihat mereka tidak sapa satu sama lain karena sibuk dengan dirinya masing-masing. Dalam satu tempat, mereka telah menyajikan apa yang dimaksud dengan menjauhkan yang dekat itu tadi. Hal ini sepele tetapi punya dampak yang besar karena berpengaruh terhadap perkembangan psikologis antara satu dan lainnya.
Apa yang diutarakan di atas baru dalam konteks yang paling nyata dilihat sehari-hari. Artinya degradasi sudah sangat mengancam sampai pada persoalan yang paling sederhana. Kenyataan ini, tentu dapat merusak hubungan karena hanya pada saat membutuhkan mereka dapat meninggalkan hal itu. Selain itu, efek lainnya adalah soal respon yang menurun karena asyik dengan urusannya sendiri.
Pada saat bangsa sedang membutuhkan kepekaan generasi mudanya, kebanyakan justru hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Secara subyektif, saya melihat persoalan responsif ini menjadi yang tidak dielakkan. Termasuk misalnya kegiatan-kegiatan gotong royong dan sebagainya, hampir dipastikan sedikit anak muda yang masih peduli.
Tantangan akibat kemudahan teknologi mengakibatkan bangsa mengalami kemunduran pada aspek pemudanya. Meskipun masih ada beberapa kalangan pemuda yang mulai dan sudah sadar dengan peran dan tanggung jawab mereka kepada bangsa dan negara.
Melihat situasi ini, teringat dengan buku karya Sulastomo (2004) dengan judul (Bukan) Negeri Sampah dan saya khawatir pemuda-pemuda bangsa ini hanya akan jadi sampah-sampah yang kotor dan bau di rumahnya sendiri. Di saat, pemuda dari negara-negara lain sibuk mengekspansi potensi dan profesionalnya, pemuda Indonesia hanya sibuk dengan kediriannya tanpa mau sadar terhadap peran dan fungsinya.
Pergeseran nilai generasi muda yang dialami saat ini memang belum sepenuhnya akut. Oleh sebab itu, harus segera diobati. Saat ini, hemat saya, pemuda-pemuda yang cerdas dari sisi intelektual, emosional dan spiritual memang dibutuhkan. Namun bila melihat konteks yang diiuraikan di atas, agaknya perlu menggeser paradigma bahwa Indonesia butuh pemuda-pemuda yang sadar dan mau. Sadar dalam arti mengerti peran, fungsi dan tanggung jawabnya. Mau artinya memiliki keinginan yang kuat memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa dan negara.
Sebagai bangsa yang terus bergerak maju, semua elemen juga harus memberikan respon yang sama termasuk generasi mudanya. Karena tanpa kesadaran dan kemauan tersebut, bangsa Indonesia memang masih akan bergerak namun dapat dipastikan lamban karena rendahnya kualitas sumber daya manusia.
*Penulis adalah Direktur Pusat Kajian dan Keilmuan Pojok Si Gondrong Kabupaten Sanggau
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





