Opini – Dinamika Pemilu 2019
![]() |
OLEH : ADE SITI FATIMAH |
DEMAM Pemilu 2019 kian terasa, berbagai kontestasi yang seru akan segera kita hadapi. Sejumlah strategi politik atau kampanye pun mulai digencarkan oleh mereka si pendukung paslon. Dari mulai kalangan elit hingga akar rumput, dengan berbagai cara mereka mengunggulkan pasangannya masing-masing.
Tak pelak kita melihat aksi yang ditunjukan malah cenderung rasis dan tidak akademis. Tak sesuai survey secara metodik, akan tetapi hanya berdasarkan opini yg menggelitik.
Seharusnya proses kampanye yang berlangsung mampu memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
Namun sayang fakta dari tahun ke tahun pilkada cenderung lebih menunjukkan ajang kontestasi yang tidak sehat.
Pada dasarnya aturan kampanye sendiri telah ditetapkan oleh undang-undang, yakni UU Nomor 7 tahun 2017. Kita hanya perlu bertindak sesuai aturan, setelah itu pemilu damai akan ada di depan mata.
Pemilu sebagai instrumen demokrasi dan upaya membangun perubahan kondisi bangsa yang lebih baik menjadi penting maknanya bagi bangsa Indonesia yang masih berada dalam kondisi memprihatinkan kini. Penting bagi momentum perubahan dan harapan masa depan.
Suatu kewajaran bagi setiap warga negara dalam mengambil peran masing-masing untuk menyukseskan agenda tersebut.
Masyarakat sendiri pasti merasa bosan dicekoki dengan janji-janji palsu para paslon. Untuk itu masyarakat punya hak dalam menentukan pilihannya sesuai hati nurani, bukan sebab di sumpal uang politik.
Sebagi pemilih tentunya kita harus bijak dan selektif.
Jangan luput apalagi golput dalam menentukan pemimpin rakyak. Kita pun sudah cukup mengenal, bahkan familiar terkait siapa yang akan menjadi capres nanti. Sebab kandidatnya masih sama dengan pemilu sebelumnya.
Seolah ini akan menjadi ajang pertarungan ulang pilpres, padahal kata sejatinya sedang menentukan arah laju dan gerak kemajuan satu bangsa melalui pesta demokrasi.
Lantas siapa yang mesti disalahkan dalam hal ini sehingga terjadinya pertandingan ulang,? Ialah MPR dan DPR selaku penentu kebijakan. Apa yang menjadi kebjakan? Ialah diberlakukannya Presidential Treshold yang ambang batasnya ditentukn oleh prosentase jumlah pemilih 25% atau 20% dari hasil suara kursi di parlemen.
Bahkan yg mengganjal saat ini adalah dalam pelaksanaan pemilu, dulu kita memilih legislatif terlebih dahulu baru kemudian di susul eksekutif. Akan tetapi realitasnya hari ini kita memilih serentak.
Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal ini, jika semua pihak dapat berkomitmen untuk mewujudkan apa yang diikrarkan secara bersama-sama dalam deklarasi kampanye. Semoga.
*Penulis adalah Mahasiswi FUAD IAIN Pontianak, semester akhir
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now